Friday, June 24, 2016

Dua Puluh Empat
Kembali ke Manderley
Kami pergi dan berdiri di samping mobil. Tidak ada orang
yang mengatakan sesuatu untuk beberapa menit. Wajah Favell
kelabu. Selamanya seperti dia menyalakan rokok.
“Dia menyimpan rahasia itu dari setiap orang, bahkan Denny.
Itu adalah sebuah guncangan mengerikan bagiku,” kata favel.
“Kamu semua baik-baik saja, tentunya, Max, kamu sudah
beruntung, bukan? Kamu dan istri mudamu dapat pergi balik ke
Manderley sekarang. Kamu kira kamu telah menang. Tapi jangan
terlalu yakin, aku belum selesai denganmu.”
“Akankah kita masuk mobil dan pergi?” Kolonel tanya pada
Maxim. Favell tersenyum tidak menyenangkan. Ketika kami pergi
dia masih berdiri di sana, memperhatikan kami.
“Favell tak dapat melakukan apa-apa,” Kolonel berkata pada
kami. “Aku akan segera berhubungan dengannya jika dia datang
mendekati Manderley lagi. Aku tidak berpikir surat kabar akan
merepotkanmu lagi. Di sana mungkin ada beberapa pembicaraan,
tapi akan membuat yakin orang-orang itu mendengar tentang dr
Baker.”
“Terima kasih banyak,” kata Maxim.
“Apa penyakit yang mengerikan itu,” Kolonel melanjutkan,
“Kukira dia tidak dapat menghadapi rasa sakit, dia wanita muda
yang menyenangkan juga.”
Tidak ada dari kami yang menjawabnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
136
Saudara perempuan Kolonel tinggal di London dan dia minta
Maxim membawa dirinya ke rumah saudaranya itu.
“Kami semua berterima kasih padamu untuk semua
pertolonganmu,” kata Maxim ketika hakim itu keluar dari mobil,
“Aku sudah senang menolong. Kamu musti lupakan itu semua
sekarang. Mengapa kamu tidak berlibur, ke luar negeri mungkin ke
Indonesia misalnya. Selamat jalan, kalian berdua. Itu adalah hari
yang panjang.”
Ketika Maxim menghidupkan mobil, aku menyandarkan
punggung di tempat duduk dan menutup mataku, kami berkendara
menembus lalu lintas dan aku merasa damai. Tidak ada yang dapat
menyakiti kami lagi.
Kami makan malam di sebuah restoran dan Maxim menelpon
Frank.
“Kau kira Kolonel tahu kebenaran tentang kematian
Rebecca?” aku tanya Maxim ketika kami sedang minum kopi.
“Tentu dia tahu,” kata Maxim. Tapi dia tak akan pernah
mengatakan apa-apa. Aku percaya bahwa Rebecca berniat
membohongiku. Dia ingin aku membunuhnya. Oleh karena itu, dia
tertawa. Dia tertawa ketika dia mati.”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Semua sudah berakhir. Tidak
perlu Maxim berwajah pucat dan tampak bermasalah.
“Aku tidak yakin bahwa Rebecca belum menang, bahkan
sekarang,” Maxim melanjutkan. “Frank bilang padaku sesuatu
agak aneh di atas telepon, Nyonya Danvers telah meninggalkan
Manderley. Ada sebuah telepon jarak jauh untuknya pada pukul
enam. Pada tujuh kurang seperempat, dia telah pergi.”
“Apakah itu hal yang bagus?” kataku, “Favell meneleponnya,
tentu, tapi mereka tak dapat melakukan apa-apa terhadap kita.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
137
Aku senang bahwa Nyonya Danvers telah pergi. Manderley
dapat menjadi milik kami. Kami akan punya orang-orang untuk
tinggal. Dan segera, sangat segera Maxim dan aku akan punya
anak.
“Sudahkah kau selesaikan kopimu?” Maxim bilang padaku
tiba-tiba. “Aku merasa bahwa musti kembali ke Manderley
sesegera mungkin. Sesuatu yang salah, aku tahu itu.”
“Tapi, kamu akan menjadi begitu lelah,” kataku.
“Tidak, aku akan baik-baik saja. Kita akan ada di Manderley
pada jam dua.”
Kami keluar dari mobil dan Maxim menutupiku dengan
permadani. Hari gelap sekarang dan aku tertidur seketika. Aku
mulai bermimpi. Aku melihat rumah tangga di Manderley dan
Nyonya Danvers berdiri di sana dengan pakaian hitamnya yang
panjang. Kemudian dalam mimpiku, aku sendirian di hutan dekat
Manderley. Aku ingin mulai ke lembah bahagia, tapi aku tak dapat
menemukannya. Semua pohon-pohon gelap ada di sekelilingku.
Kemudian aku berdiri di atas teras, terang bulan berkilau di
jendela- jendela, kebun-kebun itu telah pergi dan hutan-hutan yang
gelap muncul pada dinding-dinding rumah itu.
“Kamu telah tidur dua jam,” Maxim bicara padaku. “Ini jam
dua lebih seperempat. Kita akan sampai di rumah jam tiga.”
Awal pagi itu sangat dingin, langit itu gelap sekarang dan
tidak ada bintang-bintang,
“Jam berapa kau bilang tadi?” kataku tiba-tiba.
“Sekarang dua lebih dua puluh,” jawab Maxim.
“Itu aneh,” kataku. “Fajar itu nampak muncul di sana, di balik
bukit-bukit itu. Tapi itu tak bisa, itu terlalu pagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
138
“Itu arah yang salah juga,” kata Maxim, “Kamu sedang
melihat ke barat.”
Aku terus memandang langit. Itu masih menjadi lebih terang,
sebuah sinar merah darah sedang menyebar di seberang langit.
Maxim mulai mengendarai lebih cepat, semakin cepat.
“Itu bukan fajar,” katanya, “Itu adalah Manderley.”
Kami mencapai puncak bukit. Jalan ke Manderley terhampar
sebelum kami, tidak ada bulan dan langit, di atas kepala kami
adalah hitam. Tapi langit di depan kami penuh dengan sinar yang
mengerikan. Dan cahaya itu merah semerah darah, angin berembus
ke arah kami dari laut, angin bau asap dan abu-abu oleh abu.
Mereka abu dari Manderley.
SELESAI
Dua puluh tiga
Dr Baker
Aku bangun awal pagi berikutnya pada sekitar jam enam. Aku
bangkit dan pergi ke jendela. Pohon-pohon tertutup di antara
halimun berkabut. Ada kedinginan yang tajam dalam udara. Musim
gugur telah tiba.
Ini permulaan dari hari baru di Manderley. Segera para
pelayan akan mulai bekerja. Apa pun yang terjadi pada kami, hidup
di Manderley akan terus berlangsung. Kedamaian di Manderley tak
dapat dirusak. Keindahannya tak dapat dihancurkan. Bunga-bunga
akan datang setiap tahun. Burung-burung akan bernyanyi.
Manderley akan selalu di sini. Selamat dan aman, dengan suara
laut.
Maxim terus tidur dan aku tak membangunkannya. Hari akan
panjang dan melelahkan. London bermil-mil jauhnya. Kami tidak
tahu apa yang harus kami temukan di akhir perjalanan. Di manamana
di London tinggal seorang bernama Baker. Dia belum pernah
mendengar tentang kami. Tapi masa depan kami ada di tangannya.
Aku mandi, berpakaian dan kemudian membangunkan
Maxim. Dia bangkit dan kemudian pergi ke kamar mandi. Aku
mulai mengemas beberapa barang. Kami mungkin harus tinggal
semalaman di London. Aku lihat pada koper kecilku. Itu nampak
begitu lama sejak aku telah menggunakannya. Tapi itu hanya
empat bulan. Aku tidak dapat percaya itu.
Kami telah sarapan bersama dan aku pergi ke teras. Udara
segar dan bersih sekarang. Itu akan jadi hari yang sempurna. Pada
pukul sembilan tepat, Frank membawa naik Kolonel dalam
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
131
mobilnya. Kami pergi dengan mobil Maxim. Aku duduk di
samping Maxim dan Kolonel duduk di belakang.
“Kamu akan menelepon, bukan?” kata Frank ketika dia berdiri
di atas jalan.
“Iya, tentu,” kata Maxim. Ketika kami pergi, aku melihat
belakang pada rumah itu. Aku belum pernah melihat yang lebih
indah. Untuk beberapa alasan, mataku teriris dengan air mata.
Kemudian kami mengelilingi lengkungan jalan itu dan aku dapat
melihat rumah itu lagi.
Ketika kami sampai pada perempatan jalan, Favell sudah
menunggu. Dia melambai ketika dia melihat kami dan
menghidupkan mobilnya. Aku menjadi tenang sepanjang
perjalanan ke London. Jam-jam berlalu dan mil-mil terlewati,
mobil Favell selalu di belakang kami. Kami telah makan siang dan
mencapai London pada sekitar jam tiga. Aku mulai merasa lelah.
Hari itu hangat dan jalan-jalan sangat sibuk. Jalan melalui pusat
London sangat panjang. Maxim nampak pucat dan lelah, tapi dia
tidak bilang apa-apa. Mobil Favell selalu di belakang kami.
Kami mencapai rumah Baker sekitar jam lima. Maxim
menghentikan mobil dan kami keluar. Favell datang menemui
kami. Kami semua berjalan perlahan naik gang ke depan pintu.
Kolonel Julian membunyikan bel.
Seorang perempuan membuka pintu. “Apakah dr Baker ada
di rumah?” kata Kolonel. “Dia mengharapkan kami. Aku mengirim
telegram.”
“Ya, tentu,” kata perempuan, “suamiku di kebun. Aku akan
mengatakan padanya kamu ada di sini.” Dia membawa kami
masuk ke ruang dingin rumah itu. Dia keluar masuk beberapa
menit pria tinggi masuk ruangan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
132
“Aku dokter Baker, maaf membuat Anda menunggu. Silakan
duduk,” katanya.
“Kami meminta maaf menyusahkanmu, dr Baker.” Kata
Kolonel, “namaku Julian, ini Tuan Winter, Nyonya Winter dan
Tuan favel. Kami datang mengenai kematian almarhum. Kamu
mungkin telah membaca laporan dari surat kabar.”
“Putusan itu adalah bunuh diri,” kata Favell.”Aku tahu
Nyonya Winter sangat baik. Dia tidak bunuh diri. Dia tak punya
alasan untuk itu. Kami ingin tahu kenapa ia datang padamu di hari
kematiannya.”
Dr Baker memandang terkejut, “aku kira kamu membuat
kesalahan,” katanya, “tidak ada orang bernama De Winter telah
datang kemari.”
“Tapi kami menemukan nomor lama teleponmu pada diary
Nyonya Winter.” Dr. Baker melihat halaman diary itu yang
Kolonel keluarkan padanya.
“Itu tentu nomor saya,” katanya.
“Mungkin Nyonya Winter memberimu nama yang berbeda,”
Kolonel memberi kesan.
“Itu mungkin,” kata dokter pelan.
“Jika kamu punya kunjungan catatan pada hari itu, dapatkah
kami lihat itu?” tanya Kolonel, “Ini sangat penting.”
“Pembunuhan,” kata Favell.
“Tentu,” kata dokter. “Aku tidak punya ide ada pertanyaan
soal itu, aku akan pergi dan mendapatkan bukuku.”
Ketika dr. Baker keluar dari ruangan, kami tidak bicara apa
pun. Tidak ada orang yang melihat pada yang lain. Favel bersiul
dengan tenang di bawah napasnya. Dr. Baker kembali masuk
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
133
ruangan dengan buku besar. Dia membukanya dan membalik
halaman, kami semua berdiri memperhatikan wajahnya. “Aku
melihat Nyonya Danvers pada tanggal 12 jam 2. Kata dr. Baker
akhirnya.”
“Danny? Mengapa kau lakukan...?” Favell mulai. Maxim
menyelanya.
“Rebecca memberikan nama yang salah tentunya,” katanya.
“Kau ingat kunjungan itu sekarang, dokter?” tapi dr. Baker
telah menggeledah arsipnya. Dia memungut sebuah kartu dan
membacanya.
“Ya,” katanya perlahan, “Aku ingat sekarang.”
“Apakah dia tinggi dan gelap, seorang wanita cantik?” tanya
Kolonel.
“Ya,” kata dokter. Dia menaruh kartu itu dan melihat Maxim.
Dokter bicara perlahan.
“Perempuan yang menyebutnya Nyonya Danvers itu sangat sakit memang. Dia telah datang padaku minggu sebelumnya. Aku
mengambil sinar-x. Dia sudah kembali untuk melihat hasilnya.
Aku ingat betul kata-katanya. ‘Jika saya benar-benar sakit, aku
ingin tahu.’ Begitu katadia.”
Dr. Baker berhenti dan melihat arsipnya, “tak ada yang harus
aku lakukan,” dia melanjutkan. “Sebuah operasi akan tidak
berguna. Aku mengatakan itu padanya. Dalam enam bulan, dia
sudah akan meninggal.” Tidak ada orang yang bicara sepatah kata
dan dokter itu melanjutkan. “Nyonya Winter nampak seorang
wanita sehat, dia sudah sangat sedikit sakit pada waktu itu. Tapi
sakit itu sudah akan datang. Sinar – x menunjukkan bahwa dia tak
akan pernah dapat punya anak. Tidak ada yang harus dilakukan
dengan penyakitnya.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
134
Setiap orang berdiri tegak. Kami bersalaman dengan dr. Baker
dan dia berjalan dengan kami ke depan pintu.
“Akankah aku mengirimmu laporanku?” tanya dr Baker.
“Kami mungkin tidak perlu itu,” kata Kolonel. “Kami akan
menulis padamu jika kami perlu, terima kasih banyak.”
“Aku senang sudah ada gunanya,” kata dr. Baker, “Selamat
jalan.” Dan dia menutup pintu.
Dua puluh dua
Buku Harian Rebecca
Terima kasih Tuhan untuk tertawanya Favell. Aku melihat
pemandangan jijik mewarisi wajah Kolonel Julian.
“Pria itu mabuk,” katanya dengan cepat. “Dia tidak tahu apa
yang dikatakan.”
“Mabuk, saya?” teriak Favell, “Oh tidak, aku tidak mabuk.
Max De Winter membunuh Rebecca, dan aku akan
membuktikannya.”
“Tunggu sebentar,” kata Koloner Julian, “Aku ingin
mendengar buktimu.”
“Bukti?” kata Favell. “Apakah lubang-lubang dalam perahu
itu tidak cukup membuktikan untukmu?”
“Tentu, tidak,” kata Kolonel Julian. “Jika kamu tidak dapat
menemukan seseorang yang melihat dia melakukan itu.”
“Aku akan mendapatkan bukti untukmu,” teriak Favell, “De
Winter membunuh Rebecca karena saya. Dia cemburu karena
Rebecca mencintaiku. Dia pergi turun ke pondok dan
membunuhnya di sana. Tunggu sebentar... aku kira aku dapat
menemukan seseorang yang melihatnya.”
Aku tiba-tiba tahu maksud Favell. Seseorang telah melihat
semua itu terjadi –seseorang yang sering turun di sana, di teluk –
Ben.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
124
“Ada seorang idiot yag selalu di sekitar pondok itu,” kata
Favell. “Dia sering tidur di atas pantai. Aku yakin dia melihat
segalanya.”
“Dapatkah kita mendapatkan pria itu? Dan menanyainya?”
tanya Kolonel Julian.
“Tentu,” kata Maxim. “Namanya adalah Ben. Dapatkah kau
pergi dan membawanya Frank? Ambil mobilmu,” Frank pergi
keluar dengan cepat.
Favell tertawa dengan marah. Wajahnya sangat merah. “Kamu
semula saling tolong-menolong satu sama lain di bawah sini,
bukan?” katanya. “Crawley tahu kebenaran itu, aku yakin. Dia
akan ada di sana untuk memegang tangan pengantin wanita muda
itu ketika Max dijatuhi hukuman mati.”
Tanpa peringatan, Maxim naik ke atas menuju Favell dan
memukulnya dengan keras. Favell jatuh dengan berat ke lantai.
Aku mau Maxim tidak telah memukulnya. Favell bangkit perlahan
pada kakinya. Berjalan mengelilingi meja kecil dan menuangkan
dirinya wisky. Aku melihat Kolonel Julian memandang dengan
bijaksana pada Maxim. Apakah dia mulai percaya cerita Favell?
Pintu terbuka dan Frank masuk.
“Baiklah, Ben,” katanya dengan cepat, “Jangan ketakutan.”
Ben melangkah masuk ruangan dan menatap setiap orang
dengan mata kecilnya. Favel berjalan mendekatinya.
“Kau tahu siapa aku, bukan?” katanya, Ben tidak menjawab.
“Ayo,” kata Favell. “Kamu telah melihat aku di pondok itu,
bukan?”
Ben memegang tangan Frank, “Aku tak pernah melihatnya,”
katanya. “Akankah dia membawaku pergi?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
125
“Tidak, tentu tidak,” kata Kolonel Julian. “Sekarang
dengarkan aku, Ben. Kamu ingat gadis itu dengan perahu. Adakah
kamu di pantai ketika dia membawa perahunya keluar untuk
terakhir kali?”
“Kamu ada di sana, bukan?” kata Favell berdiri di samping
Ben, “Kamu melihat Tuan Winter masuk pondok dan Nyonya juga.
Apa yang terjadi kemudian?”
Ben menggeleng kepalanya dan beregerak balik terhadap
dinding. “Aku tidak melihat apa-apa,” katanya. Dia mulai
menangis.
“Kamu idiot kecil sialan,” Favell berkata pelan.
“Aku kira Ben dapat pulang sekarang, bukan? Kolonel
Julian?” kata Maxim. Frank membawa Ben keluar dari ruangan itu
ketika Kolonel Julian menganggukkan kepalanya.
“Teman miskin itu mengerikan,” katanya. “Dia tidak berguna
untukmu, Favell. Aku kira kamu tidak dapat membuktikan
kisahmu.”
Favell tidak menjawab, malah membunyikan bel, dan ketika
Frith masuk, dia bilang, “Minta Nyonya Danvers ke sini, Frith.”
“Bukankah Nyonya Danvers penjaga rumah?” tanya Kolonel
Julian ketika Frith meninggalkan ruangan.
“Dia juga teman Rebecca, dia mengenalnya bertahun-tahun,”
Favell berkata dengan senyum yang tidak mengenakkan.
Kami semua menunggu, mengawasi pintu. Kemudian Nyonya
Danvers masuk dan menutup pintu di baliknya.
“Selamat malam, Nyonya Danvers,” kata Kolonel Julian.
“Aku akan tanya padamu satu pertanyaan. Kamu kenal baik
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
126
dengan almarhum Nyonya Winter? Tuan Favell telah mengatakan
pada kami bahwa Nyonya Winter cinta dengannya. Benarkah itu?”
“Tidak,” jawab Nyonya Danvers.
“Sekarang dengar, Denny,” Favell mulai berteriak tapi
Nyonya Danvers tidak ambil perhatian.
“Dia tak cinta denganmu, Tuan Jack. Atau dengan Tuan De
Winter. Dia tak cinta dengan seseorang. Dia pikir pria-pria semua
bodoh. Dia menghibur dirinya denganmu.”
Maxim menjadi sangat pucat. Favell menatap Nyonya
Danvers seperti seolah-olah ia tak mengerti dia.
“Nyonya Danvers,” Kolonel Julian bicara dengan tenang.
“Dapatkah kau berpikir tentang alasan mengapa Nyonya Winter
membunuh dirinya?”
Nyonya Danvers menggelengkan kepalanya. “Tidak, tentu
tidak,” katanya.
“Ada kamu, apa yang telah kukatakan padamu?” teriak Favell.
“Tenanglah, maukah kau. Biar Nyonya Danvers membaca
catatan itu. Dia mungkin mengerti itu,” kata Kolonel Julian.
Nyonya Danvers mengambil catatan itu, membacanya dan
kemudian menggelengkan kepalanya lagi.
“Aku tidak tahu apa maksud dia. Jika itu adalah sesuatu yang
penting, dia telah akan mengatakannya padaku.”
“Dapatkah kau katakan pada kami bagaimana Nyonya Winter
menghabiskan hari terakhirnya itu di London? Apakah dia
menyimpan sebuah buku harian?” tanya Kolonel Julian.
“Aku telah mendapatkan diare bukunya di kamarku,” jawab
Nyonya Danvers. “Aku menyimpan semua barang-barangnya. Aku
akan pergi dan mengambilnya.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
127
“Baiklah De Winter,” kata Kolonel Julian, “Apakah Anda
keberatan kami melihat buku diary ini?”
“Tentu tidak,” kata Maxim. Sekali lagi, aku lihat Kolonel
Julian memberi Maxim sebuah pandangan yang tajam. Kali ini
Frank melihatnya juga. Entah mengapa aku merasa yakin bahwa
kebenaran itu ada di dalam diary itu.
Nyonya Danvers kembali dengan sebuah buku kecil di
tangannya.
“Inilah halaman untuk hari itu ketika nyonya meninggal,”
katanya. Kolonel Julian melihatnya dengan hati-hati.
“Ya, katanya,” di sinilah. Penata rambut pada pukul dua belas.
Kemudian makan siang. Dan kemudian Baker –jam dua. Siapa itu
Baker?” dia melihat pada Maxim. Maxim menggeleng kepalanya.
“Baker?” ulang Nyonya Danvers. “Dia tak kenal orang yang
bernama Baker.”
“Kita musti mengetahui siapa orang ini,” kata Kolonel Julian.
“Jika dia bukan seorang teman, mungkin itu adalah seseorang yang
dia takuti.”
“Nyonya De Winter takut?” kata Nyonya Danvers. “Dia tak
takut apa-apa dan siapa-siapa. Hanya satu hal yang
menakutkannya. Itu adalah pikiran tentang penyakit, tentang
kematian perlahan di ranjangnya.”
“Kejadian apa semua ini?” kata Favell. “Jika Baker penting,
aku akan tahu tentang dia,” Nyonya Danvers membalik halamanhalaman
buku diary itu.
“Ada sebuah nomor telepon di belakang sini,” katanya. “Dan
nama Baker lagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
128
“Baiklah,” kata Maxim, menyalakan rokok. “Mungkin
seseorang harus menelepon nomor itu. Akankah kau keberatan,
Frank?”
Frank mengambil diary itu tanpa sepatah kata pun dan masuk
ke ruang sebelah. Dia menutup pintu di baliknya. Kemudian
kembali, katanya, “Itu nomor seorang dokter, dr. Baker biasa
tinggal di sana. Tetapi ia meninggalkannya enam bulan yang lalu.
Mereka memberiku alamat barunya. Aku telah menulisnya di sini,”
dan Frank mengeluarkan selembar kertas.
Maxim melihatku, dia melihatku seperti seorang pria yang
bilang selamat tinggal untuk yang terakhir kali. Lembaran kertas
itu cukup untuk menggantung Maxim. Aku tahu mengapa Rebecca
telah pergi ke seorang dokter. Aku tahu apa yang ingin dia katakan
pada Favell. Rebecca telah mengandung ketika dia mati. Dia akan
punya seorang anak. Itu bukti yang jelas bahwa Rebecca tidak
membunuh dirinya. Aku yakin bahwa ini adalah kebenaran. Aku
tahu Maxim berpikir begitu juga.
“Kerja yang bagus, Frank,” kata Maxim dengan tenang. “Di
mana dokter itu tinggal sekarang?”
“Di utara London,” jawab Frank, “Tapi dia tak ada di telepon.
Dia adalah seorang dokter khusus wanita yang sangat terkenal.”
“Baik,” kata Kolonel Julian, “Di sana pasti telah ada sesuatu
yang salah dengannya akhirnya.”
“Aku akan menulis padanya sebuah surat,” kata Frank.
“Aku tidak mengira dia akan mengatakan padamu beberapa
hal,” jawab Kolonel, “Aku kira De Winter harus menemuinya dan
menjelaskan.”
“Aku siap untuk pergi,” kata Maxim dengan tenang.
“Akankah aku pergi di pagi hari?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
129
“Dia tidak pergi sendiri,” kata Favell dengan tawa. “Kau pergi
dengannya, Julian. Dan aku kira aku lebih baik pergi juga. Jam
berapa kita mulai?”
Kolonel Julian melihat pada Maxim.
“Jam sembilan,” katanya, “Mungkin kamu akan membawaku
dalam mobilmu.”
“Kita akan bertemu di perempatan jalan segera setelah jam
sembilan,” kata Favell. Dia berjalan ke pintu.
“Aku kira kamu tidak akan memintaku untuk makan siang,
begitu aku akan bilang selamat jalan. Mari, Denny. Aku akan
ketemu kamu di pagi hari, Max.”
Kolonel menghampiriku dan mengambil tanganku.
“Selamat malam,” katanya, “Bawa suamimu ke ranjang lebih
awal. Besok akan ada hari yang panjang,” dia memegang tanganku
untuk sesaat, tapi dia tidak melihat mataku. Dia dan Frank keluar
bersama. Maxim dan aku akhirnya sendiri.
“Aku akan datang denganmu, besok,” kataku.
“Ya,” jawab Maxim. “Kita musti bersama sepanjang kita
bisa.”
Aku meletakkan tanganku melingkar padanya dan
memegangnya. Kami tak bilang apa-apa. Kemudian Maxim
memegangku dengan erat. Kami mulai mencium satu sama lain,
seperti kekasih bersalah yang belum pernah berciuman
sebelumnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
130

Thursday, June 23, 2016

Dua puluh satu
Sebuah Kunjungan Jack Favell
Itu setelah jam enam ketika aku dengar bunyi mobil Maxim.
Aku mencoba untuk berdiri tegak tapi kakiku begitu lemah,
terpaksa aku bersandar pada kursi. Maxim masuk ruangan dan
berdiri di samping pintu. Dia nampak lelah dan tua.
“Semua itu telah usai,” katanya. Aku menunggu, aku tak dapat
bicara atau berjalan ke arah Maxim.
“Bunuh diri,” kata Maxim, “Itu adalah putusan. Mereka bilang
bahwa Rebecca membunuh dirinya sendiri.”
Aku duduk. “Bunuh diri,” aku mengulang. “Mengapa mereka
berpikir Rebecca melakukan itu?”
“Tuhan yang tahu,” kata Maxim. Dia pergi dan berdiri di
samping jendela. “Ada lebih dari satu hal yang harus dilakukan.
Tubuh Rebecca telah dikubur. Aku harus turun ke gereja sekarang.
Kita akan bicara tentang segala sesuatu ketika aku kembali. Kita
harus memulai seluruh hidup kita lagi. Masa lalu tak dapat melukai
kita jika kita bersama. Kita akan punya anak juga, aku
menjanjikanmu. Aku musti pergi sekarang. Aku bertemu Frank dan
Kolonel Julian di gereja,” dia meninggalkan ruangan dengan cepat
dan kemudian aku dengar bunyi mobilnya pergi.
Suasana tenang dalam perpustakaan. Aku berpikir tentang
gereja di mana Rebecca dikuburkan akhirnya.
Baru saja sebelum pukul tujuh, hujan mulai turun dengan
lebat. Aku membuka jendela-jendela untuk membiarkan masuk
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
119
udara bersih yang dingin. Hujan turun begitu lebat bahwa aku tidak
mendengar Frith masuk.
“Maaf, Nyonya,” katanya, “Ada orang laki-laki harus ketemu
Tuan Winter, itu Tuan Favell.”
Aku sangat terkejut.
“Aku kira aku lebih baik ketemu Tuan Favell,” kataku. “Bawa
dia masuk di sini, tolong Frith,” aku harap bahwa Favell akan pergi
sebelum Maxim kembali. Aku tak dapat berpikir mengapa Favell
telah datang.
“Aku khawatir Maxim tidak ke sini,” kataku ketika Favell
berjalan masuk ruangan. Matanya merah, aku pikir dia telah
mabuk.
“Aku tidak keberatan menunggu,” jawab Favell. “Max akan
kembali untuk makan malam, aku yakin.”
“Tuan Favell,” kataku. “Aku tak ingin ada kekerasan, tapi aku
sangat lelah. Itu akan lebih baik jika kau kembali di pagi hari.”
“Tidak, tidak,” katanya, datang dan ke arahku, “Aku harus
bicara sesuatu pada Max. Ini telah menjadi guncangan untukku,
kamu tahu. Aku amat sayang Rebecca.”
“Ya, tentu” kataku. “Aku sangat menyesal untukmu.”
“Aku lebih sayang Rebecca dari pada siapa pun di dunia,”
Favell melanjutkan, “dan dia menyayangiku. Oleh karena itu, aku
telah datang ke sini untuk mengetahui kebenaran. Bunuh diri...
Tuhanku. Kamu dan aku tahu itu bukan bunuh diri, bukan?”
Ketika Favell sedang bicara. Pintu terbuka dan Maxim serta
Frank masuk.
“Persetan, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Maxim
bicara pada Favell.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
120
“Mengapa? Hallo Max, pria tua,” kata Favell. “Kamu pasti
merasa sangat senang dengan dirimu.”
“Apakah kamu keberatan meninggalkan rumah ini?” kata
Maxim dengan dingin. “Aku tidak ingin kamu di sini.”
“Sekarang, tunggu sebentar, Max,” jawab Favell. “Kamu telah
sangat beruntung. Tapi aku masih dapat membuat hidupmu tak
senang. Dan berbahaya juga, mungkin,” Maxim menatap tajam
pada Favell.
“Oh ya?” katanya. “Dengan cara apa kamu dapat membuat
hal-hal yang berbahaya?”
“Aku akan katakan padamu, Max,” kata Favell dengan
senyum tidak menyenangkan, “Kamu tahu semua tentang Rebecca
dan aku. Kematiannya adalah sebuah goncangan yang besar.
Kemudian aku membaca tentang perahu Rebecca dan tubuh dalam
kabin. Jadi aku pergi ke pemeriksaan. Aku dengar keterangan
pembangun perahu itu. Tentang lubang-lubang dalam perahu itu,
Max?”
“Kamu mendengar putusan itu,” kata Maxim padanya. Aku
tak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Favell tertawa.
“Kamu tahu Rebecca tidak membunuh dirinya. Aku punya
sebuah catatan di sini yang mungkin menarikmu. Aku
menyimpannya karena itu adalah hal yang terakhir yang Rebecca
pernah tulis untukku, dengar.”
Favell mengambil selembar kertas dari sakunya. Aku
mengenal tulisan hitam tajam milik Rebecca.
“Aku mencoba meneleponmu,” Favell membaca, “Tapi kamu
keluar. Aku meninggalkan London sekarang dan kembali ke
Manderley. Aku akan menunggumu di pondok. Turun segera yang
kau bisa. Aku harus mengatakan sesuatu padamu.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
121
Favell meletakkan kembali catatan itu di saku.
“Aku menemukan itu dalam flat Londonku. Itu terlambat
untuk mengemudi turun ke Manderley. Ketika aku menelepon hari
berikutnya, Rebecca telah meninggal. Apakah kau benar-benar
berpikir Rebecca membunuh dirinya setelah menulis catatan itu?”
Maxim tidak bicara apa-apa.
“Sekarang, Max, pria tua,” Favell bicara akhirnya, “Kau tahu
aku bukan orang kaya. Jika aku punya dua atau tiga ribu pound,
aku dapat hidup tenang sudah. Aku tak akan pernah kembali, aku
menjanjikanmu.”
“Aku sudah memintamu untuk meninggalkan rumah ini,” kata
Maxim. “Pintu itu di belakangmu.”
Favell tertawa lagi.
“Pikir lagi, Max,” kata Favell. Aku tak mengira pengantin
wanita barumu ingin terkenal sebagai istri seorang pembunuh.”
“Kau tak bisa menakutiku, Favell,” jawab Maxim. “Akankah
aku telepon Kolonel Julian? Kau dapat menceritakan kisahmu itu
padanya.”
“Kamu tidak akan berani, Max,” kata Favell. “Aku punya
cukup keterangan untuk menggantungkanmu, Max.”
Maxim berjalan perlahan ke arah telepon di ruang sebelah.
“Hentikan dia,” aku bilang pada Frank, “Hentikan dia demi
Tuhan,” tapi itu terlambat. Maxim sudah berbicara.
“Apakah itu Kolonel Julian? De Winter di sini. Dapatkah kau
datang ke Manderley seketika? Tidak –aku tak dapat mengatakan
apa-apa di balik telepon. Terima kasih banyak. Selamat jalan,”
Maxim kembali lagi masuk ruangan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
122
“Kolonel Julian akan di sini dalam sepuluh menit,” katanya.
Kami menunggu dalam kesunyian. Hujan itu begitu lebat
sehingga kita tak dapat mendengar bunyi mobil. Kami mengantar
dengan terkejut ketika Frith membawa hakim masuk perpustakaan.
“Selamat malam, Kolonel Julian,” Maxim bicara seketika. “Ini
adalah Jack Favell, sepupu almarhum istriku. Dia punya sesuatu
yang harus dikatakan padamu.”
Favell naik untuk Kolonel Julian. “Aku tak senang tentang
keputusan itu. Aku ingin kau membaca tulisan ini. Katakan padaku
apakah kamu pikir penulis itu telah memutuskan untuk membunuh
dirinya.”
Kolonel Julian membawa catatan dan membacanya dengan
pelan.
“Aku tahu maksudmu,” katanya. “Tapi catatan itu tak jelas,
apa kamu pikir benar-benar terjadi pada Nyonya Winter?”
Favell melihat pada Maxim.
“Aku akan katakan padamu apa yang kupikir,” katanya
perlahan. “Rebecca tak dapat membuka kran-kran laut itu. Dia tak
membuat lubang-lubang itu dalam perahu. Rebecca tidak
membunuh dirinya. Aku bilang dia terbunuh. Apakah kau ingin
tahu siapa pembunuhnya? Dia di sana, berdiri di samping jendela.
Tuan Max milian De Winter –dialah pembunuhnya. Perhatikan
baik-baik padanya.”
Favell mulai tertawa, sebuah ketawa bodoh yang tinggi.
Ketika dia memilin catatan itu dan memutar-mutarkan di jarinya.

Wednesday, June 22, 2016

Dua puluh
Pemeriksaan
Hari selasa akhirnya datang. Pemeriksaan pada pukul dua.
Setelah sebuah makan siang awal. Aku berkendara ke kota dengan
Maxim.
“Ku kira aku akan tinggal di sini dalam mobil,” kataku. “Aku
tak akan masuk denganmu akhirnya.”
“Aku tidak ingin kau datang,” kata Maxim, “Aku mau kamu
tinggal di Manderley.”
Maxim berangkat dan meninggalkanku duduk di sana. Menitmenit
berlalu. Aku berpikir apa yang akan terjadi pada
pemeriksaan itu. Aku keluar dari mobil dan mulai berjalan naik
turun.
Seorang polisi melihat padaku.
“Maaf, Nyonya,” katanya. “Bukankah kau Nyonya De
Winter? Kau dapat menunggu di dalam jika kau suka.”
Polisi itu membawaku masuk dalam ruangan kosong. Lima
menit berlalu. Tidak ada hal yang terjadi. Aku bangkit dan berjalan
keluar dari ruangan kecil itu. Polisi itu masih berdiri di sana.
“Akan berapa lama mereka?” aku tanya dia.
“Aku akan pergi dan lihat jika kau suka,” kata polisi itu. Ia
kembali lagi dalam sesaat.
“Itu tak lama,” dia bilang padaku. “Tuan De Winter baru saja
selesai memberikan bukti-buktinya. Hanya ada pembangun perahu,
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
114
Tuan tabb, untuk bicara sekarang. Inginkah Anda masuk? Ada
tempat duduk kosong dekat pintu.”
Aku mengikuti polisi. Dia membuka pintu untukku dan aku
masuk dengan tenang. Ruang itu kecil dan penuh dengan orang.
Udaranya panas dan sesak. Frank duduk di samping Maxim.
Terkejutku, Nyonya Danvers di sana juga. Dengan Favell di
sampingnya. Aku heran apakah Maxim telah melihatnya.
Tabb, pembangun perahu itu, berdiri di tengah ruangan itu,
sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan pemeriksa.
“Apakah perahu itu dalam kondisi yang bagus?” pemeriksa itu
bertanya.
“Ya, itu saat terakhir yang aku lihat,” kata Tabb. “Itu sebuah
perahu kecil yang kuat. Aku tak dapat mengerti mengapa itu
tenggelam malam itu.”
“Kecelakaan telah terjadi sebelumnya,” kata pemeriksa.
“Nyonya De Winter sembrono untuk satu saat dan dia meninggal.”
“Maaf, Tuan,” kata pembangun perahu itu. “Aku ingin bicara
sesuatu yang lain.”
“Sangat bagus, teruskan,” kata pemeriksa.
“Inilah, Tuan. Tidak ada hal yang salah dengan perahu itu
ketika terakhir aku melihatnya. Jadi yang ingin aku tahu adalah ini.
Siapa yang membuat lubang-lubang itu di papan? Batu tidak dapat
melakukan itu. Perahu itu tenggelam terlalu jauh darinya. Dan
lubang-lubang itu dibuat dengan sesuatu yang tajam.”
Aku tak dapat melihat pada seseorang. Aku melihat ke bawah
pada lantai. Untuk sementara, pemeriksa terlalu terkejut untuk
bicara. Kemudian dia berkata, “Apa maksudmu? Lubang-lubang
macam apa?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
115
“Ada tiga dari mereka, dalam bagian-bagian berbeda dari
perahu itu. Dan tidak semua kran laut itu telah dibuka penuh.”
“Kran laut? Apa itu?” tanya pemeriksa.
“Kran laut menutup pipa menuju kolam tempat pencucian,
mereka pasti ditutup dengan ketat dengan sengaja ketika perahu
sedang berjalan. Sehingga air laut masuk.”
Panas dalam ruangan, jauh terlalu panas. Aku mau seseorang
membuka jendela. Pembuat perahu itu sedang bicara lagi.
“Dengan lubang-lubang itu, pak dan kran laut yang terbuka,
perahu kecil akan segera tenggelam. Itu pendapatku bahwa tidak
ada kecelakaan. Perahu itu tenggelam disengaja.”
“Aku musti keluar,” aku pikir, tidak ada udara. Orang-orang
sedang berdiri tegak dan bicara dengan keras. Aku dengar
pemeriksa bilang, “Tuan De Winter.”
Maxim sedang berdiri tegak. Aku tak dapat melihat padanya.
“Tuan De Winter,” kata pemeriksa, “Anda telah mendengar
bukti Jams Tabb. Kamu tahu apa-apa tentang lubang itu?”
“Tidak ada.”
“Dapatkah kamu berpikir mengapa mereka ada?”
“Tidak, tentu tidak.”
“Berita-berita ini adalah sebuah shock untukmu, tentunya.”
“Tentu, itu kejutan. Apakah itu mengejutkanmu bahwa aku
shock?” Suara Maxim keras dan marah. Ya Tuhan, aku pikir,
jangan biarkan Maxim kehilangan tempramennya.
Pemeriksa sedang bicara lagi. “Tuan De Winter, aku ingin
mengetahui dengan tepat bagaimana istrimu mati. Siapa yang
merawat perahu Nyonya De Winter?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
116
“Dia merawatnya sendiri.”
“Kemudian siapa pun yang membawa keluar perahu itu
malam itu juga membuat lubang-lubang itu dan membuka kran
lautnya.”
“Aku kira begitu.”
“Kau telah bilang padaku bahwa pintu dan jendelanya kabin
itu tertutup?”
“Ya,”
“Apakah ini tidak nampak sangat aneh untukmu, Tuan De
Winter?”
“Iya, itulah.”
“Tuan De Winter, aku khawatir, aku musti tanya padamu satu
pertanyaan lain. Apakah kamu dan dia bahagia?”
Panas, begitu panas. Aku mencoba untuk berdiri tegak, tapi
tak bisa. Tanah datang menjemputku dan kemudian aku dengar
suara Maxim, terang dan kuat.
“Maukah seseorang membawa istriku ke luar? Dia akan
pingsan.”
****
Aku duduk dalam ruangan kecil itu lagi. Frank ada di
sampingku.
“Aku minta maaf,” kataku. “Aku begitu panas di dalam sana.”
“Apakah kamu merasa lebih baik, Nyonya Winter?” tanya
Frank.
“Maxim telah mengatakan padaku untuk membawamu
kembali ke Manderley,” Frank menolongku untuk bangkit.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
117
“Aku lebih baik tinggal,” kataku. “Aku ingin menunggu
Maxim.”
“Maxim mungkin tak lama,” Frank bilang padaku mereka
mungkin harus memeriksa bukti-bukti lagi.
“Tapi apa yang mereka coba untuk mengetahui?”
Frank tidak menjawab. Kami ada di mobilnya sekarang dan
dia mengendarai sangat cepat.
“Apakah kamu melihat Favell di sana?” tanyaku. “Dia duduk
dengan Nyonya Danvers. Aku tidak percaya mereka, Frank.
Mereka mungkin membuat kesusahan.”
Frank tidak menjawab. Dia tidak tahu bagaimana banyak
Maxim telah bilang padaku. Kemudian kami kembali ke
Manderley.
“Akankah kau baik-baik saja sekarng?” Frank tanya padaku.
“Aku akan pergi balik. Maxim mungkin menginginkan saya,” dia
kembali dengan cepat masuk mobil lagi dan pergi.
Aku pergi ke lantai atas ke kamarku dan berbaring di atas
ranjangku. Apa yang mereka semua katakan sekarang? Apa yang
sedang terjadi? Apa yang akan aku lakukan jika Frank kembali ke
Manderley tanpa Maxim? Aku berpikir lagi tentang kata yang
mengerikan itu. Pembunuhan. Tuhan, jangan biarkan aku berpikir
tentang sesuatu yang lain, apa saja.
Aku pasti telah tertidur. Aku bangun tiba-tiba. Itu adalah jam
lima. Aku bangkit dan pergi ke jendela, tidak ada angin. Kilat
nyala pada langit kelabu. Aku dengar guruh di kejauhan. Beberapa
tetes hujan mulai jatuh.
Aku pergi ke lantai bawah dan duduk dengan Jasper dalam
perpustakaan.

Tuesday, June 21, 2016

Sembilan belas
Kolonel Julian
Maxim pergi ke kamar kecil dan menutup pintu. Aku duduk di
sana, mendengarkan bunyi suara Maxim. Aku tak lagi takut akan
Rebecca, aku tidak membencinya lagi. Maxim dan aku akan
berkelahi bersama ini. Rebecca belum menang dan telah kalah.
“Itu adalah Kolonel Julian,” kata Maxim, ketika dia kembali
masuk ruangan. “Dia adalah hakim lokal, dia sudah ada di sana
ketika mereka menaikkan perahu besok. Dia menanyaiku jika aku
telah membuat kekeliruan tentang tubuh yang satu lagi.”
Telepon mulai berdering lagi. Maxim menjawab itu dengan
cepat dan kembali masuk ke perpustakaan.
“Sudah mulai,” katanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Itu seorang wartawan. Semua hal akan di koran besok. Tidak
ada yang dapat kita lakukan.”
Setelah makan malam, kami kembali masuk perpustakaan
seperti biasa. Aku duduk di kaki Maxim, kepalaku pada lututnya.
Dengan cara yang aneh kami sama sekali bahagia.
Hujan turun di malam itu. Ketika aku bangun di pagi hari,
Maxim telah pergi keluar. Aku turun untuk sarapan seperti biasa.
Ada banyak surat terima kasih kita untuk pesta dansa itu. Betapa
jauh itu nampaknya! Aku merasa lebih tenang, lebih tahu banyak
sekarang. Aku membawa surat-surat itu ke ruang pagi. Terkejutku,
kamar itu kosong dan tidak rapi. Jendela-jendela tertutup rapat dan
bunga-bunga telah mati. Aku membunyikan bel untuk pelayan
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
109
wanita dan kemudian dia datang, aku bicara padanya dengan
marah. Aku heran mengapa aku telah menakutkan pelayan-pelayan
itu sebelumnya.
Menu untuk hari ini terletak di atas meja tulis. Itu adalah
makanan yang sama seperti hari sebelumnya. Aku mencoret
semuanya dan menelepon Robert.
“Bilang Nyonya Danvers untuk memesan sesuatu yang
berbeda,” aku bilang padanya. Kemudian aku pergi keluar menuju
kebun dan memotong beberapa mawar. Dengan segera Maxim
akan kembali, aku kira. Aku musti tenang dan diam. Aku
membawa mawar-mawar itu kembali menuju ruang pagi. Itu sudah
bersih dan rapi sekarang.
Ketika aku mulai mengatur kembang-kembang itu, ada
ketukan di pintu.
Itu Nyonya Danvers, memegang menu di tangannya. Dia
nampak pucat dan lelah.
“Aku tidak mengerti,” katanya. “Aku tidak bisa menyajikan
pesan yang dikirim Robert. Ketika Nyonya Winter ingin perubahan
menu, Nyonya bilang sendiri padaku.”
“Aku adalah Nyonya Winter sekarang, Nyonya Danvers,”
kataku. “Dan aku akan melakukan hal-hal dengan caraku sendiri.”
Nyonya Danvers menatapku.
“Itu benar,” katanya pelahan. “Bahwa perahu Nyonya Win
telah ditemukan dan ada sesosok tubuh di dalam kabin?” tanyanya
perlahan.
“Aku takut, aku tidak tahu apa-apa soal itu,” kataku.
“Tidak tahukah Anda?” kata Nyonya Danvers. Dia berdiri
memandangku, aku menolak.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
110
“Aku akan berpikir pesanan tentang makan siang,” katanya.
Dia menunggu tapi aku tak bicara apa pun. Dia pergi keluar dari
ruangan.
Nyonya Danvers tidak menakutkanku lagi. Dia adalah
musuhku dan aku tak peduli. Tapi jika ia belajar kebenaran tentang
kematian Rebecca, dia akan menjadi musuh Maxim juga. Aku
mendadak merasa muak dan sakit. Aku pergi keluar menuju teras
dan mulai berjalan naik turun.
Pada jam setengah dua belas, Maxim meneleponku dari kantor
Frank. Dia mengatakan padaku dia membawa Kolonel Julian dan
Frank kembali makan siang.
Waktu berlarut-larut dari jam lima sampai jam satu, aku
dengar bunyi mobil di jalan. Maxim datang menuju aula dengan
Frank dan Kolonel Julian.
Kolonel Julian, sang hakim itu, adalah seorang pria berumur
pertengahan dengan wajah baik hati dan rambut beruban.
“Ini hal paling tak menyenangkan untukmu dan suamimu,”
Kolonel Julian bilang padaku. “Aku merasa sangat menyesal untuk
kalian berdua.”
Maxim dan Frank melanjutkan ke ruang makan dan Kolonel
Julian melanjutkan bicara padaku dengan tenang.
“Kami menemukan sesosok tubuh dalam perahu pagi ini. Itu
adalah tubuh Nyonya Winter. Seperti Anda tahu, Tuan Winter
memperkenalkan tubuh orang lain yang ditemukan di laut sebagai
istrinya. Itu yang membuat hal-hal agak sulit untuk kita sekarang.”
Kolonel berhenti tiba-tiba ketika Maxim kembali masuk aula.
“Makan siang sudah siap, akankah kita masuk?” katanya.
Aku tidak melihat pada Maxim selama makan siang. Kami
bicara tentang cuaca dan Kolonel Julian menanyaiku tentang
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
111
kehidupanku di Prancis. Frith dan Robert ada di dalam ruangan itu
dan tak ada orang yang ingin membicarakan tentang perahu itu.
Akhirnya Frith menghidangkan kopi dan para pelayan
meninggalkan kami.
“Aku mau sebuah pemeriksaan yang tak perlu,” kata Kolonel
Julian, “Tapi aku takut itu – aku tidak berpikir itu akan lama. De
Winter harus mau bilang bahwa tubuh dalam perahu itu adalah
Nyonya De Winter. Kemudian pembangun perahu itu akan bilang
bahwa perahu itu ada dalam pesanan yang bagus ketika terakhir dia
melihatnya. Ini musti dilakukan.”
“Itu sungguh tidak apa-apa,” kata Maxim. “Kami mengerti.”
“Aku kira Nyonya Winter terpaksa turun ke kabin untuk
sesuatu. Kemudian pintu menutup, dan entah mengapa dia terjebak
di sana. Tidakkah kau pikir begitu, Crawley?” Kolonel menanyai
Frank.
“Oh ya, tentu,” kata Frank. Aku punya perasaan kaget bahwa
Frank tahu kebenaran itu.
“Pemeriksaan akan dilanjutkan selasa siang,” Kolonel Julian
bilang pada kami. “Kita akan membuat itu sesingkat mungkin,
tetapi aku khawatir para wartawan akan ada di sana.”
Ada kesunyian yang lain.
“Akankah kita pergi ke kabin?” kataku. Kita semua berdiri di
teras untuk sementara dan kemudian Kolonel Julian melihat
arlojinya.
“Terima kasih makan siangnya,” katanya padaku. “Aku kira
aku musti berangkat sekarang. Inginkah Anda sebuah tumpangan,
Crawley?”
Maxim berjalan dengan mereka menuju mobil. Kemudian
mereka telah pergi, dia kembali padaku ke teras.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
112
“Itu akan jadi baik-baik saja,” kata Maxim. “Di sana tidak
akan ada kesusahan pada pemeriksaan itu. Tidak ada hal untuk
menunjukkan apa yang telah aku lakukan. Kolonel Julian pikir dia
terjebak dalam kabin dan dewan juri akan berpikir itu pula.” Aku
tidak bilang apa-apa.
“Padamu aku minta maaf,” Maxim bilang padaku dengan
sedih. “Aku tidak peduli tentang apa pun yang lain. Aku senang
membunuh Rebecca. Tapi aku tidak dapat melupakan ini telah
terjadi padamu. Kamu kehilangan saat begitu muda, pandangan
baik hati. Dan itu tak akan pernah kembali. Dalam dua puluh
empat jam, kamu tumbuh lebih tua.”
****
Frith membawa masuk surat kabar waktu sarapan hari
berikutnya. Semua cerita ada di dalamnya. Ada gambar dari
Manderley dan sebuah gambar mengerikan dari Maxim. Semua
surat kabar mengatakan bahwa tubuh Rebecca telah ditemukan di
hari pesta dansa pakaian khayal. Mereka bilang bagaimana setiap
orang telah mencintai Rebecca. Mereka semua bilang bahwa
Maxim telah mengawini istri muda kedua dalam setahun kematian
Rebecca. Itu semua membuat sebuah cerita bagus. Wajah Maxim
menjadi lebih putih dan tambah putih.
“Apa yang akan koran katakan jika mereka tahu kebenaran
itu?” aku pikir, bahwa kata yang buruk –pembunuhan- akan ada di
setiap halaman depan.
Frank memiliki pertolongan hebat untuk kami. Kami tak
punya lagi panggilan telepon dari wartawan dan tak ada tamutamu.
Itu hanya sebuah pertanyaan sampai hari selasa. Maxim dan
aku tinggal dengan tenang dalam rumah atau dalam kebun. Kami
tidak jalan-jalan dalam hutan atau turun ke laut. Cuaca sangat
panas dan udaranya tebal. Di sana ada mendung, tapi hujan tidak
turun.


Monday, June 20, 2016

Delapan belas
Kebenaran tentang Rebecca
Hari itu sangat tenang dalam perpustakaan. Ketika orangorang
shock berat, mereka tidak merasakan apa-apa pada mulanya.
Aku berdiri di samping Maxim dan aku tidak punya perasaan sama
sekali. Kemudian Maxim membawaku dalam tangannya dan mulai
menciumku. Dia belum pernah menciumku seperti ini sebelumnya.
“Aku mencintaimu begitu besar,” dia berbisik.
Ini adalah apa yang telah aku ingin katakan padanya, setiap
hari dan setiap malam. Tapi aku tidak dapat merasakan apa-apa
sekarang.
Maxim berhenti tiba-tiba dan mendorongku menjauh darinya.
“Kau tahu, aku benar,” katanya. “Itu terlambat, kamu tidak
mencintaiku sekarang.”
“Itu tidak terlambat,” aku bilang, tanganku merangkulnya,
“Aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini.”
“Itu tak ada gunanya sekarang,” kata Maxim. “Kita tidak
punya waktu. Mereka telah menemukan perahu itu. Mereka telah
menemukan Rebecca.”
Aku menatapnya, aku tidak mengerti.
“Apa yang akan mereka lakukan?” kataku.
“Mereka akan memastikan bahwa tubuh dalam kabin itu
adalah Rebecca. Kemudian mereka akan ingat bahwa tubuh orang
lain dalam gereja itu. Perempuan lain itu, yang aku bilang
Rebecca.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
103
“Apa yang akan kita lakukan?” kataku.
Maxim tidak menjawab.
“Adakah seseorang mengetahui? Tidak ada sama sekali?”
kataku.
Maxim menggeleng kepalanya.
“Kau yakin Frank tidak tahu?” aku tanya dengan cepat.
“Bagaimana bisa dia?” kata Maxim. “Tidak ada seorang pun
di sana selain aku. Itu gelap....” dia berhenti. Dia duduk di kursi
dan aku berlutut di sisinya.
“Mengapa tidak kau katakan padaku?” bisikku.
“Aku hampir melakukan, sekali,” kata Maxim. “Tapi kamu
selalu nampak begitu tidak bahagia dan begitu pemalu.”
Aku menjawab dengan sangat tenang.
“Aku tahu kamu berpikir tentang Rebecca setiap saat.
Bagaimana bisa aku mencintaimu untuk mencintaiku ketika aku
tahu kamu mencintai Rebecca?”
“Kamu pikir aku mencintai Rebecca?” katanya. “Aku
membencinya. Kami tak pernah mencintai satu sama lain. Rebecca
tak pernah mencintai seseorang kecuali dirinya sendiri.”
Aku duduk di atas lantai, memandangnya.
“Dia pintar tentunya,” Maxim melanjutkan. “Setiap orang
mengira dia paling baik hati, paling mempesona orang. Ketika aku
mengawininya, orang-orang bilang padaku, aku adalah pria paling
beruntung di dunia.”
“Aku mengetahui kebenaran setelah lima hari kami menikah.
Kami ada di bukit dekat Monte Carlo. Itu adalah tempat yang sama
aku pergi bersamamu. Kau ingat? Dia duduk di sana di dalam
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
104
mobil dan mengatakan padaku keburukan. Hal-hal yang jahat
tentang dirinya. Hal-hal yang tak dapat aku ceritakan pada
seseorang.”
Maxim memandang keluar dari jendela.
“Aku tidak membunuhnya kemudian,” katanya. “Kubiarkan
dia tertawa. Dia tahu bahwa aku akan membawanya ke Manderley.
Dia tahu aku tak akan pernah menceraikannya. Aku tak akan
pernah mengatakan pada orang-orang semua hal-hal buruk itu.
Yang dirinya telah katakan padaku.”
Maxim menghampiriku dan mengulurkan tangannya.
“Kamu benci aku, bukan?” katanya. “Kamu tak bisa mengerti
aku, bukan?”
Aku tak bilang apa-apa. Aku memegang dua tangannya pada
hatiku. Hanya satu hal terjadi. Maxim tidak mencintai Rebecca.
Dia belum pernah mencintainya, tak pernah, tak pernah.
Maxim bicara lagi.
“Aku berpikir tentang Manderley terlalu banyak,” katanya,
“Aku meletakkan Manderley pertama, sebelum sesuatu yang lain.
Aku tak dapat mengatakan padamu tentang tahun-tahun keburukan
itu dengan Rebecca. Tapi dia membuat Manderley yang indah
seperti hari ini. Dan aku menerima segalanya, karena Manderley.”
“Rebecca hati-hati pada mulanya,” Maxim melanjutkan. “Dia
punya rumah petak di London. Dia menemui teman-temannya di
sana. Kemudian dia mulai tumbuh sembrono. Dia mengundang
teman turun di sini, ke Manderley. Aku peringatkan dia. Aku
katakan padanya bahwa Manderley adalah milikku. Rebecca tidak
bilang apa-apa. Dia hanya tersenyum.”
“Kemudian Frank datang padaku dan bilang padaku dia ingin
cuti. Dia tidak akan mengatakan mengapa pada mulanya. Tapi aku
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
105
memperoleh kebenaran darinya pada akhirnya. Rebecca tak pernah
membiarkannya sendiri. Dia selalu pergi ke rumahnya dan
meminta dia ke pondoknya.”
“Rebecca pergi ke London untuk suatu waktu. Ketika dia
kembali, dia membawa Giles berlayar dengannya, aku tahu apa
yang telah terjadi segera setelah mereka kembali. Beatrice dan
Giles tak pernah menetap di Manderley lagi. Setelah itu, aku tahu
aku tak pernah dapat mempercayai Rebecca dengan seseorang,”
“Dia punya sepupu pria yang mengerikan, dipanggil jack
Favell. Dia mulai datang ke sini ketika aku pergi,”
“Aku sudah bertemu dia,” kataku, “Dia datang ke sini hari itu
kau pergi ke London. Aku tak bilang padamu. Aku tak ingin
mengingatkanmu tentang Rebecca.”
“Mengingatkan?” kata Maxim. “Ya Tuhan, aku tak pernah
butuh untuk diingatkan.”
“Favell sering tinggal dengan Rebecca turun di pondok. Dia
adalah pria jahat. Dia punya masalah dengan polisi berkali-kali.
Aku bilang pada Rebecca bahwa aku akan menembak Favell bila
dia datang ke Manderley lagi.”
“Kemudian, satu malam, aku tak tahan hidup di sini lebih
lama lagi. Rebecca kembali dari London sangat lambat. Dia pergi
ke pondok, aku kira? Favell ada dengannya. Aku pergi setelah
mereka. Aku membawa bedil untuk menakutinya.”
Maxim bicara dengan cepat, kalimat-kalimatnya pendek. Aku
memegang tangannya dengan erat.
“Aku melihat sebuah lampu dalam pondok itu dan langsung
masuk, kuterkejut, Rebecca sendirian, dia nampak sakit dan aneh.”
“’Inilah akhirnya’ aku bilang padanya, ‘aku tak tahan lagi.’”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
106
“Rebecca melihat padaku dan tersenyum.”
“’tak mudah untuk menceraikanku’ kata Rebecca, ‘setiap
orang percaya perkawinan kita sempurna’.”
“Kemudian dia berdiri tegak dan berjalan ke arahku. ‘jika aku
punya seorang anak, Max,’ katanya. ‘setiap orang akan berpikir itu
adalah anakmu. Kamu senang seorang putra, bukan? Seorang anak
lelaki yang tumbuh dewasa di Manderley. Dan kamu tak kan
pernah tahu siapa bapaknya’.”
“Dan dia tersenyum lagi padaku. Dia tersenyum ketika aku
bunuh dia. Peluru itu menembus jantungnya.”
Suara Maxim sangat rendah. Dia bicara dengan pelan.
“Ada darah di mana-mana di lantai itu. Aku terpaksa
mengambil air dari laut untuk membersihkan tempat itu.”
“Tidak ada bulan, sangat gelap,” Maxim melanjutkan, “aku
membawa tubuh Rebecca ke perahu. Aku baringkan tubuh itu di
atas lantai kabin. Kemudian aku membawa perahu itu keluar
menuju teluk. Aku ingin membawa perahu itu keluar jalan yang
bagus, tapi angin itu terlalu kuat untukku.”
“Aku membuat beberapa lubang di papan kayu itu dengan
sesuatu yang tajam (tongkat). Aku membuka kran laut dan air
mengalir ke dalam. Dalam beberapa menit, itu telah menutupi
kakiku. Aku menutup pintu kabin itu di belakangku. Mendaki ke
sampan kecil dan mengayuh balik. Perahu Rebecca sudah
tenggelam. Aku duduk dan mengawasinya turun ke bawah.”
Maxim memandangku.
“Cukup,” katanya. “Tak ada lagi untuk dikatakan.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
107
Perpustakaan itu sangat tenang. Kami duduk di sana bersama
untuk beberapa menit tanpa berkata apa pun. Kemudian Maxim
mulai bicara lagi.
“Aku tahu perahu itu akan ditemukan suatu hari,” katanya.
“Rebecca tahu dia akan menang di akhirnya. Aku melihat
senyumnya ketika dia mati.”
“Tapi Rebecca telah mati,” aku bilang padanya. “Untuk apa
musti kita mengingat.”
“Penyelam itu telah melihat tubuhnya. Mereka akan
menaikkan perahu itu besok pagi. Mereka akan mengetahui bahwa
itu adalah tubuhnya Rebecca dalam kabin.”
“Kemudian kamu musti bilang kamu membuat kesalahan
tentang tubuh yang lain. Tak seorang pun melihat malam itu.
Hanya dua orang siapa yang tahu apa yang telah terjadi malam itu,
Maxim.”
“Ya,” katanya, “Ya, aku kira begitu.”
“Mereka akan mengira perahu itu tenggelam ketika Rebecca
turun ke dalam kabin. Mereka akan mengira dia terjebak di sana.
Mereka akan mengira itu, bukan? Maxim?” kataku.
“Aku tidak tahu,” Maxim menjawab dengan perlahan. “Aku
tidak tahu.”
Pada saat itu, telepon di ruang sebelah mulai berdering.

Sunday, June 19, 2016

Enam Belas
“Mengapa Kamu Tak Melompat?”
Aku tertidur sekitar tujuh jam, ketika aku bangun lagi, itu
setelah jam sebelas. Clarice telah membawakanku teh. Itu sudah
dingin, tapi aku minum itu, ranjangnya Maxim kosong. Dia tidak
datang ke ranjang sama sekali, aku duduk tegak, memandang lurus
di depanku.
Perkawinanku telah gagal, itu telah gagal setelah tiga bulan.
Aku terlalu muda untuk Maxim, aku kenal terlalu sedikit tentang
dunia. Nyatanya bahwa aku mencintainya tidak membuat
perbedaan. Itu bukan macam cinta yang dia butuhkan, Maxim tidak
cinta denganku. Dia tak pernah mencintaiku, dia tidak memilikiku,
dia milik Rebecca, Rebecca adalah Nyonya De Winter yang
sesungguhnya. Aku tak pernah dapat jadi nyonya rumah di
Manderley. Di mana pun aku berjalan, di mana pun aku duduk, aku
melihat Rebecca. Aku kenal tingginya, sosok yang ramping, wajah
kecilnya dan kulitnya putih jernih. Jika aku pernah mendengar
suaranya, aku akan tahu itu, Rebecca – selalu Rebecca. Aku tak
akan pernah lepas dari Rebecca. Dia terlalu kuat untukku.
Aku bangkit dari ranjang dan membuka korden. Sinar mentari
mengisi ruangan. Aku tak dapat bersembuyi dalam kamar tidur
lagi, aku ke kamar mandi, berpakaian dan pergi ke lantai bawah.
Para pelayan sangat sibuk, kamar-kamar sangat rapi dan bersih.
Bunga-bunga telah lenyap. Segera di sana takkan ada hal- hal yang
mengingatkan kita tentang pesta dansa pakaian khayal.
Aku ketemu Robert di ruang makan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
89
“Selamat pagi, Robert,” kataku. “Sudahkah kau tahu di mana
Tuan De Winter?”
“Dia pergi keluar segera setelah sarapan, Nyonya. Dia sudah
tidak ada di dalam sejak itu.”
Aku pergi ke dalam ruang kecil di balik perpustakaan dan
mengangkat telepon. Mungkin Maxim dengan Frank, aku terpaksa
berbicara ke Maxim. Aku terpaksa menjelaskan tentang malam
lalu.
“Frank, ini aku,” kukatakan ketika dia menjawab. “Di mana
Maxim?”
“Aku tidak tahu. Aku belum melihat dia,” kata Frank,
“Bagaimana dia tidur? Bagaimana dia makan pagi?”
“Frank,” aku bilang perlahan, “Maxim tidak datang ke ranjang
malam lalu.”
“Ke mana kau kira dia pergi?” kutanya. “Aku harus bertemu
dia. Aku harus menjelaskan tentang malam itu. Maxim mengira
aku melakukan itu sebagai candaan.”
Aku tak dapat menghentikan air mataku sekarang, mereka
berhenti melimpah wajahku ketika aku bicara,.
“Kamu tidak seharusnya bicara seperti itu,” Kata Frank. “Biar
aku naik dan melihatmu.”
“Tidak,” kataku. “Itu telah terjadi, tidak ada hal yang bisa
diubah sekarang, mungkin itu hal yang bagus. Aku mengerti halhal
lebih jelas sekarang.”
“Apa maksudmu?” kata Frank, dengat cepat.
“Maxim tidak mencintaiku, dia mencintai Rebecca,” kataku,
“Dia tak pernah melupakannya. Dia tak pernah mencintaiku,
Frank. Selalu Rebecca, Rebecca, Rebecca.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
90
Aku dengar Frank berteriak, “Aku harus datang dan
melihatmu,” katanya.
Aku meletakkan telepon dan berdiri tegak. Aku tak ingin
bertemu Frank, dia tak dapat menolongku, selain diriku sendiri.
Mungkin aku tak akan pernah ketemu Maxim lagi, mungkin
Maxim telah meninggalkanku dan tak akan pernah kembali, aku
tak dapat mengambil pikiran-pikiran ini keluar dari otakku.
Aku memandang keluar dari jendela. Kabut telah datang dari
laut. Aku tak dapat melihat hutan itu. Matahari bersembunyi di
balik dinding kabut. Aku dapat mendengarkan laut dan mencium
baunya dalam kabut. Aku berjalan keluar dari rumah dan di atas
halaman rumput. Aku lihat kembali rumah itu. Salah satu dari daun
jendela di sayap barat telah ditarik ke belakang. Seseorang berdiri
di sana, melihat padaku. Untuk sementara, aku pikir itu adalah
Maxim. Kemudian sosok itu pindah dan aku melihat bahwa itu
Nyonya Danvers.
Aku berjalan balik menyeberangi halaman rumput.
Aku merasa bahwa ia tahu tentang air mataku. Dia telah
merencanakan semua ini terjadi. Ini adalah kemenangannya – dan
kemenangan Rebecca.
Aku ingat Nyonya Danvers tersenyum padaku, seperti setan,
tapi dia seorang perempuan yang hidup seperti diriku. Dia tidak
mati, seperti Rebecca, tapi aku dapat bicara dengan Nyonya
Danvers.
Aku pergi melalui rumah itu, sepanjang jalan beratap yang
tenang dan gelap dari sayap barat ke kamar Rebecca. Aku putar
gagang pintu dan masuk.
Nyonya Danvers masih berdiri dekat jendela. Daun jendela itu
dilipat balik, dia menoleh padaku dan aku lihat bahwa matanya
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
91
merah penuh dengan tangis. Ada bayangan gelap pada wajah
putihnya.
“Kamu telah melakukan apa yang aku inginkan, Nyonya
Danvers,” kataku. “Kamu ingin ini terjadi bukan? apakah kamu
senang sekarang? Apakah kamu bahagia?”
Dia memalingkan kepalanya dariku.
“Mengapa kamu datang ke Manderley?” katanya, “Tak
seorang pun menginginkanmu. Kami baik-baik saja sampai kamu
datang.”
“Kamu rupanya lupa bahwa aku mencintai Tuan Winter.”
Kataku.
“Jika kamu mencintainya, kau tak akan pernah menikahinya,”
Nyonya Danvers bilang.
“Mengapa kamu membenciku?” tanyaku, “apa yang telah
kulakukan padamu?”
“Kamu mencoba mengambil tempat Nyonya Winter,” kata
dia.
“Tapi aku tidak mengubah apa-apa di sini. Aku serahkan
segala sesuatu padamu. Aku ingin jadi temanmu,” kataku.
Dia tidak menjawab.
“Banyak orang kawin dua kali,” kataku. “Perkawinanku
dengan Tuan Winter bukan kejahatan. Tidakkah kita punya hak
untuk bahagia?”
“Tuan De Winter tidak bahagia,” Nyonya Danvers bilang,
melihat padaku akhirnya. “Pandang matanya. Dia seperti dalam
neraka. Dia sudah nampak seperti itu sejak dia meninggal.”
“Itu tidak benar,” kataku. “Itu tidak benar. Dia bahagia ketika
kami di Itali bersama.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
92
“Baiklah, dia adalah seorang pria, bukan?” katanya dengan
tawa yang keras, “setiap pria suka bersenang-senang di bulan
madunya.”
Aku mendadak sangat marah dan tidak takut dengan Nyonya
Danvers lagi, aku pergi padanya dan mengocoknya dengan tangan.
“Betapa beraninya kau bicara padaku seperti itu, betapa
beraninya kamu? Kamu membuatku memakai pakaian itu malam
itu. Kamu ingin menyakiti Tuan Winter. Aku pikir sakitnya dan tak
bahagianya akan membawa Tuan Winter kembali?”
Nyonya Danvers bergerak menjauh dariku.
“Peduli apa aku untuk sakitnya?” katanya, “dia tak pernah
peduli tentang milikku. Bagaimana pendapatmu yang kurasa,
memperhatikan kamu duduk di tempatnya, menggunakan barangbarang
yang dia gunakan? Aku mendengar para pelayan
memanggilmu Nyonya De Winter. Dan seluruh waktu, Nyonya De
Winter yang asli dengan senyumnya dan wajah yang
menyenangkan berbanding dingin sepi dan menjemukan di dalam
gereja.”
Wajah nyonya tertekuk dengan sakit suaranya keras dan
tajam.
“Tuan De Winter patut mendapat sakitnya, mengawini gadis
muda seperti kamu – dan cuma sepuluh bulan setelah kejadian itu.
Baiklah, dia membayar untuk itu sekarang. Maxim tahu Rebecca
telah memperhatikannya. Gadisku datang di malam hari dan
memperhatikannya.”
“Aku merawatnya ketika dia seorang anak. Kau tahu itu?”
“Tidak,” kataku, “Tidak. Apa gunanya itu, Nyonya Danvers?
Aku tidak ingin mendengar lagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
93
Nyonya Danvers rupanya tidak mendengarku. Dia
melanjutkan bicaranya dengan suara tinggi dan kasar.
“Nyonya De Winter adalah anak yang menyenangkan,”
katanya. “Ketika dia cuma dua belas tahun usianya, pria-pria tak
dapat berhenti memandanginya. Tapi bahkan kemudian, dia tidak
dipedulikan siapa-siapa. Dan ketika dewasa, dia dipukul di bagian
akhir. Tapi itu bukan seorang pria. Dia adalah seorang perempuan.
Laut itu mendapatkannya. Laut itu terlalu kuat untuknya di bagian
akhir.”
Nyonya Danvers mulai menangis gaduh, dengan membuka
mulutnya dan kering matanya.
“Nyonya Danvers, kamu tidak sehat. Kamu seharusnya ada di
ranjang,” kataku.
Dia memandangku dengan marah.
“Silakan,” meninggalkanku sendiri. “Mengapa bukan aku
yang menangis? Apa itu harus kulakukan denganmu? Kamu datang
ke sini dan berpikir kamu dapat mengambil tempat Nyonya De
Winter. Kamu! Mengapa, bahkan para pelayan tertawa padamu
ketika kamu datang ke Manderley.”
“Kamu lebih baik menghentikan ini, Nyonya Danvers,”
kataku. “Kamu lebih baik pergi ke kamarmu.”
“Iya, dan kemudian apa yang akan kau lakukan? Kamu akan
pergi ke Tuan De Winter dan cerita padanya bahwa Nyonya
Danvers telah tidak enak padamu. Kamu akan pergi padanya
seperti kamu lakukan ketika Tuan Jack datang ke sini.”
“Tuan De Winter iri dengan Tuan Jack ketika Rebecca masih
hidup. Dia cemburu, itu menunjukkan kamu tidak bisa
membuatnya melupakannya, bukan? Tentu Tuan De Winter iri.
Rebecca tidak peduli, dia hanya tertawa. Semua pria jatuh cinta
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
94
padanya, Tuan De Winter, Tuan Jack, Tuan Crawley. Itu seperti
pertandingan untuknya.
“Aku tidak ingin tahu,” kataku, “Aku tak ingin tahu.”
Nyonya Danvers datang mendekat padaku dengan meletakkan
kepalanya dekat ke wajahku.
“Itu tak ada gunanya, bukan?” katanya. “Dialah Nyonya De
Winter sesungguhnya, bukan kamu.”
Aku mengelakkan diri darinya, menuju jendela. Dia
mengambil tanganku dan memegangnya.
“Mengapa kamu tidak pergi?” dia berkata lagi. “Dia tak ingin
kamu, dia tak pernah melakukan. Dia tak dapat melakukannya. Dia
ingin sendiri di dalam rumah lagi, dengannya.”
Dia mendorongku menuju pintu terbuka. Aku dapat melihat
bebatuan di teras bawah. Di bawah teras adalah sebuah dinding
putih dari kabut.
“Lihat di bawah sana,” Nyonya Danvers bilang. “Itu mudah
bukan? Mengapa kamu tidak melompat? Itu tidak akan sakit. Itu
bukan seperti tenggelam. Mengapa kau tak mencoba itu? Mengapa
kamu tidak pergi?”
Kabut masuk melalui jendela terbuka, lembab dan tebal. Aku
berpegangan pada pinggir jendela, dengan dua tangan.
“Jangan takut,” kata Nyonya Danvers. “Aku tak akan
mendorongmu, kau dapat melompat. Kamu tidak bahagia. Tuan
Winter tidak mencintaimu. Mengapa kamu tidak melompat
sekarang?”
Kabut lebih tebal dari biasanya. Ada kabut di bawah dan di
sekitarku. Jika aku melompat sekarang, aku tidak akan melihat
batu-batu itu. Jatuh akan membunuhku. Maxim tidak mencintaiku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
95
“Terus,” bisik Nyonya Danvers. “Terus, jangan takut.”
Kututup mataku, jari-jariku sakit karena memegang birai.
Kabut tebal membuatku lupa ketidak bahagiaanku. Aku bisa lupa
tentang mencintai Maxim. Aku bisa lupa tentang Rebecca. Aku
tidak akan punya pikiran tentang Rebecca lagi.
Sebuah ledakan keras mengguncang jendela di mana kami
berdiri. Gelas retak. Aku membuka mataku dan menatap Nyonya
Danvers. Ledakan pertama diikuti oleh yang lain, kemudian ketiga,
dan keempat.
“Apa itu?” kataku, “Apa yang telah terjadi?” Nyonya Danvers
membiarkan tanganku. Dia memandang keluar dari jendela ke
dalam kabut.
“Itu rocket,” katanya. “Pasti ada kapal dalam masalah di
teluk.”
Kami mendengarkan, menatap ke dalam kabut putih bersama.
dan kemudian kami mendengar bunyi langkah kaki di atas teras di
bawah kami.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---

Saturday, June 18, 2016

Lima Belas
Nona Caroline De Winter
Di hari pesta dansa, Maxim dan aku telah makan siang dengan
Frank. Pakaian dan wigku telah tiba dan mereka berdua nampak
sempurna. Maxim dan Frank bertanya padaku tentang kostumnya
tapi aku tak bilang apa pun. Rahasia itu membuatku merasa gairah
dan penting.
“Kau tidak akan tahu punyaku,” kataku pada mereka. “Kamu
berdua akan dapat kejutan dalam hidupmu.”
Maxim dan aku kembali ke rumah setelah makan siang.
Orkesnya telah tiba dan kami menyambut pria-pria itu. Siang itu
nampak sangat panjang. Aku pikir tentang pergi jalan-jalan.
Kemudian tiba-tiba, saat minum teh, Beatrice dan suaminya Giles
telah tiba.
“Ini seperti masa lalu,” kata Beatrice, melihat-lihat segalanya
seindah dulu. “Apa yang akan dipakai orang-orang, aku kira kamu
menolak memakai pakaian khayal, Maxim?”
“Tentu,” kata Maxim. “Aku lebih suka akan jadi nyaman.”
“Aku akan memakai pakaian arab,” kata Giles, “Aku dapat ide
itu dari teman.”
“Bagaimana dengan Anda, Nyonya Lacey?” Frank bilang
pada Beatrice.
“Aku akan memakai pakaian timur juga. Aku akan pakai
kerudung dan banyak permata. Aku akan jadi kul dan nyaman.
Cukup persoalan itu.”
Beatrice beralih padaku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
81
“Dan apa yang akan dipakai nyonya rumah kita?” tanyanya.
“Pesta dansa ini untuk Anda, akhirnya. Kami semua mengharap
Anda memakai sesuatu yang sungguh spesial.”
“Jangan menanyainya” kata Maxim. “Dia tidak akan ngomong
pada setiap orang. Dia punya pakaian buatan London.”
“Itu benar-benar sederhana,” kataku.
“Betapa lucunya itu semua,” kata Beatrice. Aku memperoleh
gairah sudah.
“Kamu harus terima kasih padanya untuk itu,” kata Maxim,
tersenyum padaku.
Setiap orang memandangku dan tersenyum. Aku merasa
senang dan bahagia. Pesta dansa ini untukku karena aku seorang
pengantin wanita barunya Maxim. Manderley telah dibuat menjadi
sebuah tempat yang terang dan indah, hanya untukku.
“Jam berapa?” kataku. “Aku pikir kita harus siap.”
Aku menemukan Clarice menungguku di kamar tidur,
wajahnya penuh dengan kegairahan. Aku mengunci pintu dan
mengambil pakaian dari kotaknya. Terpasang dengan sempurna.
Aku melihat diriku di kaca, aku tersenyum. Aku merasa berbeda
sudah. Aku adalah seorang yang lebih mengasyikkan dan menarik
dari biasanya.
“Berikan wig itu padaku, Clarice,” kataku. “Hati-hati,
kritingnya jangan jadi lurus,” aku sisir kembali rambut lurusku.
Dengan hati-hati aku letakkan wig di tempat. Aku melihat di kaca
lagi. Wig dan pakaian pantas yang ketat membuatku hampir cantik.
“Oh, Clarice,” kataku. “Apa yang akan Tuan Winter bilang?”
Ada ketukan di pintu.
“Siapa itu?” kataku. “Kamu tak dapat masuk.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
82
“Ini aku, sayang,” kata Beatrice. “Apa kamu sudah siap? Aku
ingin melihatmu.”
“Tidak, jangan,” kataku. “Kau tak dapat masuk, katakan pada
Maxim bahwa dia tak dapat masuk juga, aku akan turun ketika aku
siap.”
Aku melihat di kaca lagi. Mataku melihat lebih besar dan
keritingnya membuat awan yang lembut sekitar kepalaku, aku
mengambil rok di tangan.
“Buka kunci pintunya,” kataku pada Clarice. “Aku mau
turun.”
Aku berdiri di balai dan memandang ke bawah pada aula di
bawah. Ada Giles dengan kostum arab putihnya. Beatrice memakai
pakaian hijau panjang, Frank berpakaian seperti pelaut. Hanya
Maxim memakai pakaian sore.
“Aku tak tahu apa yang dia lakukan,” aku dengar Maxim
berkata. “Jam berapa, Frank? Dia musti turun segera.”
Aku melihat ke atas pada gambar Caroline De Winter. Ya,
pakaiannya persis seperti milikku dan dia punya rambut keriting
yang sama. Orkes itu main dengan lembut di balai.
“Pukul dramnya,” kataku. “Dan panggil Nina Caroline De
Winter,” dram berbunyi, setiap orang mendongak.
“Nona Caroline De Winter,” pria itu berteriak.
Aku berdiri di puncak tangga, tersenyum. Aku mengharap
semua orang tertawa dan tepuk tangan ketika aku berjalan
menuruni tangga.
Tak seorang pun tertawa. Tak ada yang tepuk tangan, mereka
semua menatapku tanpa bergerak, aku tersenyum pada Maxim.
“Bagaimana keadaanmu, Tuan Winter?” kataku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
83
Maxim menatap ke atas padaku. Wajahnya sama sekali putih.
Ada sesuatu yang salah. Mengapa Maxim memandangku seperti itu? Dia bergerak menuju tangga.
“Neraka apa yang kau lakukan?” katanya.
Di matanya ada api amarah.
“Inilah gambar itu,” kataku. “Yang di balai,” ada diam yang
lama. Masih tak seorang pun bergerak.
“Ada apa?” kataku. “Apa yang telah kulakukan?”
Ketika Maxim menjawab, suaranya dingin dan keras.
“Pergi dan tinggalkan pakaian itu, tidak masalah apa yang kau
pakai. Ada pakaian petang yang akan kau pakai. Pergi cepat,
sebelum semua orang datang.”
Aku tak dapat bicara, aku berdiri menghadap Maxim.
“Untuk apa kau berdiri di situ?” dia tanya padaku. “Tidakkah
kau dengar apa kataku?”
Aku berbalik dan lari ke atas tangga itu. Mataku penuh
dengan air mata. Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan. Pintu
ke sayap barat itu terbuka. Nyonya Danvers berdiri di sana. Aku
tak akan pernah lupa pandangan buruk di wajahnya. Itu adalah
sebuah pandangan kesenangan—kesenangan tentang kebencian
yang paling buruk. Dia berdiri di sana, tersenyum padaku.
Kemudian aku lari darinya, balik ke kamar saya. Telanjang
dan hampir menjatuhkan rok panjangku.
****
Clarice menunggu aku di dalam sebelum aku masuk kamar
tidur. Dia sudah mendengar apa yang telah terjadi. Ketika dia
melihat wajahku, Clarice mulai menangis.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
84
“Itu tidak masalah, Clarice,” kataku. “Tolong aku
menanggalkan pakaian ini dengan cepat.”
“Apa yang akan nyonya pakai?” Clarice mananyaiku.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Tinggalkan aku sendiri sekarang.
Aku akan baik-baik saja. Turun dan nikmati pesta. Jangan
ceritakan ke orang apa yang telah terjadi.”
Setelah Clarice pergi, seseorang mengetuk pintu. Beatrice
masuk.
“Sayangku,” katanya. “Apa kau baik-baik saja?”
Aku meletakkan tanganku di atas kepala dan menanggalkan
wig.
“Tentu saja aku tahu sekali bahwa itu suatu kesalahan,” kata
Beatrice. “Ada yang belum kau ketahui.”
“Ketahui apa?” kataku, menoleh padanya.
“Tentang kostummu, itu seperti apa yang Rebecca pakai di
pesta terakhir di sini. Ketika kamu berdiri di atas tangga, aku
berpikir untuk saat yang buruk seseorang .....”
“Aku seharusnya sudah tahu,” kataku. Aku sedang berpikir
tentang Nyonya Danvers, dia telah merencanakan ini. Dia telah
tahu apa yang akan terjadi.
“Bagaimana bisa kau tahu?” kata Beatrice. “Tapi itu sebuah
shock untuk Maxim. Dia pikir bahwa yang kau lakukan itu sebagai
canda. Dia pikir itulah mengapa kau simpan pakaianmu sebagai
rahasia. Tapi dia akan mengerti ketika kamu bicara pada setiap
orang bahwa pakaianmu tidak cocok.”
Aku tidak bicara apa pun.
“Sekarang apa yang akan kau pakai?” kata Beatrice. “Pakaian
biru ini sangat cantik, pakailah.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
85
“Tidak,” kataku. “Aku tidak akan turun.”
Beatrice menatapku sebelum dia bicara.
“Tetapi sayangku, kamu harus turun. Itu akan nampak begitu
aneh.”
Aku merasa sangat lelah.
“Apa itu masalah?” kataku.
Beatrice kelihatan shock pada kata-kataku.
“Pikirkan Maxim, kamu musti turun untuknya,” katanya.
“Aku tak bisa, aku tak bisa,” jawabku.
Beatrice menatapku.
“Aku musti turun sekarang,” kata dia akhirnya.
“Mereka akan menungguku di makan malam. Aku akan
katakan pada Maxim, kau akan turun dalam semenit, akankah
aku?”
Aku tidak menjawab dan Beatrice berjalan perlahan ke pintu
dan pergi keluar.
Setelah sebuah waktu yang lama aku bangkit dari ranjang di
mana aku duduk. Aku berjalan menyeberang ke jendela, aku dapat
melihat lampu-lampu warna di pohon. Aku berjalan balik ke meja
pakaian dan memandang wajah putihku dan mata merahku di
cermin. Kemudian secara perlahan aku membasuh muka dan
menyisir rambutku. Aku meletakkan pakaian putih itu dan wignya
kembali ke kotak. Aku tak pernah ingin bertemu mereka lagi. aku
pungut pakaian biru dan memakainya.
Ketika aku sudah siap, aku membuka pintu dan berjalan
sepanjang gang beratap, segalanya sepi dan tenang. Kemudian aku
dengar bunyi suara, pintu kamar makan terbuka.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
86
Tamu-tamu keluar dari kamar makan, seseorang tertawa.
Aku berjalan perlahan turun tangga untuk bertemu mereka.
***
Aku ingat sedikit tentang pesta pertamaku di Manderley, itu
yang pertama dan yang terakhir yang pernah kami selenggarakan
di sana. Aku ingat bahwa Frank membuatkanku sedikit sampanye.
Aku ingat Beatrice tersenyum padaku. Aku ingat berdansa dengan
Giles.
Orkes dimainkan dan orang-orang berdansa. Aku berdiri di
sana dan tersenyum pada setiap orang. Maxim berdiri di
sampingku, matanya dingin dan tajam, bukan mata pria yang aku
kenal dan cintai. Semua melalui malam panjang itu, Maxim tak
pernah memandangiku.
Sekali, Beatrice naik ke atas padaku dan bilang, “Mengapa
kamu tidak duduk di bawah, kamu nampak seperti mati.”
Jam berapa itu, aku tak tahu. Malam itu berlalu jam demi jam.
Kemudian Giles naik padaku dan bilang, “Datang dan lihatlah
kembang api di teras.”
Aku ingat berdiri di teras dan menatap langit, kembang api
mawar menuju langit dan belok menuju bintang-bintang dan
bunga-bunga, langit menjadi merah dan emas. Setiap pintu itu
diwarnai oleh reruntuhan cahaya. Tembok-tembok hijau
Manderley terlihat ramai dan gelap.
Kemudian tiba-tiba, langit gelap pula. Kembang api telah usai.
Aku dengar mobil-mobil memenuhi jalan.
“Mereka mulai pergi,” aku pikir, “Akhirnya mereka mulai
pergi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
87
Orang-orang datang padaku dan mengucapkan selamat
tinggal.
“Semalam pesta hebat,” kata mereka, “Terima kasih banyak
untuk sebuah malam yang hebat. Pesta terbaik yang pernah
kuadakan untuk waktu yang lama.”
Aku jabat tangan mereka semua, aku tersenyum.
“Aku begitu senang, begitu senang,” kataku. Aku tak dapat
memikirkan kata-kata lain. Maxim telah pergi besama Frank untuk
berdiri di jalan. Beatrice singgah ke atas untukku.
“Kerja yang bagus, Sayang,” katanya. “Pesta itu adalah
sebuah kesuksesan besar. Tidak seorang pun punya ide tentang...
kau tahu, kau musti pergi ke ranjang sekarang, kau nampak sangat
lelah. Makan sarapanmu di ranjang.”
“Ya, ya, mungkin akan kulakukan,” kataku.
“Akankah kukatakan pada Maxim bahwa kamu sudah pergi ke
ranjang?”
“Silakan, Beatrice.”
“Baiklah, sayangku. Tidur yang nyenyak.”
Aku jalan pelan masuk rumah. Lampu-lampu telah padam.
Ruangan telah kosong. Aku naik tangga melalui koridor ke
kamarku. Hari itu hampir terang dan seekor burung telah mulai
bernyanyi. Aku melepaskan baju perlahan dan pergi ke ranjang.
Aku meletakkan punggung dan menutup mata.
Tubuhku lelah, tapi pikiranku takkan istirahat. Aku berpikir
berapa lama Maxim akan... jam kecil di samping ranjangku
berdetak dari menit ke menit, aku berbaring miring,
mengawasinya. Satu jam telah berlalu. tapi Maxim tidak datang.

Friday, June 17, 2016

Tujuh belas
“Rebecca Telah Menang”
Itu adalah Maxim turun di atas teras. Aku tak dapat
melihatnya, tapi aku dapat mendengar suaranya. Aku dengar Frith
menjawab dari aula.
“Kapal menabrak batu di teluk,” Maxim memanggil keluar.
“Kabut sangat buruk diluar sana,” Kata Nyonya Danvers,
“Makanan dan minuman sudah siap untuk para pria. Aku akan
kembali ke teluk untuk melihat jika aku dapat melakukan sesuatu.”
Nyonya Danvers bergerak kembali dari jendela.
“Kita lebih baik pergi ke bawah,” dia bilang dalam suara
biasanya. “Frith akan mencariku. Hati-hati tanganmu. Aku akan
menutup jendela.”
Kemudian dia pergi ke pintu dan memegangnya terbuka untuk
saya.
“Ketika kamu melihat Tuan Winter, Nyonya, tolong katakan
padanya, di sana akan ada makanan panas untuk para pria beberapa
saat.”
Aku menatap padanya.
“Ya,” kataku “Ya, Nyonya Danvers.”
Dia membalikkan punggungnya padaku dan pergi melalui
koridor. Aku berjalan perlahan keluar ruangan. Aku merasa seolaholah
aku telah baru saja bangun dari tidur panjang. Ketika aku
mencapai aula, aku melihat Frith.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
97
“Apakah Anda dengar roket itu, Nyonya?” katanya. “Tuan De
Winter pergi turun ke teluk. Dai pergi menyebrang halaman
rumput hanya beberapa menit yang lalu.”
Aku pergi keluar di teras atas. Kabut mulai jernih dan aku
dapat melihat hutan lagi. Aku mendongak pada jendela di atas
kepalaku. Itu terlihat sangat tinggi. Aku tiba-tiba merasa sangat
panas. Kepalaku sakit dan tanganku basah. Aku berdiri sangat
tenang. Kemudian untuk pertama kali aku menyadari bahwa
Maxim berlalu. Aku telah mendengar suaranya dan dia di bawah
sana di teluk. Maxim selamat. Tidak ada masalah lagi jika Maxim
selamat. Aku mulai berjalan melalui jalan setapak nan sempit
menembus hutan. Kabut sudah hampir pergi sekarang. Ketika aku
sampai di teluk, aku dapat melihat kapal sekaligus. Dia di atas batu
itu sekitar dua mil dari pantai. Di sana ada beberapa perahu kecil di
dekatnya. Aku mendaki jalan ke tebing di atas teluk. Frank ada di
sana berbicara kepada penjaga pantai, tapi aku tak dapat melihat
Maxim.
“Mereka akan mengirim penyelam turun segera, Nyonya De
Winter,” kata penjaga pantai. “Mereka ingin tahu jika mereka
dapat membebaskan kapal itu dari batu.”
“Apakah kamu telah melihat Maxim?” aku tanya Frank.
“Dia membawa salah seorang pelaut ke rumah sakit,” Frank
mengatakan padaku. “Orang itu terluka, Maxim seorang penolong
yang baik di saat seperti ini. Apa yang akan kau lakukan?
Dapatkah aku kembali berjalan ke rumah denganmu?”
“Aku kira aku akan tinggal di sini. Aku ingin melihat
penyelam turun,” kataku.
“Bagus,” kata Frank. “Aku di kantor jika kamu menginginkan
saya.”
Penjaga pantai melihat jamnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
98
“Baik, aku musti maju juga,” katanya. “Selamat siang.”
Laut sudah tenang sekarang. Penyelam turun dan muncul lagi.
Tidak ada kejadian lain. Hari sangat panas. Aku duduk di atas
tebing untuk waktu yang lama dan tidak melakukan apa-apa. Tidak
memikirkan apa-apa.
Ketika kulihat jamku lagi, itu jam tiga. Aku bangkit dan
berjalan turun ke bukit ke teluk itu. Ketika aku sampai di bagian
lain, aku melihat Ben. Dia berdiri di sana tersenyum padaku.
“Sudah lihat kapal besar?” katanya.
“Ya,” kataku, “wanita itu di atas batu, bukan?”
“Dia kan menghentikan,” katanya. “Kapal besar itu tak akan
turun seperti yang sedikit. Dia tak akan kembali bukan?”
“Siapa?” tanyaku padanya.
“Dia,” katanya, “Orang lain itu.”
Aku tak tahu apa maksud Ben. Aku meninggalkannya dan
berjalan menuju jalan menembus hutan. Aku tidak melihat pondok
itu. Ketika aku naik ke jalan, katakutan aneh mulai mengisi hatiku.
Rumah itu terlihat sangat damai. Manderley adalah tempat
yang aman dan terlihat lebih indah dari pada yang pernah aku lihat.
Aku merasa untuk yang pertama kali, bahwa itu rumahku. Aku
memiliki Manderley dan Manderley memilikiku.
Aku pergi menuju rumah itu dan masuk perpustakaan. Jasper
tak ada di sana, dia musti telah pergi keluar bersama Maxim. Aku
tiba-tiba merasa lapar, dan begitu aku minta Robert membawa
masuk teh, aku masih punya rasa aneh dan takut di dalam hati. Aku
merasa bahwa aku menunggu sesuatu, seuatu yang buruk.
Ketika aku duduk dan minum teh, Robert kembali masuk
ruangan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
99
“Kapten Searle, Tuan pelabuhan itu, ada di telepon, Nyonya,”
dia bilang padaku. “Dia ingin datang ke sini dan bicara pada Tuan
Winter sekaligus. Dia bilang ini sangat penting.”
“Tuan Winter belum kembali, Robert,” aku bilang padanya,
“Minta Kapten Searle datang dan menunggu.”
Robert pergi keluar ruangan dengan pesan. Aku berpikir apa
yang ingin kapten katakan. Itu pasti sesuatu yang harus dilakukan
dengan kapal itu keluar dari teluk. Tapi mengapa dia ingin ketemu
Maxim?
Kapten Searle masuk perpustakaan lima belas menit
kemudian. Dia melihatku dengan mata birunya yang cerah.
“Aku khawatir mendapat kabar buruk untuk Tuan Winter.
Aku tak tahu bagaimana mengatakannya.”
“Berita macam apa, Kapten Searle?” aku menanyainya.
“Baiklah, Nyonya Winter, ini sangat tak menyenangkan.
Ketika kami mengirim penyelam turun melihat kapal itu, dia
menemukan sesuatu yang lain. Itu adalah perahu layar kecil.
Perahu itu milik almarhum Nyonya Winter.”
“Maaf,” kataku. “Haruskah Anda bilang Tuan Winter, tak
dapatkah perahu itu ditinggal di sana?”
“Pria itu menemukan sesuatu yang lain,” Kapten Searle
menjawab dengan pelan. “Pintu ruang itu tertutup, begitu dia
masuk jendela dan melihat ke dalam. Kemudian dia mendapat
ketakutan yang sangat. Ada sesosok tubuh di sana di lantai kabin.
Aku musti bilang ke suami Anda, polisi harus tahu juga.”
Ini adalah alasan untuk ketakutan aneh di dalam hatiku.
Seseorang di dalam perahu itu bersama Rebecca malam itu.
“Apakah kami harus mengatakan padanya?” tanyaku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
100
“Aku harus melakukan kewajibanku,” kata Kapten Searle, dia
berhenti. Pintu telah terbuka, itu adalah Maxim.
“Hallo,” katanya. “Adakah sesuatu masalah, Kapten Searle?”
Aku merasa sangat takut. Aku pergi keluar dari ruangan
dengan cepat dan menutup pintu di belakang saya. Jasper ada di
dalam aula dan dia berjalan keluar menuju teras denganku. Aku
duduk, aku tak harus meninggalkan Maxim sekarang.
Aku duduk di teras sampai aku dengar Kapten Searle
menyalakan mobilnya. Kemudian aku berdiri tegak dan berjalan
perlahan kembali ke perpustakaan.
Maxim berdiri di samping jendela. Aku pergi dan berdiri di
sampingnya. Aku mengambil tangannya dan menariknya ke
wajahku.
“Aku ingin menolongmu, Maxim,” kataku. “Aku sudah
dewasa, kamu tahu. Aku bukan anak kecil lagi.”
Maxim menarik tangannya melingkar dan menarikku
mendekat.
“Aku marah denganmu malam lalu, bukan?” katanya.
“Maxim,” kataku padanya, “Tak dapatkah kita mulai lagi?”
“Itu terlambat, sayangku, terlambat,” katanya, “Kita telah
kehilangan kesempatan kita akan kebahagiaan. Sesuatu telah
terjadi. Sesuatu yang telah aku impikan, malam demi malam, aku
tahu kita tak pernah dapat jadi bahagia.”
Maxim menarik kedua tanganku dan memandang wajahku.
“Rebecca telah menang,” katanya.
Aku menatapnya. Jantungku mulai berdetak cepat. Apa yang
Maxim coba ceritakan padaku?
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
101
“Aku selalu tahu ini akan terjadi,” kata Maxim. “Rebecca
telah membuat kita berpisah selama ini. Aku ingat bagaimana dia
melihatku sebelum ia mati. Aku ingat senyumnya. Dia tahu ini
akan terjadi. Dia tahu dia akan menang di ujung.”
“Maxim,” bisikku. “Apa yang kau coba katakan padaku?
Kapten Searle bicara tentang perahu itu padaku. Ada seseorang
yang berlayar dengan Rebecca. Kamu harus mencari tahu siapa itu.
Bukankah itu, Maxim?”
“Tidak,” katanya. “Kamu tak mengerti. Tidak ada orang
bersama Rebecca, dia sendiri.”
Aku berdiri di sana mengamati wajahnya, memperhatikan
wajahnya, memperhatikan matanya.
“Itu tubuh Rebecca, berbaring di sana di atas lantai kabin.”
“Tidak,” kataku, “Tidak.”
“Wanita yang terkubur di dalam gereja itu bukan Rebecca.
Aku selalu tahu itu,” kata Maxim. “Rebecca tidak tenggelam. Aku
membunuhnya. Aku menembak Rebecca di dalam pondok. Aku
membawa tubuhnya ke kabin membawa perahu keluar malam itu
dan menenggelamkannya, itu adalah Rebecca yang terbaring di
sana di atas lantai kabin itu. Maukah kau melihat ke dalam mataku
dan mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku sekarang?”

Thursday, June 16, 2016

Empat Belas
Persiapan untuk Pesta Dansa
Itu adalah pada minggu siang ketika seseorang membicarakan
tentang pesta dansa pakaian khayal lagi. Frank Crawley telah
datang untuk makan siang dan tiga diantaranya kami berharap
punya siang yang tenang. Tetapi karena kami bicara di luar ke
pohon besar di halaman rumput, kami mendengar sebuah mobil di
jalan. Kami terpaksa kembali ke rumah untuk menyambut tamutamu.
Sangat cepat, mungkin banyak orang datang dan kemudian
makin dan makin.
Mereka semua tinggal untuk teh, tentunya. Ketika kami duduk
di ruang lukis makan kue dan roti lapis, salah satu tamu kami tibatiba
bilang ke Maxim.
“Oh, Tuan De Winter. Ada sesuatu yang musti kutanya
padamu. Apakah kamu punya sebuah pesta dansa pakaian khayal
di Manderley tahun ini?”
Maxim menjawab dengan tenang. “Aku tidak punya pikiran
tentang itu,” katanya. “Dan aku tidak memikirkan tiap yang orang
lain punya.”
“Oh, tapi Anda salah,” kata perempuan yang lain. “Kami
semua telah memikirkan tentang itu. Kami sudah terbiasa
menikmati pesta dansa Manderley.”
“Baiklah, aku tidak tahu,” kata Maxim. “Akan ada perjanjian
besar untuk dilakukan, kamu sebaiknya tanya Frank Crawley, dia
akan melakukan banyak tentang pekerjaan itu.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
76
“Aku tidak keberatan dengan pekerjaan itu,” kata Frank.
Lihatlah aku, “Itu Maxim dan Nyonya yang memutuskan.”
Setiap orang memandangku dan mulai bicara seketika.
“Sekarang Nyonya De Winter, kamu musti menolong kita,
suamimu akan mendengarkanmu. Akhirnya, kau yang menjadi
seorang mempelai wanita baru. Pesta dansa akan ada untukmu.”
“Iya, tentu saja,” kata seorang pria, “Kami semua rindu
perkawinanmu. Seharusnya ada beberapa macam pesta di sini. Di
Manderley.”
Setiap orang tertawa dan bertepuk tangan.
Maxim memandangku.
“Bagaimana denganmu? Inginkah kau?” katanya.
Aku tak tahu apa yang Maxim pikirkan. Mungkin dia pikir
aku terlalu malu untuk ingin pesta dansa.
“Aku kira aku agak suka ide itu,” aku katakan dengan
senyum.
Maxim berbalik.
“Baiklah, Frank. Kita akan punya pesta dansa. Nyonya
Danvers dapat menolongmu. Dia akan tahu apa yang harus
dilakukakan. Sekarang jika kita telah selesai minum teh, kami akan
pergi ke kebun.”
Kami semua pergi ke bagian luar. Tamu-tamu kami bicara
dengan senang, sekarang tentang kostum merah untuk pesta dansa.
Aku merasa bergembira juga.
“Apa yang akan kamu pakai?” aku bilang pada Maxim.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
77
“Aku tak pernah memakai pakaian khayal,” jawab Maxim.
“Aku adalah tuan rumah, jadi aku dapat melakukan yang aku
suka.”
“Apa yang akan aku pakai?” kataku. “Aku tak punya ide sama
sekali.”
Maxim tersenyum padaku.
“Jika kau nampak cantik, aku tak keberatan apa yang kau
pakai,” dia bilang padaku.
“Baiklah,” kataku. “Kostum aku akan jadi rahasia. Aku akan
menjaga itu sebagai sebuah kejutan.”
Maxim tertawa dan menepuk bahuku. Seperti biasa, dia
memperlakukanku sebagai anak kecil. Aku tidak ingin menjadi
anak kecil. Aku ingin menjadi perempuan dewasa.
“Aku akan memakai pakaian indah di pesta itu,” aku bilang
pada diriku sendiri, “Setiap orang akan bilang betapa
mempesonakan saya, mereka akan berpikir tentang aku sebagai
Nyonya Winter yang sesungguhnya akhirnya. Maxim akan
mencintaiku sebagai istrinya dan lupa tentang Rebecca.”
***
Segera setelah setiap orang di Manderley bicara tentang pesta
dansa pakaian khayal. Pembantu perempuan kecilku, Clarice,
bicara tentang tak lain.
“Oh, Nyonya, itu begitu mengasyikkan,” katanya. “Aku
sangat berpandangan ke depan untuk itu.”
Persiapan dilanjutkan. Frank sangat sibuk dan begitu pula
Nyonya Danvers. Aku sangat jarang melihatnya, dan aku senang.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
78
Aku mulai mendapat kekhawatiran tentang kostum saya. Aku
tidak tahu apa yang harus kupakai. Aku melihat melalui buku yang
Beatrice telah berikan padaku. Aku membuat sketsa beberapa
kostum, tapi aku tidak suka diantaranya. Aku ingin yang cantik dan
sederhana juga.
Sore itu, ketika aku siap untuk makan malam, ada ketakutan di
pintu kamar tidurku. Buat terkejutku, itu adalah Nyonya Danvers.
Dia memegang selembar kertas di tangannya. Itu adalah sebuah
lukisan tentang kostum yang mana telah aku sket dan kemudian
terbuang.
“Aku menemukan ini, Nyonya,” kata Nyonya Danvers. Aku
kira Anda telah membuangnya karena kesalahan.
“Tidak, Nyonya Danvers. Aku tidak ingin itu, terima kasih,”
kataku cepat.
Aku harap dia akan pergi, tetapi ia berdiri di pintu. “Jadi Anda
belum memutuskan memakai apa, Nyonya?” kata Nyonya Danvers
dengan suara bersahabat.
“Tidak, aku belum memutuskan,” jawabku.
“Mungkin Anda dapat meniru salah satu dari gambar di
balai,” saran Nyonya Danvers. “Banyak dari mereka akan
membuat kostum indah. Apa pikir Tuan Winter?”
“Aku tidak tahu,” kataku. “Aku ingin mengejutkannya. Aku
akan menjaga kerahasiaan kostum saya.”
Nyonya Danvers kelihatan senang dengan kata-kataku.
“Aku sarankan Anda memakai kostum buatan London,
Nyonya. Ada sebuah toko di jalan bond yang akan mengerjakan itu
dengan baik. Aku selalu suka gambar gadis yang putih,” Nyonya
Danvers melanjutkan dengan cara yang sama bersahabat.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
79
“Gambar itu sekitar dua ratus tahun usianya, pakaian gadis itu
sangat sederhana. Itu akan jadi mudah untuk ditiru.”
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tahu gambar
itu bagus. Aku mau aku punya pikiran tentang ide itu sendiri.
“Terima kasih, Nyonya Danvers,” kataku.
Nyonya Danvers pergi keluar dengan tenang. Aku heran
mengapa dia begitu bersahabat. Mungkin amarah Maxim telah
menakutkannya.
Ketika aku turun untuk makan malam, aku berhenti di depan
gambar seorang gadis muda, namanya Caroline De Winter dan dia
sudah terkenal kecantikannya. Pakaian itu sangat sederhana,
dengan lengan pendek dan rok panjang penuh. Rambutnya keriting,
aku akan harus memakai wig pada rambut lurus milikku. Aku
merasa sangat gembira. Aku senang bahwa aku telah memilih
kostum aku akhirnya.
Aku tidak bicara apa-apa pada Maxim. Hari berikutnya aku
membuat sket gambar itu. Kemudian aku kirimkan lukisan itu ke
toko di London dengan petunjuk hati-hati tentang pakaian dan
wignya.
Persiapan untuk hari besar itu berlangsung. Tidak ada orang
yang mengharapkanku melakukan apa-apa. Secara perlahan rumah
besar itu mulai berubah. Perabotan di pindah ketika aula besar itu
disiapkan untuk dansa. Lampu-lampu warna digantung di
pepohonan luar. Ada bunga-bunga di setiap tempat, ratusan dari
mereka dibawa dari dalam kebun dan Nyonya Danvers tahu benar
bagaimana mengaturnya. Manderley menghadappi suatu keindahan
baru. Aku belum pernah melihat rumah tua itu nampak
menyenangkan seperti ini.

Wednesday, June 15, 2016

Tiga Belas
Lebih Jauh tentang Jack Favell
Maxim menelepon pagi berikutnya. Aku mendengar telepon
berdering ketika aku sarapan pagi dan Frith menjawabnya. Aku
harap bahwa Maxim akan bertanya tentang aku tapi dia tidak
melakukan itu.
“Tuan De Winter akan kembali sekitar jam enam sore ini,”
Frith bilang padaku.
“Baiklah, Frith, terima kasih,” kataku.
Aku melanjutkan makan sarapan pagi sepelan yang aku bisa.
Jasper duduk di kakiku. Aku berpikir apa yang harus aku lakukan
sepanjang hari. Aku sudah sangat ngantuk. Aku tak dapat
melupakan kunjungan aku ke sayap barat. Aku tahu sekarang
betapa besar kebencian Nyonya Danvers padaku.
Sekitar jam sepuluh, telepon berbunyi lagi. kKli ini adalah
Beatrice.
“Baik, sayangku, bagaimana keadaanmu?” katanya. “Akankah
aku datang dan makan siang bersama hari ini?”
“Aku sangat ingin kamu datang. Beatrice,” kataku.
“Baiklah, sayangku. Sampai ketemu.”
Kuletakkan telepon itu, aku senang bahwa Beatrice datang. Itu
memberiku sesuatu untuk berpandangan ke depan, aku ngeluyur ke
halaman rumput. Aku merasa berbeda dari kemarin. Aku ingin
Maxim pulang.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
71
Aku mencoba untuk tidak mengingat kunjungan aku ke sayap
barat. Tapi aku tak dapat berhenti berpikir tentang Favell dan
temannya Nyonya Danvers. Aku mulai merasa bahwa Nyonya
Danvers mengawasiku. Ada begitu banyak kamar yang Maxim dan
aku telah gunakan. Itu adalah mudah bagi Nyonya Danvers untuk
mengawasiku dari salah satu jendela mereka.
Beatrice datang dengan mobil sekitar setengah satu. Kali ini
aku pergi keluar ke jalan untuk menemuinya.
“Baik, sayangku, ini aku,” katanya. “Ini adalah hari yang
menyenangkan, bukan?”
Dia memberiku ciuman dan kemudian memandangku dengan
hati-hati.
“Kau tidak nampak sehat,” kata Beatrice. “Kamu terlalu
kurus. Wajahmu pucat juga, apa yang salah denganmu?”
“Tidak ada apa-apa,” kataku. “Wajahku selalu pucat.”
“Kamu kelihatan sungguh berbeda ketika aku melihatmu
sebelumnya,” Beatrice bilang padaku. “Kau tidak akan punya bayi,
bukan?”
“Tidak, aku pikir tidak begitu,” kataku.
“Baik, aku harap kamu hamil kapan-kapan, Maxim akan jadi
sangat bahagia punya seorang putra, apa yang telah kau lakukan
dengan dirimu? Apakah kamu telah banyak mengerjakan sket?
Apakah kau suka buku-buku yang aku kirim? Apakah kamu punya
seseorang untuk tinggal?”
Aku telah lupa bahwa Beatrice bertanya begitu banyak
pertanyaan.
“Tidak, aku belum punya seseorang untuk tinggal, orangorang
datang untuk teh, kadang-kadang tentunya.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
72
Aku berpikir apakah harus bercerita ke Beatrice tentang
Nyonya Danvers dan temannya, Favell. Aku tak ingin Beatrice
cerita ke Maxim tentang kunjungan itu. Tapi aku sangat ingin
mencari tahu lebih banyak tentang pria itu.
“Pernahkah kau dengar tentang pria yang bernama Jack
Favell, Beatrice?” tanyaku padanya.
“Jack Favell?” kata Beatrice dengan pelan, “Ya, aku sangat
tahu nama itu. Tunggu sebentar, Jack Favell. Ya, tentu saja, aku
ingat dia sekarang. Dia adalah seseoarng yang menakutkan. Aku
bertemu dia sekali, tahun lalu.”
“Dia ke sini kemarin,” kataku padanya. “Dia datang untuk
ketemu Nyonya Danvers.”
Beatrice tidak melihatku.
“Oh ya,” katanya. “Aku kira dia kenal Nyonya Danvers sangat
baik.”
“Tapi mengapa?” tanyaku.
“Jack Favell adalah sepupunya Rebecca,” kata Beatrice. “Aku
kira dia datang ke Manderley, sungguh sering ketika Rebecca
masih hidup. Aku tidak yakin.”
“Aku tidak suka dia,” kataku.
“Tidak, aku tidak mengira bahwa kamu tidak menyukainya,”
jawab Beatrice.
Aku harap bahwa dia akan bicara banyak padaku tentang
Favell, tetapi dia tidak. Ketika waktu istirahat kami berbincang
tentang hal-hal lain.
Beatrice tinggal untuk teh dan segera berangkat setelah itu.
Dia telah minta izin untuk bertemu suaminya, Giles, di stasiun.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
73
“Aku harap kamu tidak akan begitu kurus di waktu lain aku
melihatmu,” kata Beatrice ketika dia masuk mobilnya.
“Sampaikan salamku ke Maxim. Rawat dia, dan rawat dirimu
juga.”
Aku mengawasi mobil Beatrice menuruni jalan. Maxim tidak
akan kembali untuk jam yang lain. Aku tidak merasa seperti duduk
di rumahku sendiri. Aku memanggil Jasper dan kami pergi jalanjalan
menembus hutan. Tapi aku tidak pergi dekat laut. Aku rindu
Maxim sekarang dan aku merasa kesepian tanpa dia. Pertanyaanpertanyaan
Beatrice telah membuatku merasa lelah juga.
Ketika aku kembali dari perjalanan, aku lihat mobil Maxim di
depan rumah. Seketika, aku merasa lebih bahagia. Aku lari dengan
cepat dan masuk aula. Ketika aku berjalan menuju perpustakaan,
aku dengar bunyi suara itu. Salah satunya adalah Maxim, sangat
keras dan marah. Pintu ditutup tetapi aku dapat mendengar apa
yang dia katakan.
“Kamu dapat katakan ke Favell untuk menjauhi Manderley.
Katakan padanya aku bilang begitu,” Maxim berkata.
“Aku tahu dia ke sini. Sudahlah siapa yang bicara padaku.
Mobilnya terlihat di sini kemarin. Jika kamu ingin menemuinya,
temui dia di lain tempat. Aku tak ingin orang itu di Manderley.
Aku bahkan tak akan mengizinkannya di dalam kebun. Aku
mengatakan padamu untuk yang terakhir kali.”
Aku dengar langkah kaki. Aku lari dengan cepat naik tangga
dan menyembunyikan diri.
Nyonya Danvers keluar dari perpustakaan. Dia menutup pintu
dan berjalan ke atas tangga. Wajahnya hijau marah dan pandangan
di matanya menakutkanku. Untunglah dia tak tahu aku
mengawasinya. Nyonya Danvers pergi melalui pintu ke sayap
barat.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
74
Aku menunggu sebentar dan kemudian pergi ke lantai bawah
dan masuk ke perpustakaan. Maxim berdiri di samping jendela.
Ketika aku mendengar pintu terbuka, dia berpaling dengan cepat.
Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku padanya.
“Oh, itu kamu,” kata Maxim.
Aku dapat mengatakan bahwa dia sangat marah. Wajahnya
putih dan mulutnya keras. Aku mengambil tangannya.
“Aku sangat merindukanmu,” kataku. “Aku benci di sini tanpa
kamu,”
“Benarkah?” kata Maxim. Dia tak bicara apa-apa tentang
Nyonya Danvers dan Favell.
“Apakah kau mencemaskan sesuatu?” tanyaku.
“Aku telah punya hari yang panjang,” jawab Maxim. “Dan
London sangat panas dan bising. Aku selalu benci pergi ke sana.”
Maxim lalu menyalakan rokok dan menjauh dariku. Aku tahu
kemudian bahwa dia tidak akan berkata padaku tentang
kemarahannya dengan Nyonya Danvers. Maxim masih berpikir
tentang aku sebagai seorang anak, seseorang yang tidak harus
mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi dia salah. Aku
merasa telah tumbuh sedikit demi sedikit setiap hari. Hidupku di
Manderley mengubahku menjadi seorang perempuan.