Wednesday, June 1, 2016

Dua
Suatu Hari Keluar Bersama
Hari berikutnya, Nyonya Hopper bangun dengan sakit
tenggorokan dan suhunya tinggi. Aku menelpon dokternya ke atas
dan dia datang bersama sekaligus.
“Anda terkena flu, Nyonya,” dokter bilang padanya. “Anda
tidak akan lebih baik jika Anda tidak tinggal tenang di tempat
tidur. Jantung Anda tidak kuat. Anda akan butuh seorang perawat
untuk merawat Anda. Nyonya harus tinggal di tempat tidur satu
atau dua minggu.”
“Aku yakin aku dapat merawat Nyonya Van Hopper,” aku
bilang. Tapi dokter bilang tidak. Nyonya Hopper menyetujui saran
dokter. Monte Carlo sudah mulai membosankan dia. Dia akan
senang tinggal di tempat tidur. Dia akan senang memberikan
perintah-perintah pada perawat sebaik padaku.
Perawat itu segera tiba dan aku tidak lagi diinginkan. Aku
turun ke restoran seorang diri. Aku senang seorang diri, itu adalah
setengah jam sebelum kami biasa makan siang. Restoran sudah
hampir kosong. Aku pergi ke meja biasanya. Kemudian aku lihat
De Winter sudah ada di mejanya, sudah terlambat bagiku untuk
kembali. Aku duduk dengan canggung mencoba untuk tidak
melihatnya. Ketika aku mengambil menu, aku menyenggol bungabunga
di atas meja. Airnya membasahi pakaianku dan turun sampai
ke rok. Pelayan di ujung restoran tidak melihat apa-apa. Sementara
De Winter sudah berdiri di samping kursiku.
“Kau tak dapat duduk di sini sekarang,” dia berkata lalu
memanggil pelayan yang datang seketika.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
10
“Letakkan tempat lain di mejaku,” De Winter bilang.
“Nyonya ini makan siang bersamaku.”
“Oh tidak, aku tidak bisa,” kataku.
“Mengapa tidak? Aku ingin kau makan siang denganku,
bagaimanapun aku akan bertanya padamu. Datang dan duduklah.
Kamu tidak perlu bicara jika kamu tidak ingin,” kata De Winter.
Kami memesan makanan kami dan duduk untuk waktu yang
menyenangkan.
“Apa yang terjadi dengan temanmu?” tanya De Winter. Aku
bilang tentang penyakitnya.
“Maafkan saya,” katanya sopan.
“Anda menerima catatan saya, aku kira. Makan siang dengan
aku baik bagi Anda setelah kekasaran saya.”
“Anda tidak kasar,” aku bilang.
“Akhirnya nyonya tidak memikirkan Anda, setidaknya, dia
selalu ingin tahu banyak tentang setiap orang penting.”
“Penting? Mengapa dia pikir aku penting?” tanya De Winter.
“Aku kira itu karena Manderley,” kataku. Dia tak menjawab.
Kukira dia tak ingin bicara tentang rumahnya.
“Teman Anda snagat berbeda dengan Anda, dan dia juga
banyak lebih tua dari Anda. Apakah dia famili Anda?” ucapnya.
“Nyonya Van Hopper bukan teman saya, aku bekerja untuk
dia. Aku harus, aku butuh uang. Aku tak punya keluarga dan tak
ada yang lain yang bisa kukerjakan.” kataku.
De Winter lebih banyak bertanya tentang diriku. Aku lupa
rasa maluku. Aku cerita tentang ayahku, yang seorang pelukis. Aku
bicara tentang ibuku dan besar cintanya pada ayah. Ketika ayah
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
11
meninggal sangat mendadak, ibuku hanya hidup beberapa minggu
setelahnya.
Aku tiba-tiba sadar bahwa kami telah duduk di meja lebih dari
satu jam. Aku mulai minta maaf.
“Tetapi aku sangat menikmati jam ini,” kata De Winter.
“Kita serupa dalam beberapa cara. Kita berduu sendiri dalam
dunia. Aku punya saudara wanita, tapi sudahlah,”
“Kamu lupa?” aku bertanya padanya, “Bahwa Anda punya
sebuah rumah dan aku tidak sama sekali,”
“Sebuah rumah kosong, bahkan sangat indah,” kata De
Winter.
Aku berpikir untuk sementara bahwa dia akan menceritakan
padaku tentang Manderley. Tetapi malah dia bilang, “baik, kukira
kamu punya hari libur siang ini. Apa yang akan kau lakukan?”
Aku katakan padanya bahwa aku akan mengerjakan beberapa
sketsa. Aku ingin melukis beberapa rumah tua di dekat sebuah
kota. Bus berangkat pada pukul setengah tiga.
“Aku akan mengantar kamu ke sana dengan mobilku,” De
Winter berkata. “Pergilah ke atas dan ambil jasmu.”
Aku ambil barang-barangku dengan sangat tenang. Aku tak
ingin Nyonya Hopper mendengarku. Aku menuruni tangga,
memegang sarung tanganku di satu tangan. Aku merasa bergairah
dan tumbuh menjadi dewasa. Aku tidak merasa malu dengan De
Winter. Dia senang kutemani. Dia telah memintaku untuk pergi
keluar dengannya dalam mobilnya.
Kami segera sampai di tempat di mana aku ingin melukis.
Tetapi angin terlalu kencang itu menerbangkan kertas. Kami
masuk ke dalam mobil lagi dan melaju, mendaki jalan gunung
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
12
yang curam. Tiba-tiba jalan sampai ke ujung. De Winter
menghentikan mobil sangat menepi. Jauh di bawah kami terhampar
laut. Aku merasa dingin dan sedikit takut.
“Kau tahu tempat ini?” tanyaku. “Apakah kau pernah ke sini
sebelumnya?”
De Winter melihatku seolah-olah aku seorang yang aneh, dia
kehilangan masa lalunya, ada keanehan, jauh nampak di wajahnya.
Dia nampak seperti seorang pria yang sedang berjalan di dalam
tidurnya.
“Hari sudah terlambat, akankah kita pulang?” aku bilang.
Kemudian dia melihatku dan tersenyum.
“Maafkan aku,” dia bilang. “Seharusnya aku tidak
membawamu naik ke sini, ya, aku sudah ke sini sebelumnya,
bertahun-tahun yang lalu.”
Tahun-tahun itu nampaknya menegangkan di antara kami.
Untuk pertama kalinya, aku mau bahwa aku tidak pernah datang.
De Winter membelokkan mobil dengan hati-hati, dan kami
menuruni jalan yang berliku–lagi–mentari telah dingin dan cerah.
Akhirnya dia mulai bicara tentang Manderley. Dia tidak
menceritakan tentang kehidupannya di sana, tapi tentang rumah itu
sendiri. Dia mengatakan padaku tentang kebun-kebun dan bungabunga
di perhutanan. Dia cerita padaku tentang laut, suara airnya
dapat selalu didengar dari rumah. Dia cerita padaku sedikit tentang,
lembah rahasia dekat laut itu. Lembah kecil ini tersembunyi dari
dunia, penuh dengan bau wangi bunga.
Kemudian kami kembali ke Monte Carlo, kami mengendarai
pelan melalui nyala terang lampu jalanan menuju hotel. Aku
mengambil sarung tanganku dari rak mobil, ada sebuah buku di
sana, aku melihat itu, mencoba untuk sedikit membacanya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
13
“Kau dapat mengambil buku itu dan melihatnya, jika kau
suka,” De Winter bicara. Aku senang dan kupegang buku itu
dengan erat di tangan. Aku ingin punya sesuatu darinya, sekarang
hari kami telah usai.
“Kau boleh keluar,” dia bilang, “aku musti membawa mobil
ini. Aku tidak akan ketemu kamu malam ini. Aku akan keluar, tapi
terima kasih untuk hari ini.”
Aku berjalan menaiki tangga hotel, aku merasa seperti
seorang anak yang pulang sehabis pesta. Aku memikirkan jam- jam
yang panjang saat tidur. Aku tak dapat menemui Nyonya Van
Hopper dan menjawab pertanyaan tanpa akhir. Aku pergi ke ruang
duduk dan memesan teh.
Pelayan membawakanku teh yang hampir dingin, sandwich
yang kering, tetapi aku makan tanpa berpikir. Dalam bentakku aku
dengan Maxim di Manderley. Jika dia sangat mencintai rumahnya,
mengapa dia meningglkannya. Aku mengambil buku itu, sebuah
buku puisi, di halaman depan ada beberapa tulisan – jelas dan tegas
dengan tinta hitam.
“Max – dari Rebecca, 17 Mei.”
Nama Rebecca menonjol hitam pekat, huruf “R” yang tinggi,
lebih besar dari yang lain. Aku menutup buku itu dengan cepat,
aku ingat bahwa Nyonya Hopper telah cerita padaku tentang istri
deWinter.
“Itu mengerikan,” katanya. “Kematiannya ada di semua surat
kabar. Orang-orang bilang dia tak pernah cerita tentang itu, tak
pernah menyebut namanya. Rebecca telah tenggelam, kau tahu, di
laut dekat Manderley,”
Aku berdiri perlahan, buku kubawa di tangan, aku berjalan
dengan tidak bahagia ke lift dan kembali ke Nyonya Hooper.