Monday, June 13, 2016

Sebelas
Dewi Asmara China
Aku tak tahu banyak tentang Nyonya Danvers. Dia mengirim
menu ke ruang pagi setiap pagi. Dia meneleponku setiap pagi
dengan telepon rumah. Dia juga menemukan seorang pembantu
wanita untukku, Clarice. Clarice baru di Manderley dan ini adalah
pekerjaan pertamanya. Keluarganya tinggal dekat Manderley,
tetapi dia tak pernah kenal Rebecca. Untuk Clarice, aku adalah
seorang yang penting karena aku adalah Nyonya De Winter.
Nyonya Danvers tentunya seorang penjaga rumah yang ulung
dan aku mulai kehilangan rasa takutku padanya. Kadang-kadang
aku merasa menyesal membuatnya memanggilku Nyonya De
Winter di mana setiap saat, dia berpikir tentang Rebbeca.
Frank telah bilang padaku untuk melupakan masa lalu. Aku
ingin, tetapi Frank tidak duduk di ruang pagi setiap hari seperti
yang aku lakukan. Dia tak duduk di meja tulisnya Rebecca dan
menyentuh barang-barang yang telah disentuh. Demi Tuhan, aku
tak ingin berpikir tentang Rebecca. Aku ingin jadi bahagia. Maxim
bahagia pula. Tetapi Rebecca selalu dalam pikiran dan dalam
impian.
Beatrice, saudara perempuan Maxim telah berjanji
memberiku sebuah hadiah pernikahan. Dia tidak lupa. Suatu hari
Robert membawa parcel besar ke dalam ruang pagi di mana aku
duduk sendiri. Aku memotong tali dengan gairah dan menyobek
kertas coklat gelap. Beatrice telah mengirimku empat buku besar
tentang melukis. Dia tahu bahwa aku senang membuat sketsa dan
dia telah sungguh-sungguh mencoba untuk menyenangkan saya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
57
Aku senang mempunyai sesuatu di Manderley. Aku melihatlihat
ruangan lalu meletakkan buku. Aku mendirikan mereka
dalam sebuah deretan di atas puncak meja tulis dan
memandangnya.
Tapi buku-buku itu jauh terlalu berat. Pertama satu jatuh dan
kemudian yang lain mengikuti. Hiasan cina kecil yang selalu
berdiri di atas meja tulis terjatuh di atas lantai. Hiasan itu pecah
menjadi banyak kepingan. Itu adalah sebuah dewi asmara kecil dan
salah satu dari barang-barang tercinta di rumah ini. Aku mendadak
sangat ketakutan. Aku menemukan sebuah amplop dalam sebuah
laci dan dengan hati-hati kutaruh kepingan dari cinta itu ke
dalamnya. Kemudian seperti anak-anak, aku sembunyikan amplop
ke dalam meja tulis. Aku memutuskan untuk menaruh buku-buku
baruku dalam perpustakaan dan aku tak bilang apa-apa tentang
dewi asmara itu.
Hari berikutnya, setelah makan siang, Frith membawa kopi
kami ke perpustakaan sebagaimana mestinya, bukan malah
meninggalkan. Dia berdiri di samping kursi Maxim.
“Dapatkah aku bicara padamu, Tuan?” dia bilang. Maxim
mendongak dari surat kabarnya.
“Ya, Frith, apa itu?”
“Itu tentang Robert, Tuan. Dia sangat mengacaukan. Nyonya
Danvers telah menuduhnya mengambil perhiasan bernilai dari
ruang pagi. Nyonya Danvers memperhatikan ada kehilangan akhir
minggu ini. Dia berkata bahwa Robert pasti telah mengambil itu,
atau telah memecahkan itu. Robert berkata dia tak tahu apa-apa
tentang itu.
“Mungkin itu adalah salah satu dari pelayan wanita,” kata
Maxim. Aku tahu dia membenci beberapa macam kesukaran
dengan pelayan-pelayan itu.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
58
“Tidak, Tuan, tak seorang pun kecuali Robert ada di ruangan
itu, terlepas dari nyonya rumah tentunya. Nyonya Danvers tidak
membiarkan pelayan-pelayan wanita membersihkan ruang pagi
itu.”
“Baik, Nyonya Danvers lebih baik datang dan ketemu saya.
Perhiasan apa itu?”
“Dewi asmara cinta itu, Tuan. Itu berdiri di atas meja tulis.”
“Oh, sayang.” Kata Maxim. “Itu sangat berharga. Itu musti
ditemukan. Aku mau ketemu Nyonya Danvers langsung.”
“Sangat bagus, Tuan,” kata Frith dan dengan tenang
meninggalkan ruangan.
“Sayang,” kataku pada Maxim ketika kami sendiri. “Aku
bermaksud menceritakan padamu sebelumnya, tapi aku lupa. Aku
memecahkan dewi asmara itu kemarin.”
“Kamu memecahkan itu? Mengapa tak kau katakan begitu
Frith ke sini? Kau harus menjelaskan pada Nyonya Danvers
sekarang.”
“Oh tidak, tolong Maxim, kau katakan padanya. Biarkan aku
pergi ke lantai atas.”
“Jangan bodoh,” kata Maxim dengan marah. “Setiap orang
akan mengira kau takut dengan Nyonya Danvers.”
“Aku takut padanya. Setidaknya khawatir, tapi...”
Pintu itu terbuka tanpa suara dan Nyonya Danvers memasuki
ruangan itu. Aku melihat dengan tegang Maxim. Wajahnya
setengah terhibur setengah marah.
“Itu semua sebuah kesalahan, Nyonya Danvers,” Maxim
bilang padanya. “Nyonya De Winter memecahkannya sendiri. Dia
lupa mengatakannya pada kita.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
59
Aku merasa seperti anak kecil lagi.
“Aku minta maaf,” kataku. “Aku tak pernah mengira Robert
akan mendapat kesukaran.”
“Apa mungkin untuk memperbaiki dewi asmara itu, Nyonya?”
kata Nyonya Danvers. Dia tidak nampak terkejut. Aku merasa dia
telah mengetahui kebenaran setiap saat.
“Aku tidak takut,” kataku. “Itu dalam ratusan keping.”
“Apa yang telah kau lakukan dengan kepingan-kepingan itu?”
kata Maxim.
“Mereka ada di amplop dalam laci meja tulis.”
“Temukan kepingan itu, Nyonya Danvers. Cobalah untuk
memperoleh perbaikan di London.”
“Aku tak pernah mengira bahwa Nyonya Winter telah
memecahkan ornamen itu,” kata Nyonya Danvers. Ketika dia
meninggalkan ruangan, aku dapat melihat cemoohan dan
kebencian di matanya.
“Aku sangat menyesal, sayang,” kataku. “Itu adalah
kebodohan dan kesembronoanku.”
“Lupakan itu,” kata Maxim. “Tetapi kamu melakukan
perbuatan yang aneh kadang-kadang. Lebih seperti seorang
pelayan dari pada nyonya rumah Manderley. Bahkan ketika kita
punya tamu-tamu, kamu duduk di atas pinggir kursimu dan hanya
berkata ‘ya’ dan ‘tidak’.”
“Aku tak dapat menolong keadaan malu.”
“Aku tahu kau tak bisa, Darling. Tetapi kamu musti belajar
menyembunyikan itu.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
60
“Aku melakukan percobaan. Tetapi aku tidak terbiasa
kehidupan macam ini. Orang-orang melihatku dan menanyaiku
begitu banyak pertanyaan.”
“Apa masalahnya? Mereka tertarik dengan kita, itu saja.”
“Mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang sangat
menarik,” kataku. “Aku kira itulah mengapa kamu mengawiniku.
Kamu tahu aku bodoh dan pendiam, tak seorang pun akan pernah
bergunjing tentang diriku.”
Maxim melempar korannya di atas tanah dan bangkit dari
kursinya. Wajahnya gelap dan marah dan suaranya keras.
“Apa kamu tahu tentang gosip-gosip di bawah sini?” katanya.
“Siapa yang telah bicara padamu?”
“Tidak ada, tidak ada sama sekali.”
Maxim menatapku.
“Mungkin aku telah melakukan hal yang sangat egois ketika
aku mengawinimu,” katanya dengan pelan. “Aku sungguh lebih tua
darimu.”
Aku merasa dingin dan ketakutan.
“Usia tidak masalah,” kataku. “Aku bahagia. Kau tahu aku
mencintaimu lebih dari apa saja yang lain di dunia ini. Aku cinta
Manderley juga. Aku cinta segala sesuatu di sini. Kamu bahagia
juga bukan, Sayang?”
Maxim tak menjawab. Dia berdiri menatap keluar dari
jendela.
“Jika kamu tidak mengira kita bahagia, kamu pasti
mengatakan padaku,” aku meneruskan. “Aku tak ingin kau
berdusta padaku.”
Maxim mengambil wajahku dalam dua tangannya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
61
“Bagaimana bisa aku menjawabmu?” katanya. “Jika kamu
bahagia, maka kita pun bahagia.”
Dia menciumku dan berjalan menyeberangi ruangan.
“Tetapi kamu menyesaliku. Kamu kira aku tidak berhak untuk
Manderley. Jika hanya aku telah memecahkan ornamen itu.
Apakah itu sangat berharga?”
“Aku kira begitu,” jawab Maxim. “Itu adalah sebuah hadiah
pernikahan. Rebecca tahu banyak tentang cina.”
Maxim terus memandang lurus di depannya.
“Dia berpikir tentang Rebecca,” kataku pada diriku. “Aku
telah memecahkan salah satu dari hadiah-hadiah pernikahan
mereka.”
Maxim kembali ke kursinya dan memungut korannya. Aku
duduk di atas kursi panjang di bawah jendela. Setelah beberapa
saat, Jasper datang padaku dan memanjat ke atas pangkuanku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
62