Tuesday, May 31, 2016

Satu
Aku bertemu Maxim De Winter
Aku akan jadi apa hari ini jika aku tidak pergi ke Monte Carlo
dengan Nyonya Van Hopper? Aku sudah akan tinggal di
kehidupan lain. Aku sudah akan jadi orang yang berbeda.
Nyonya Van Hopper bukan seorang wanita yang
menyenangkan. Dia suka bertemu dengan orang-orang yang kaya
dan terkenal. Setiap musim panas Nyonya Van Hopper tinggal di
hotel Cote de Azur, hotel terbesar dan termahal di Monte Carlo. Di
sini, Nyonya Van Hopper menemukan orang-orang terkenal
tinggal di kota ini. Dia selalu menemukan alasan untuk bicara
dengan mereka. Kemudian, pura-pura mengenal mereka dengan
baik, dia bertanya pada korbannya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang kasar dengan suara amerika kerasnya.
Aku masih muda dan malu. Aku benci kehidupanku dengan
Nyonya Van Hopper, tetapi dia membayarku dengan sedikit uang
untuk menemaninya. Aku bukan seorang pelayan dan tentunya
bukan seorang teman.
Kami pasti kelihatan sebagai pasangan aneh ketika berjalan
menuju restoran hotel hari itu. Nyonya Van Hopper berjalan di
depanku di atas sepatu hak tingginya. Tubuh beratnya mengayun di
atas kaki-kaki gemuk pendeknya. Aku mengikuti dengan lambat,
kedua mataku melihat ke bawah pada lantai. Dengan rambutku
yang lurus dan pakaian yang kurang pas, aku nampak seperti
seorang gadis sekolahan yang canggung.
Nyonya Van Hopper duduk dengan tenang di meja biasanya
dan menatap setiap orang di restoran. Tidak ada satu orang terkenal
di sini, dia bicara dengan suara kerasnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
5
“Tidak ada seorang pun, aku ingin bicara.”
Nyonya Van Hopper sangat rakus. Dia memesan makan siang.
Besar untuk dirinya sendiri. Segera dia memakan sepiring besar
spaghetti.
Kami makan dengan tenang. Saos kaya mengenai dagu
Nyonya Van Hopper. Aku memalingkan muka. Kemudian aku
melihat seorang tamu baru duduk dengan tenang di meja sebelah.
Nyonya Van Hopper melihatnya juga. Dia meletakkan garpunya
dan memandangnya dengan tajam. Aku melihat sebuah pandangan
yang bergairah di mata kecilnya.
“Itu adalah Max De Winter”, dia berkata padaku. “Pria yang
punya Manderley. Kamu pasti telah mendengar itu ― sebuah
keindahan, rumah tua di sebelah barat inggris. Dia nampak sakit,
bukan? Istrinya telah meninggal secara mendadak tahun lalu.
Mereka bilang dia telah patah hati.”
Aku sudah merasakan sesal untuk De Winter. Dia adalah
korban berikutnya nyonya Van Hopper. Nyonya menyelesaikan
makanannya secepat mungkin. Aku tahu apa yang akan dilakukan.
Ada tempat duduk panjang di ruang duduk hotel, dengan
sebuah meja rendah di depannya. Tempat duduk itu ada di antara
restoran dan pintu utama hotel. Setipa orang yang meninggalkan
restoran telah melewati tempat duduk ini.
“Ambil kopiku di ruang duduk,” nyonya Van Hopper bilang
pada pelayan, “Segera.”
Nyonya menoleh padaku, matanya bersinar, “Pergilah ke atas
dan temukan surat itu dari keponakanku, Billy. Bawa itu padaku di
ruang duduk dan fotonya juga, Billy menemui Max De Winter di
London. Cepat!”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
6
Aku pergi ke atas menuju kamar nyonya selambat yang aku
bisa. Aku berharap bahwa De Winter akan menyingkir sebelum
aku kembali.
Ketika aku kembali dengan surat itu, Nyonya Van Hopper
sudah di atas tempat duduk di ruang duduk itu. De Winter duduk di
sampingnya. Dia adalah pria berambut hitam, seorang yang
tampan. Wajahnya pucat dan mata hitamnya mempunyai
kesedihan, kehilangan pandangan. De Winter berdiri dengan sopan
ketika aku memberikan surat kepada Nyonya Van Hopper.
“Tuan De Winter minum kopi bersama kita pergi dan minta
pelayan cangkir yang lain,” kata Nyonya Hopper padaku.
“Tidak, Anda adalah tamu saya,” kata De Winter. Dia
memanggil pelayan.
Sementara, De Winter duduk di atas kursi kecil dan aku di
samping Nyonya Hopper di tempat duduk panjang.
“Aku langsung mengenalimu,” kata Nyonya Hopper.
“Aku bertemu Anda di pesta keponakan saya, di London. Tapi
aku tidak mengira Anda mengingat wanita tua seperti saya,” dan
Nyonya Hopper memberi De Winter satu dari senyuman
terbesarnya.
“Anda salah, aku tak pernah dapat melupakan Anda,” kata De
Winter dingin, dengan suara keras.
“Billy sedang liburan sekarang,” Nyonya Hopper
melanjutkan.
“Dia suka jalan-jalan. Tetapi jika dia punya rumah seperti
Manderley, dia tidak akan pernah meninggalkannya. Orang-orang
bilang bahwa Manderley adalah salah satu dari rumah-rumah
paling indah di Inggris. Aku heran apa yang Anda lakukan di sini,
di Monte Carlo?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
7
Aku memandang ke lantai dan mencoba tidak mendengarkan
suara keras Nyonya Hopper. Akhirnya dia terpaksa berhenti.
Seorang pelayan mendatanginya dengan sebuah pesan, penjahit
Nyonya Hopper menunggunya di tingkat atas.
De Winter berdiri seketika. “Anda tisak seharusnya membuat
pejahit Anda menunggu,” katanya.
Nyonya Hopper tersenyum, “Anda mesti minum dengan
saya,” kata nyonya.
“Mengapa tidak besok sore? Aku punya sedikit teman...”
“Maafkan saya,” kata de winte denganr cepat.
“Aku akan pergi seharian penuh besok. Jika Anda akan
memaafkan saya..” dia berbalik dan berjalan keluar ruangan.
“Betapa aneh Max De Winter,” kata Nyonya Hopper ketika
kami berdiri di lift.
“Dia meninggalkan kita begitu mendadak. Tapi tentunya dia
adalah seorang pria menarik. Ngomong-ngomong, sayang, kau
agak kasar padanya. Kamu musti melihat orang-orang ketika
bicara. Kamu bukan anak kecil.”
Nyonya Hopper sibuk dengan penjahitnya. Aku duduk di
kursi dekat jendela, melihat hari terang di luar. Aku tak dapat pergi
keluar. Beberapa dari teman-teman nyonya datang untuk minum
teh. Mereka gemuk, wanita kasar seperti dirinya. Pekerjaanku
adalah bicara pada mereka, menyalakan rokok mereka dan
merapikan kamar setelah mereka pergi.
Ada seseorang mengetuk pintu. Pelayan masuk dengan catatan
di tangannya, “Nyonya ada di kamar tidur,” aku katakan padanya.
Tetapi catatan itu untukku. Ada kata-kata kecil dengan tulisan
tangan tak kukenal. “Maafkan saya, aku sangat kasar setelah makan siang.”
catatan itu tidak ditanda tangani, tetapi aku tahu itu dari De Winter.
“Apakah ada jawaban?” pelayan tanya padaku. Aku
mendongak.
“Tidak, tidak ada jawaban,” aku bilang.
Setelah pelayan pergi, aku letakkan catatan itu di saku.
Nyonya Hopper memanggilku dari kamarnya, aku naik perlahan,
berpikir tentang De Winter dan tentang Manderley.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
8
Pendahuluan
Mimpi Di Manderley
Malam lalu aku mimpi pergi ke Manderley lagi. Aku berdiri
di depan pintu gerbang besi di permulaan jalan. Ketika pertama
kali aku melihat gerbang itu, mereka membuka lebar-lebar
untukku. Sekarang dalam mimpiku mereka telah menutup. Di
belakang mereka jalan menuju Manderley.
Dalam mimpiku itu, aku telah melampaui pintu gerbang
tertutup. Aku berjalan menaiki jalan panjang yang berliku. Pohonpohon
dan bunga-bunga tumbuh dekat jalan dan rumput hampir
menutupinya. Ketika aku tiba di tikungan terakhir jalan itu, aku
merasakan keasyikan lama aku sudah mendekati Manderley lagi.
Akhirnya aku dapat melihat Manderley. Sebuah rumah tua secantik
dulu.
Hari itu bulan terang dalam mimpiku. Lampu pucat bersinar di
atas jendela-jendela dan tembok-tembok batu hijau pada rumah tua
itu. Dan dalam mimpiku aku melihat laut, yang lembut dan tenang
seperti kaca. Sekilas rumah itu nampak penuh dengan lampu. Aku
kira bahwa kita tinggal di sana akan bahagia dan aman.
Cahaya bulan bersinar makin terang. Sekarang kulihat bahwa
Manderley adalah sebuah rumah kosong. Hanya tembok-tembok
batu hijau yang tetap berdiri. Tak seorang pun akan pernah tinggal
di sana lagi, kami tak akan pernah bahagia tinggal di sana, aku dan
Maxim. Kami tak akan pernah tinggal di sana, terbebas dari
Rebecca, bebas dari pikiran-pikiran masa lalu.
Aku terbangun, Manderley sudah menjauh. Dengan tajam,
cemerlang sinar mentari memancar masuk ke ruang hotel telanjang
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
2
kami. Lama, hari hampa membentang di depan kami. Tidak banyak
yang akan terjadi. Tidak ada yang telah dilakukan. Tetapi kami
punya kedamaian yang menenangkan, Maxim dan aku, yang kami
tidak pernah kenal sebelumnya. Kami tidak membicarakan tentang
Manderley. Aku tak akan pernah menceritakan mimpiku pada
Maxim. Manderley bukan lagi milik kami. Sebab telah dirusak
oleh kejahatan dan kebencian masa lalu.
Kami tidak akan balik lagi ke England. Bahkan setelah hampir
dua puluh tahun, masa lalu itu terlalu dekat untuk kami. Kami
mencoba untuk melupakan ketakutan dan teror itu, tetapi kadangkadang
kami ingat.
Kami sering bosan dalam hotel kecil bodoh ini. Tetapi orangorang
tidak takut bosan. Kami membaca koran inggris, tetapi kami
tidak pernah bertemu orang inggris, Alhamdulillah.
Pulau Mediterranean yang sedikit panas ini adalah rumah
kami sekarang. Kami tidak akan pernah lagi merasakan kehangatan
yang lebih lembut dari matahari inggris. Kami tak akan pernah lagi
berdiri di lembah bahagia dan mencium bau wangi bungabunganya.
Di sini sinar tajam dari kilau mentari di atas temboktembok
putih. Pohon-pohon berdebu. Lautan adalah sesuatu yang
biru dan jernih.
Kami telah kehilangan banyak, tetapi akhirnya aku telah
tumbuh. Aku sangat berbeda dari seorang pemalu, gadis penakut
yang pada saat pertama pergi ke Manderley. Ketakutan dan teror
itu menjadikan aku seorang wanita, seorang perempuan bodoh
mungkin. Tetapi adalah dengan suamiku dan dia adalah semua
yang aku butuhkan.
Kadang-kadang aku melihat seorang aneh, pandangan kosong
di mata Maxim. Aku tahu bahwa pikiran-pikirannya melayang
jauh. Lalu dia duduk diam dan tenang di kursinya. Setelah
beberapa saat dia mulai bicara. Kami berbicara segala sesuatu
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
3
supaya lupa masa lalu. Kami berdua telah mengenal ketakutan.
Kami berdua telah mengenal siksa dan kesepian. Itu semua
berakhir sekarang, Manderley telah musnah. Tetapi kami masih
hidup dan kami berdua bebas.