Saturday, June 18, 2016

Lima Belas
Nona Caroline De Winter
Di hari pesta dansa, Maxim dan aku telah makan siang dengan
Frank. Pakaian dan wigku telah tiba dan mereka berdua nampak
sempurna. Maxim dan Frank bertanya padaku tentang kostumnya
tapi aku tak bilang apa pun. Rahasia itu membuatku merasa gairah
dan penting.
“Kau tidak akan tahu punyaku,” kataku pada mereka. “Kamu
berdua akan dapat kejutan dalam hidupmu.”
Maxim dan aku kembali ke rumah setelah makan siang.
Orkesnya telah tiba dan kami menyambut pria-pria itu. Siang itu
nampak sangat panjang. Aku pikir tentang pergi jalan-jalan.
Kemudian tiba-tiba, saat minum teh, Beatrice dan suaminya Giles
telah tiba.
“Ini seperti masa lalu,” kata Beatrice, melihat-lihat segalanya
seindah dulu. “Apa yang akan dipakai orang-orang, aku kira kamu
menolak memakai pakaian khayal, Maxim?”
“Tentu,” kata Maxim. “Aku lebih suka akan jadi nyaman.”
“Aku akan memakai pakaian arab,” kata Giles, “Aku dapat ide
itu dari teman.”
“Bagaimana dengan Anda, Nyonya Lacey?” Frank bilang
pada Beatrice.
“Aku akan memakai pakaian timur juga. Aku akan pakai
kerudung dan banyak permata. Aku akan jadi kul dan nyaman.
Cukup persoalan itu.”
Beatrice beralih padaku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
81
“Dan apa yang akan dipakai nyonya rumah kita?” tanyanya.
“Pesta dansa ini untuk Anda, akhirnya. Kami semua mengharap
Anda memakai sesuatu yang sungguh spesial.”
“Jangan menanyainya” kata Maxim. “Dia tidak akan ngomong
pada setiap orang. Dia punya pakaian buatan London.”
“Itu benar-benar sederhana,” kataku.
“Betapa lucunya itu semua,” kata Beatrice. Aku memperoleh
gairah sudah.
“Kamu harus terima kasih padanya untuk itu,” kata Maxim,
tersenyum padaku.
Setiap orang memandangku dan tersenyum. Aku merasa
senang dan bahagia. Pesta dansa ini untukku karena aku seorang
pengantin wanita barunya Maxim. Manderley telah dibuat menjadi
sebuah tempat yang terang dan indah, hanya untukku.
“Jam berapa?” kataku. “Aku pikir kita harus siap.”
Aku menemukan Clarice menungguku di kamar tidur,
wajahnya penuh dengan kegairahan. Aku mengunci pintu dan
mengambil pakaian dari kotaknya. Terpasang dengan sempurna.
Aku melihat diriku di kaca, aku tersenyum. Aku merasa berbeda
sudah. Aku adalah seorang yang lebih mengasyikkan dan menarik
dari biasanya.
“Berikan wig itu padaku, Clarice,” kataku. “Hati-hati,
kritingnya jangan jadi lurus,” aku sisir kembali rambut lurusku.
Dengan hati-hati aku letakkan wig di tempat. Aku melihat di kaca
lagi. Wig dan pakaian pantas yang ketat membuatku hampir cantik.
“Oh, Clarice,” kataku. “Apa yang akan Tuan Winter bilang?”
Ada ketukan di pintu.
“Siapa itu?” kataku. “Kamu tak dapat masuk.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
82
“Ini aku, sayang,” kata Beatrice. “Apa kamu sudah siap? Aku
ingin melihatmu.”
“Tidak, jangan,” kataku. “Kau tak dapat masuk, katakan pada
Maxim bahwa dia tak dapat masuk juga, aku akan turun ketika aku
siap.”
Aku melihat di kaca lagi. Mataku melihat lebih besar dan
keritingnya membuat awan yang lembut sekitar kepalaku, aku
mengambil rok di tangan.
“Buka kunci pintunya,” kataku pada Clarice. “Aku mau
turun.”
Aku berdiri di balai dan memandang ke bawah pada aula di
bawah. Ada Giles dengan kostum arab putihnya. Beatrice memakai
pakaian hijau panjang, Frank berpakaian seperti pelaut. Hanya
Maxim memakai pakaian sore.
“Aku tak tahu apa yang dia lakukan,” aku dengar Maxim
berkata. “Jam berapa, Frank? Dia musti turun segera.”
Aku melihat ke atas pada gambar Caroline De Winter. Ya,
pakaiannya persis seperti milikku dan dia punya rambut keriting
yang sama. Orkes itu main dengan lembut di balai.
“Pukul dramnya,” kataku. “Dan panggil Nina Caroline De
Winter,” dram berbunyi, setiap orang mendongak.
“Nona Caroline De Winter,” pria itu berteriak.
Aku berdiri di puncak tangga, tersenyum. Aku mengharap
semua orang tertawa dan tepuk tangan ketika aku berjalan
menuruni tangga.
Tak seorang pun tertawa. Tak ada yang tepuk tangan, mereka
semua menatapku tanpa bergerak, aku tersenyum pada Maxim.
“Bagaimana keadaanmu, Tuan Winter?” kataku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
83
Maxim menatap ke atas padaku. Wajahnya sama sekali putih.
Ada sesuatu yang salah. Mengapa Maxim memandangku seperti itu? Dia bergerak menuju tangga.
“Neraka apa yang kau lakukan?” katanya.
Di matanya ada api amarah.
“Inilah gambar itu,” kataku. “Yang di balai,” ada diam yang
lama. Masih tak seorang pun bergerak.
“Ada apa?” kataku. “Apa yang telah kulakukan?”
Ketika Maxim menjawab, suaranya dingin dan keras.
“Pergi dan tinggalkan pakaian itu, tidak masalah apa yang kau
pakai. Ada pakaian petang yang akan kau pakai. Pergi cepat,
sebelum semua orang datang.”
Aku tak dapat bicara, aku berdiri menghadap Maxim.
“Untuk apa kau berdiri di situ?” dia tanya padaku. “Tidakkah
kau dengar apa kataku?”
Aku berbalik dan lari ke atas tangga itu. Mataku penuh
dengan air mata. Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan. Pintu
ke sayap barat itu terbuka. Nyonya Danvers berdiri di sana. Aku
tak akan pernah lupa pandangan buruk di wajahnya. Itu adalah
sebuah pandangan kesenangan—kesenangan tentang kebencian
yang paling buruk. Dia berdiri di sana, tersenyum padaku.
Kemudian aku lari darinya, balik ke kamar saya. Telanjang
dan hampir menjatuhkan rok panjangku.
****
Clarice menunggu aku di dalam sebelum aku masuk kamar
tidur. Dia sudah mendengar apa yang telah terjadi. Ketika dia
melihat wajahku, Clarice mulai menangis.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
84
“Itu tidak masalah, Clarice,” kataku. “Tolong aku
menanggalkan pakaian ini dengan cepat.”
“Apa yang akan nyonya pakai?” Clarice mananyaiku.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Tinggalkan aku sendiri sekarang.
Aku akan baik-baik saja. Turun dan nikmati pesta. Jangan
ceritakan ke orang apa yang telah terjadi.”
Setelah Clarice pergi, seseorang mengetuk pintu. Beatrice
masuk.
“Sayangku,” katanya. “Apa kau baik-baik saja?”
Aku meletakkan tanganku di atas kepala dan menanggalkan
wig.
“Tentu saja aku tahu sekali bahwa itu suatu kesalahan,” kata
Beatrice. “Ada yang belum kau ketahui.”
“Ketahui apa?” kataku, menoleh padanya.
“Tentang kostummu, itu seperti apa yang Rebecca pakai di
pesta terakhir di sini. Ketika kamu berdiri di atas tangga, aku
berpikir untuk saat yang buruk seseorang .....”
“Aku seharusnya sudah tahu,” kataku. Aku sedang berpikir
tentang Nyonya Danvers, dia telah merencanakan ini. Dia telah
tahu apa yang akan terjadi.
“Bagaimana bisa kau tahu?” kata Beatrice. “Tapi itu sebuah
shock untuk Maxim. Dia pikir bahwa yang kau lakukan itu sebagai
canda. Dia pikir itulah mengapa kau simpan pakaianmu sebagai
rahasia. Tapi dia akan mengerti ketika kamu bicara pada setiap
orang bahwa pakaianmu tidak cocok.”
Aku tidak bicara apa pun.
“Sekarang apa yang akan kau pakai?” kata Beatrice. “Pakaian
biru ini sangat cantik, pakailah.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
85
“Tidak,” kataku. “Aku tidak akan turun.”
Beatrice menatapku sebelum dia bicara.
“Tetapi sayangku, kamu harus turun. Itu akan nampak begitu
aneh.”
Aku merasa sangat lelah.
“Apa itu masalah?” kataku.
Beatrice kelihatan shock pada kata-kataku.
“Pikirkan Maxim, kamu musti turun untuknya,” katanya.
“Aku tak bisa, aku tak bisa,” jawabku.
Beatrice menatapku.
“Aku musti turun sekarang,” kata dia akhirnya.
“Mereka akan menungguku di makan malam. Aku akan
katakan pada Maxim, kau akan turun dalam semenit, akankah
aku?”
Aku tidak menjawab dan Beatrice berjalan perlahan ke pintu
dan pergi keluar.
Setelah sebuah waktu yang lama aku bangkit dari ranjang di
mana aku duduk. Aku berjalan menyeberang ke jendela, aku dapat
melihat lampu-lampu warna di pohon. Aku berjalan balik ke meja
pakaian dan memandang wajah putihku dan mata merahku di
cermin. Kemudian secara perlahan aku membasuh muka dan
menyisir rambutku. Aku meletakkan pakaian putih itu dan wignya
kembali ke kotak. Aku tak pernah ingin bertemu mereka lagi. aku
pungut pakaian biru dan memakainya.
Ketika aku sudah siap, aku membuka pintu dan berjalan
sepanjang gang beratap, segalanya sepi dan tenang. Kemudian aku
dengar bunyi suara, pintu kamar makan terbuka.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
86
Tamu-tamu keluar dari kamar makan, seseorang tertawa.
Aku berjalan perlahan turun tangga untuk bertemu mereka.
***
Aku ingat sedikit tentang pesta pertamaku di Manderley, itu
yang pertama dan yang terakhir yang pernah kami selenggarakan
di sana. Aku ingat bahwa Frank membuatkanku sedikit sampanye.
Aku ingat Beatrice tersenyum padaku. Aku ingat berdansa dengan
Giles.
Orkes dimainkan dan orang-orang berdansa. Aku berdiri di
sana dan tersenyum pada setiap orang. Maxim berdiri di
sampingku, matanya dingin dan tajam, bukan mata pria yang aku
kenal dan cintai. Semua melalui malam panjang itu, Maxim tak
pernah memandangiku.
Sekali, Beatrice naik ke atas padaku dan bilang, “Mengapa
kamu tidak duduk di bawah, kamu nampak seperti mati.”
Jam berapa itu, aku tak tahu. Malam itu berlalu jam demi jam.
Kemudian Giles naik padaku dan bilang, “Datang dan lihatlah
kembang api di teras.”
Aku ingat berdiri di teras dan menatap langit, kembang api
mawar menuju langit dan belok menuju bintang-bintang dan
bunga-bunga, langit menjadi merah dan emas. Setiap pintu itu
diwarnai oleh reruntuhan cahaya. Tembok-tembok hijau
Manderley terlihat ramai dan gelap.
Kemudian tiba-tiba, langit gelap pula. Kembang api telah usai.
Aku dengar mobil-mobil memenuhi jalan.
“Mereka mulai pergi,” aku pikir, “Akhirnya mereka mulai
pergi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
87
Orang-orang datang padaku dan mengucapkan selamat
tinggal.
“Semalam pesta hebat,” kata mereka, “Terima kasih banyak
untuk sebuah malam yang hebat. Pesta terbaik yang pernah
kuadakan untuk waktu yang lama.”
Aku jabat tangan mereka semua, aku tersenyum.
“Aku begitu senang, begitu senang,” kataku. Aku tak dapat
memikirkan kata-kata lain. Maxim telah pergi besama Frank untuk
berdiri di jalan. Beatrice singgah ke atas untukku.
“Kerja yang bagus, Sayang,” katanya. “Pesta itu adalah
sebuah kesuksesan besar. Tidak seorang pun punya ide tentang...
kau tahu, kau musti pergi ke ranjang sekarang, kau nampak sangat
lelah. Makan sarapanmu di ranjang.”
“Ya, ya, mungkin akan kulakukan,” kataku.
“Akankah kukatakan pada Maxim bahwa kamu sudah pergi ke
ranjang?”
“Silakan, Beatrice.”
“Baiklah, sayangku. Tidur yang nyenyak.”
Aku jalan pelan masuk rumah. Lampu-lampu telah padam.
Ruangan telah kosong. Aku naik tangga melalui koridor ke
kamarku. Hari itu hampir terang dan seekor burung telah mulai
bernyanyi. Aku melepaskan baju perlahan dan pergi ke ranjang.
Aku meletakkan punggung dan menutup mata.
Tubuhku lelah, tapi pikiranku takkan istirahat. Aku berpikir
berapa lama Maxim akan... jam kecil di samping ranjangku
berdetak dari menit ke menit, aku berbaring miring,
mengawasinya. Satu jam telah berlalu. tapi Maxim tidak datang.