Sunday, June 19, 2016

Enam Belas
“Mengapa Kamu Tak Melompat?”
Aku tertidur sekitar tujuh jam, ketika aku bangun lagi, itu
setelah jam sebelas. Clarice telah membawakanku teh. Itu sudah
dingin, tapi aku minum itu, ranjangnya Maxim kosong. Dia tidak
datang ke ranjang sama sekali, aku duduk tegak, memandang lurus
di depanku.
Perkawinanku telah gagal, itu telah gagal setelah tiga bulan.
Aku terlalu muda untuk Maxim, aku kenal terlalu sedikit tentang
dunia. Nyatanya bahwa aku mencintainya tidak membuat
perbedaan. Itu bukan macam cinta yang dia butuhkan, Maxim tidak
cinta denganku. Dia tak pernah mencintaiku, dia tidak memilikiku,
dia milik Rebecca, Rebecca adalah Nyonya De Winter yang
sesungguhnya. Aku tak pernah dapat jadi nyonya rumah di
Manderley. Di mana pun aku berjalan, di mana pun aku duduk, aku
melihat Rebecca. Aku kenal tingginya, sosok yang ramping, wajah
kecilnya dan kulitnya putih jernih. Jika aku pernah mendengar
suaranya, aku akan tahu itu, Rebecca – selalu Rebecca. Aku tak
akan pernah lepas dari Rebecca. Dia terlalu kuat untukku.
Aku bangkit dari ranjang dan membuka korden. Sinar mentari
mengisi ruangan. Aku tak dapat bersembuyi dalam kamar tidur
lagi, aku ke kamar mandi, berpakaian dan pergi ke lantai bawah.
Para pelayan sangat sibuk, kamar-kamar sangat rapi dan bersih.
Bunga-bunga telah lenyap. Segera di sana takkan ada hal- hal yang
mengingatkan kita tentang pesta dansa pakaian khayal.
Aku ketemu Robert di ruang makan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
89
“Selamat pagi, Robert,” kataku. “Sudahkah kau tahu di mana
Tuan De Winter?”
“Dia pergi keluar segera setelah sarapan, Nyonya. Dia sudah
tidak ada di dalam sejak itu.”
Aku pergi ke dalam ruang kecil di balik perpustakaan dan
mengangkat telepon. Mungkin Maxim dengan Frank, aku terpaksa
berbicara ke Maxim. Aku terpaksa menjelaskan tentang malam
lalu.
“Frank, ini aku,” kukatakan ketika dia menjawab. “Di mana
Maxim?”
“Aku tidak tahu. Aku belum melihat dia,” kata Frank,
“Bagaimana dia tidur? Bagaimana dia makan pagi?”
“Frank,” aku bilang perlahan, “Maxim tidak datang ke ranjang
malam lalu.”
“Ke mana kau kira dia pergi?” kutanya. “Aku harus bertemu
dia. Aku harus menjelaskan tentang malam itu. Maxim mengira
aku melakukan itu sebagai candaan.”
Aku tak dapat menghentikan air mataku sekarang, mereka
berhenti melimpah wajahku ketika aku bicara,.
“Kamu tidak seharusnya bicara seperti itu,” Kata Frank. “Biar
aku naik dan melihatmu.”
“Tidak,” kataku. “Itu telah terjadi, tidak ada hal yang bisa
diubah sekarang, mungkin itu hal yang bagus. Aku mengerti halhal
lebih jelas sekarang.”
“Apa maksudmu?” kata Frank, dengat cepat.
“Maxim tidak mencintaiku, dia mencintai Rebecca,” kataku,
“Dia tak pernah melupakannya. Dia tak pernah mencintaiku,
Frank. Selalu Rebecca, Rebecca, Rebecca.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
90
Aku dengar Frank berteriak, “Aku harus datang dan
melihatmu,” katanya.
Aku meletakkan telepon dan berdiri tegak. Aku tak ingin
bertemu Frank, dia tak dapat menolongku, selain diriku sendiri.
Mungkin aku tak akan pernah ketemu Maxim lagi, mungkin
Maxim telah meninggalkanku dan tak akan pernah kembali, aku
tak dapat mengambil pikiran-pikiran ini keluar dari otakku.
Aku memandang keluar dari jendela. Kabut telah datang dari
laut. Aku tak dapat melihat hutan itu. Matahari bersembunyi di
balik dinding kabut. Aku dapat mendengarkan laut dan mencium
baunya dalam kabut. Aku berjalan keluar dari rumah dan di atas
halaman rumput. Aku lihat kembali rumah itu. Salah satu dari daun
jendela di sayap barat telah ditarik ke belakang. Seseorang berdiri
di sana, melihat padaku. Untuk sementara, aku pikir itu adalah
Maxim. Kemudian sosok itu pindah dan aku melihat bahwa itu
Nyonya Danvers.
Aku berjalan balik menyeberangi halaman rumput.
Aku merasa bahwa ia tahu tentang air mataku. Dia telah
merencanakan semua ini terjadi. Ini adalah kemenangannya – dan
kemenangan Rebecca.
Aku ingat Nyonya Danvers tersenyum padaku, seperti setan,
tapi dia seorang perempuan yang hidup seperti diriku. Dia tidak
mati, seperti Rebecca, tapi aku dapat bicara dengan Nyonya
Danvers.
Aku pergi melalui rumah itu, sepanjang jalan beratap yang
tenang dan gelap dari sayap barat ke kamar Rebecca. Aku putar
gagang pintu dan masuk.
Nyonya Danvers masih berdiri dekat jendela. Daun jendela itu
dilipat balik, dia menoleh padaku dan aku lihat bahwa matanya
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
91
merah penuh dengan tangis. Ada bayangan gelap pada wajah
putihnya.
“Kamu telah melakukan apa yang aku inginkan, Nyonya
Danvers,” kataku. “Kamu ingin ini terjadi bukan? apakah kamu
senang sekarang? Apakah kamu bahagia?”
Dia memalingkan kepalanya dariku.
“Mengapa kamu datang ke Manderley?” katanya, “Tak
seorang pun menginginkanmu. Kami baik-baik saja sampai kamu
datang.”
“Kamu rupanya lupa bahwa aku mencintai Tuan Winter.”
Kataku.
“Jika kamu mencintainya, kau tak akan pernah menikahinya,”
Nyonya Danvers bilang.
“Mengapa kamu membenciku?” tanyaku, “apa yang telah
kulakukan padamu?”
“Kamu mencoba mengambil tempat Nyonya Winter,” kata
dia.
“Tapi aku tidak mengubah apa-apa di sini. Aku serahkan
segala sesuatu padamu. Aku ingin jadi temanmu,” kataku.
Dia tidak menjawab.
“Banyak orang kawin dua kali,” kataku. “Perkawinanku
dengan Tuan Winter bukan kejahatan. Tidakkah kita punya hak
untuk bahagia?”
“Tuan De Winter tidak bahagia,” Nyonya Danvers bilang,
melihat padaku akhirnya. “Pandang matanya. Dia seperti dalam
neraka. Dia sudah nampak seperti itu sejak dia meninggal.”
“Itu tidak benar,” kataku. “Itu tidak benar. Dia bahagia ketika
kami di Itali bersama.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
92
“Baiklah, dia adalah seorang pria, bukan?” katanya dengan
tawa yang keras, “setiap pria suka bersenang-senang di bulan
madunya.”
Aku mendadak sangat marah dan tidak takut dengan Nyonya
Danvers lagi, aku pergi padanya dan mengocoknya dengan tangan.
“Betapa beraninya kau bicara padaku seperti itu, betapa
beraninya kamu? Kamu membuatku memakai pakaian itu malam
itu. Kamu ingin menyakiti Tuan Winter. Aku pikir sakitnya dan tak
bahagianya akan membawa Tuan Winter kembali?”
Nyonya Danvers bergerak menjauh dariku.
“Peduli apa aku untuk sakitnya?” katanya, “dia tak pernah
peduli tentang milikku. Bagaimana pendapatmu yang kurasa,
memperhatikan kamu duduk di tempatnya, menggunakan barangbarang
yang dia gunakan? Aku mendengar para pelayan
memanggilmu Nyonya De Winter. Dan seluruh waktu, Nyonya De
Winter yang asli dengan senyumnya dan wajah yang
menyenangkan berbanding dingin sepi dan menjemukan di dalam
gereja.”
Wajah nyonya tertekuk dengan sakit suaranya keras dan
tajam.
“Tuan De Winter patut mendapat sakitnya, mengawini gadis
muda seperti kamu – dan cuma sepuluh bulan setelah kejadian itu.
Baiklah, dia membayar untuk itu sekarang. Maxim tahu Rebecca
telah memperhatikannya. Gadisku datang di malam hari dan
memperhatikannya.”
“Aku merawatnya ketika dia seorang anak. Kau tahu itu?”
“Tidak,” kataku, “Tidak. Apa gunanya itu, Nyonya Danvers?
Aku tidak ingin mendengar lagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
93
Nyonya Danvers rupanya tidak mendengarku. Dia
melanjutkan bicaranya dengan suara tinggi dan kasar.
“Nyonya De Winter adalah anak yang menyenangkan,”
katanya. “Ketika dia cuma dua belas tahun usianya, pria-pria tak
dapat berhenti memandanginya. Tapi bahkan kemudian, dia tidak
dipedulikan siapa-siapa. Dan ketika dewasa, dia dipukul di bagian
akhir. Tapi itu bukan seorang pria. Dia adalah seorang perempuan.
Laut itu mendapatkannya. Laut itu terlalu kuat untuknya di bagian
akhir.”
Nyonya Danvers mulai menangis gaduh, dengan membuka
mulutnya dan kering matanya.
“Nyonya Danvers, kamu tidak sehat. Kamu seharusnya ada di
ranjang,” kataku.
Dia memandangku dengan marah.
“Silakan,” meninggalkanku sendiri. “Mengapa bukan aku
yang menangis? Apa itu harus kulakukan denganmu? Kamu datang
ke sini dan berpikir kamu dapat mengambil tempat Nyonya De
Winter. Kamu! Mengapa, bahkan para pelayan tertawa padamu
ketika kamu datang ke Manderley.”
“Kamu lebih baik menghentikan ini, Nyonya Danvers,”
kataku. “Kamu lebih baik pergi ke kamarmu.”
“Iya, dan kemudian apa yang akan kau lakukan? Kamu akan
pergi ke Tuan De Winter dan cerita padanya bahwa Nyonya
Danvers telah tidak enak padamu. Kamu akan pergi padanya
seperti kamu lakukan ketika Tuan Jack datang ke sini.”
“Tuan De Winter iri dengan Tuan Jack ketika Rebecca masih
hidup. Dia cemburu, itu menunjukkan kamu tidak bisa
membuatnya melupakannya, bukan? Tentu Tuan De Winter iri.
Rebecca tidak peduli, dia hanya tertawa. Semua pria jatuh cinta
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
94
padanya, Tuan De Winter, Tuan Jack, Tuan Crawley. Itu seperti
pertandingan untuknya.
“Aku tidak ingin tahu,” kataku, “Aku tak ingin tahu.”
Nyonya Danvers datang mendekat padaku dengan meletakkan
kepalanya dekat ke wajahku.
“Itu tak ada gunanya, bukan?” katanya. “Dialah Nyonya De
Winter sesungguhnya, bukan kamu.”
Aku mengelakkan diri darinya, menuju jendela. Dia
mengambil tanganku dan memegangnya.
“Mengapa kamu tidak pergi?” dia berkata lagi. “Dia tak ingin
kamu, dia tak pernah melakukan. Dia tak dapat melakukannya. Dia
ingin sendiri di dalam rumah lagi, dengannya.”
Dia mendorongku menuju pintu terbuka. Aku dapat melihat
bebatuan di teras bawah. Di bawah teras adalah sebuah dinding
putih dari kabut.
“Lihat di bawah sana,” Nyonya Danvers bilang. “Itu mudah
bukan? Mengapa kamu tidak melompat? Itu tidak akan sakit. Itu
bukan seperti tenggelam. Mengapa kau tak mencoba itu? Mengapa
kamu tidak pergi?”
Kabut masuk melalui jendela terbuka, lembab dan tebal. Aku
berpegangan pada pinggir jendela, dengan dua tangan.
“Jangan takut,” kata Nyonya Danvers. “Aku tak akan
mendorongmu, kau dapat melompat. Kamu tidak bahagia. Tuan
Winter tidak mencintaimu. Mengapa kamu tidak melompat
sekarang?”
Kabut lebih tebal dari biasanya. Ada kabut di bawah dan di
sekitarku. Jika aku melompat sekarang, aku tidak akan melihat
batu-batu itu. Jatuh akan membunuhku. Maxim tidak mencintaiku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
95
“Terus,” bisik Nyonya Danvers. “Terus, jangan takut.”
Kututup mataku, jari-jariku sakit karena memegang birai.
Kabut tebal membuatku lupa ketidak bahagiaanku. Aku bisa lupa
tentang mencintai Maxim. Aku bisa lupa tentang Rebecca. Aku
tidak akan punya pikiran tentang Rebecca lagi.
Sebuah ledakan keras mengguncang jendela di mana kami
berdiri. Gelas retak. Aku membuka mataku dan menatap Nyonya
Danvers. Ledakan pertama diikuti oleh yang lain, kemudian ketiga,
dan keempat.
“Apa itu?” kataku, “Apa yang telah terjadi?” Nyonya Danvers
membiarkan tanganku. Dia memandang keluar dari jendela ke
dalam kabut.
“Itu rocket,” katanya. “Pasti ada kapal dalam masalah di
teluk.”
Kami mendengarkan, menatap ke dalam kabut putih bersama.
dan kemudian kami mendengar bunyi langkah kaki di atas teras di
bawah kami.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---