Monday, June 20, 2016

Delapan belas
Kebenaran tentang Rebecca
Hari itu sangat tenang dalam perpustakaan. Ketika orangorang
shock berat, mereka tidak merasakan apa-apa pada mulanya.
Aku berdiri di samping Maxim dan aku tidak punya perasaan sama
sekali. Kemudian Maxim membawaku dalam tangannya dan mulai
menciumku. Dia belum pernah menciumku seperti ini sebelumnya.
“Aku mencintaimu begitu besar,” dia berbisik.
Ini adalah apa yang telah aku ingin katakan padanya, setiap
hari dan setiap malam. Tapi aku tidak dapat merasakan apa-apa
sekarang.
Maxim berhenti tiba-tiba dan mendorongku menjauh darinya.
“Kau tahu, aku benar,” katanya. “Itu terlambat, kamu tidak
mencintaiku sekarang.”
“Itu tidak terlambat,” aku bilang, tanganku merangkulnya,
“Aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini.”
“Itu tak ada gunanya sekarang,” kata Maxim. “Kita tidak
punya waktu. Mereka telah menemukan perahu itu. Mereka telah
menemukan Rebecca.”
Aku menatapnya, aku tidak mengerti.
“Apa yang akan mereka lakukan?” kataku.
“Mereka akan memastikan bahwa tubuh dalam kabin itu
adalah Rebecca. Kemudian mereka akan ingat bahwa tubuh orang
lain dalam gereja itu. Perempuan lain itu, yang aku bilang
Rebecca.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
103
“Apa yang akan kita lakukan?” kataku.
Maxim tidak menjawab.
“Adakah seseorang mengetahui? Tidak ada sama sekali?”
kataku.
Maxim menggeleng kepalanya.
“Kau yakin Frank tidak tahu?” aku tanya dengan cepat.
“Bagaimana bisa dia?” kata Maxim. “Tidak ada seorang pun
di sana selain aku. Itu gelap....” dia berhenti. Dia duduk di kursi
dan aku berlutut di sisinya.
“Mengapa tidak kau katakan padaku?” bisikku.
“Aku hampir melakukan, sekali,” kata Maxim. “Tapi kamu
selalu nampak begitu tidak bahagia dan begitu pemalu.”
Aku menjawab dengan sangat tenang.
“Aku tahu kamu berpikir tentang Rebecca setiap saat.
Bagaimana bisa aku mencintaimu untuk mencintaiku ketika aku
tahu kamu mencintai Rebecca?”
“Kamu pikir aku mencintai Rebecca?” katanya. “Aku
membencinya. Kami tak pernah mencintai satu sama lain. Rebecca
tak pernah mencintai seseorang kecuali dirinya sendiri.”
Aku duduk di atas lantai, memandangnya.
“Dia pintar tentunya,” Maxim melanjutkan. “Setiap orang
mengira dia paling baik hati, paling mempesona orang. Ketika aku
mengawininya, orang-orang bilang padaku, aku adalah pria paling
beruntung di dunia.”
“Aku mengetahui kebenaran setelah lima hari kami menikah.
Kami ada di bukit dekat Monte Carlo. Itu adalah tempat yang sama
aku pergi bersamamu. Kau ingat? Dia duduk di sana di dalam
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
104
mobil dan mengatakan padaku keburukan. Hal-hal yang jahat
tentang dirinya. Hal-hal yang tak dapat aku ceritakan pada
seseorang.”
Maxim memandang keluar dari jendela.
“Aku tidak membunuhnya kemudian,” katanya. “Kubiarkan
dia tertawa. Dia tahu bahwa aku akan membawanya ke Manderley.
Dia tahu aku tak akan pernah menceraikannya. Aku tak akan
pernah mengatakan pada orang-orang semua hal-hal buruk itu.
Yang dirinya telah katakan padaku.”
Maxim menghampiriku dan mengulurkan tangannya.
“Kamu benci aku, bukan?” katanya. “Kamu tak bisa mengerti
aku, bukan?”
Aku tak bilang apa-apa. Aku memegang dua tangannya pada
hatiku. Hanya satu hal terjadi. Maxim tidak mencintai Rebecca.
Dia belum pernah mencintainya, tak pernah, tak pernah.
Maxim bicara lagi.
“Aku berpikir tentang Manderley terlalu banyak,” katanya,
“Aku meletakkan Manderley pertama, sebelum sesuatu yang lain.
Aku tak dapat mengatakan padamu tentang tahun-tahun keburukan
itu dengan Rebecca. Tapi dia membuat Manderley yang indah
seperti hari ini. Dan aku menerima segalanya, karena Manderley.”
“Rebecca hati-hati pada mulanya,” Maxim melanjutkan. “Dia
punya rumah petak di London. Dia menemui teman-temannya di
sana. Kemudian dia mulai tumbuh sembrono. Dia mengundang
teman turun di sini, ke Manderley. Aku peringatkan dia. Aku
katakan padanya bahwa Manderley adalah milikku. Rebecca tidak
bilang apa-apa. Dia hanya tersenyum.”
“Kemudian Frank datang padaku dan bilang padaku dia ingin
cuti. Dia tidak akan mengatakan mengapa pada mulanya. Tapi aku
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
105
memperoleh kebenaran darinya pada akhirnya. Rebecca tak pernah
membiarkannya sendiri. Dia selalu pergi ke rumahnya dan
meminta dia ke pondoknya.”
“Rebecca pergi ke London untuk suatu waktu. Ketika dia
kembali, dia membawa Giles berlayar dengannya, aku tahu apa
yang telah terjadi segera setelah mereka kembali. Beatrice dan
Giles tak pernah menetap di Manderley lagi. Setelah itu, aku tahu
aku tak pernah dapat mempercayai Rebecca dengan seseorang,”
“Dia punya sepupu pria yang mengerikan, dipanggil jack
Favell. Dia mulai datang ke sini ketika aku pergi,”
“Aku sudah bertemu dia,” kataku, “Dia datang ke sini hari itu
kau pergi ke London. Aku tak bilang padamu. Aku tak ingin
mengingatkanmu tentang Rebecca.”
“Mengingatkan?” kata Maxim. “Ya Tuhan, aku tak pernah
butuh untuk diingatkan.”
“Favell sering tinggal dengan Rebecca turun di pondok. Dia
adalah pria jahat. Dia punya masalah dengan polisi berkali-kali.
Aku bilang pada Rebecca bahwa aku akan menembak Favell bila
dia datang ke Manderley lagi.”
“Kemudian, satu malam, aku tak tahan hidup di sini lebih
lama lagi. Rebecca kembali dari London sangat lambat. Dia pergi
ke pondok, aku kira? Favell ada dengannya. Aku pergi setelah
mereka. Aku membawa bedil untuk menakutinya.”
Maxim bicara dengan cepat, kalimat-kalimatnya pendek. Aku
memegang tangannya dengan erat.
“Aku melihat sebuah lampu dalam pondok itu dan langsung
masuk, kuterkejut, Rebecca sendirian, dia nampak sakit dan aneh.”
“’Inilah akhirnya’ aku bilang padanya, ‘aku tak tahan lagi.’”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
106
“Rebecca melihat padaku dan tersenyum.”
“’tak mudah untuk menceraikanku’ kata Rebecca, ‘setiap
orang percaya perkawinan kita sempurna’.”
“Kemudian dia berdiri tegak dan berjalan ke arahku. ‘jika aku
punya seorang anak, Max,’ katanya. ‘setiap orang akan berpikir itu
adalah anakmu. Kamu senang seorang putra, bukan? Seorang anak
lelaki yang tumbuh dewasa di Manderley. Dan kamu tak kan
pernah tahu siapa bapaknya’.”
“Dan dia tersenyum lagi padaku. Dia tersenyum ketika aku
bunuh dia. Peluru itu menembus jantungnya.”
Suara Maxim sangat rendah. Dia bicara dengan pelan.
“Ada darah di mana-mana di lantai itu. Aku terpaksa
mengambil air dari laut untuk membersihkan tempat itu.”
“Tidak ada bulan, sangat gelap,” Maxim melanjutkan, “aku
membawa tubuh Rebecca ke perahu. Aku baringkan tubuh itu di
atas lantai kabin. Kemudian aku membawa perahu itu keluar
menuju teluk. Aku ingin membawa perahu itu keluar jalan yang
bagus, tapi angin itu terlalu kuat untukku.”
“Aku membuat beberapa lubang di papan kayu itu dengan
sesuatu yang tajam (tongkat). Aku membuka kran laut dan air
mengalir ke dalam. Dalam beberapa menit, itu telah menutupi
kakiku. Aku menutup pintu kabin itu di belakangku. Mendaki ke
sampan kecil dan mengayuh balik. Perahu Rebecca sudah
tenggelam. Aku duduk dan mengawasinya turun ke bawah.”
Maxim memandangku.
“Cukup,” katanya. “Tak ada lagi untuk dikatakan.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
107
Perpustakaan itu sangat tenang. Kami duduk di sana bersama
untuk beberapa menit tanpa berkata apa pun. Kemudian Maxim
mulai bicara lagi.
“Aku tahu perahu itu akan ditemukan suatu hari,” katanya.
“Rebecca tahu dia akan menang di akhirnya. Aku melihat
senyumnya ketika dia mati.”
“Tapi Rebecca telah mati,” aku bilang padanya. “Untuk apa
musti kita mengingat.”
“Penyelam itu telah melihat tubuhnya. Mereka akan
menaikkan perahu itu besok pagi. Mereka akan mengetahui bahwa
itu adalah tubuhnya Rebecca dalam kabin.”
“Kemudian kamu musti bilang kamu membuat kesalahan
tentang tubuh yang lain. Tak seorang pun melihat malam itu.
Hanya dua orang siapa yang tahu apa yang telah terjadi malam itu,
Maxim.”
“Ya,” katanya, “Ya, aku kira begitu.”
“Mereka akan mengira perahu itu tenggelam ketika Rebecca
turun ke dalam kabin. Mereka akan mengira dia terjebak di sana.
Mereka akan mengira itu, bukan? Maxim?” kataku.
“Aku tidak tahu,” Maxim menjawab dengan perlahan. “Aku
tidak tahu.”
Pada saat itu, telepon di ruang sebelah mulai berdering.