Friday, June 10, 2016

Delapan
Lembah Bahagia
Ketika kami berdiri di dalam aula, Maxim menaruh tangannya
melingkar di bahuku.
“Akhirnya, itu sudah berakhir,” dia bilang. “Pakai jas cepat
dan mari pergi keluar. Biarlah hujan, aku ingin jalan.” Maxim
tampak putih dan sakit. Sudahkah Beatrice mengatakan sesuatu
yang membuatnya marah. Aku tak dapat mengingatnya.
“Tunggu sebentar,” kataku. “Aku akan mengambil jasku dari
lantai atas.”
“Ada tumpukan jas hujan di lantai bawah,” kata Maxim.
“Robert, maukah kamu mengambilkan jas untuk Nyonya Winter?”
Maxim berdiri di tengah jalan sekarang, memanggil Jasper.
“Ayo, kamu sedikit malas, kawan. Kamu terlalu gemuk.”
Jasper lari memutar, menggonggong dengan keras. Pelayan
muda, Robert, lari keluar dari aula. Membawa jas hujan. Aku
memakai dengan cepat. Itu terlalu besar, tentunya, dan terlalu
panjang. Tapi Maxim menunggu dengan sabar dan tidak ada waktu
untuk mengganti jas. Kami berangkat bersama menyeberangi
halaman rumput menuju hutan. Jasper berlari di depan.
“Aku lekas capek dengan keluargaku,” kata Maxim. “Beatrice
sangat baik hati, tetapi dia selalu bicara hal-hal yang buruk.”
Aku tidak yakin apa yang Beatrice katakan dan aku pikir itu
lebih baik tidak dikatakan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
43
“Apa pendapatmu tentang Beatrice?” Maxim bertanya
padaku. “Apa yang telah dia katakan kepadamu setelah makan
siang?”
“Kupikir aku yang kebanyakan berbicara,” kataku. Aku telah
katakan padanya tentang bagaimana kami bertemu. Dia berkata
aku sungguh berbeda dari apa yang dia harapkan.
“Apa di atas bumi ini yang diharapkannya?”
“Seseorang yang lebih pintar, kukira. Seorang perempuan
muda yang modern.” Maxim tidak menjawab. Dia membungkuk
dan melemparkan stik untuk Jasper supaya dikejar.
Kami mendaki rerumputan pinggir kali di atas rumput-rumput
halaman dan berjalan turun menuju hutan. Pohon-pohon tumbuh
bersama sangat dekat di atas kepala kami dan itu menjadi sangat
gelap. Kami berjalan di atas lembaran tahun lalu. Pucuk-pucuk
hijau dari bunga-bunga tampak. Jasper diam.
Kami sampai ke gerbang hutan. Di sana ada dua gang, masuk
dengan arah berlawanan. Jasper lari mendahului dan mengambil
tangan kanan jalan gang tanpa menunggu kami.
“Bukan jalan itu,” panggi Maxim. “Ayo, jejaka tua.” Anjing
itu memandang balik ke kami. Dia berdiri di sana, mengibaskibaskan
ekornya.
“Mengapa dia ingin pergi ke jalan itu?” tanyaku.
Kami belok ke tangan kiri jalan, tidak bicara apa pun. “Aku
kira Jasper biasa ke arah situ,” kata Maxim. “Itu menuju ke teluk
kecil di mana kami biasa menyimpan perahu. Mari, Jasper.”
Kami belok ke sisi kiri jalan, tidak bicara apa pun. Aku
melihat bahuku dan melihat bahwa Jasper mengikuti kami.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
44
“Gang ini membawa kita ke lembah,” kata Maxim. “Kau
sudah dapat mencium bau bunga-bunga. Lupakan hujan itu akan
melenyapkan bau wangi.” Maxim nampak baik lagi sekarang.
Bahagia dan gembira. Dia mulai bicara tentang Frank Crawley. Dia
mengatakan padaku betapa dia seorang agen yang bagus, dan
betapa dia menyukai Manderley.
Aku memegang tangan Maxim dan memandang ke wajahnya.
Bicara soal Manderley selalu membuatnya bahagia lagi. Kami
telah mencapai puncak bukit kecil. Gang itu menurun masuk ke
lembah kecil, di samping sungai kecil.
“Di sana,” kata Maxim. “Lihat itu!”
Tidak ada pohon-pohon yang gelap di lembah ini, tidak ada
semak-semak yang tebal. Di atas setiap sisinya gang sempit itu
berdiri semak belukar lemah gemulai yang tinggi ditutupi oleh
bunga-bunga. Bunga-bunga itu adalah pink, putih, dan emas.
Semua itu indah dan anggun. Hujan rintik-rintik kemarau itu jatuh
dan udara penuh wangi yang enak. Tidak ada suara kecuali riuh
sungai kecil dan hujan tenang di atas daun-daun. Ketika Maxim
bicara, suaranya ramah dan renyah.
“Kami menyebut itu lembah bahagia,” katanya.
Kami masih berdiri tanpa bicara, aku melihat ke bawah pada
bunga-bunga putih cerah. Maxim memungut bunga jatuh dan
memberikan itu pada saya. Ketika aku manggosok itu di antara
tangan saya, wanginya enak dan kuat.
Seekor burung mulai bernyanyi, suaranya jernih dan tinggi.
Burung-burung lain mulai bernyanyi juga. Aku tak pernah berada
di tempat yang begitu indah. Ketika kami berjalan menyusuri gang
itu, tetesan hujan jatuh di atas tanganku dan wajah. Aku memegang
tangan Maxim. Lembah bahagia itu adalah jantung Manderley.
Manderley yang akan segera aku kenal dan cinta.