Friday, June 17, 2016

Tujuh belas
“Rebecca Telah Menang”
Itu adalah Maxim turun di atas teras. Aku tak dapat
melihatnya, tapi aku dapat mendengar suaranya. Aku dengar Frith
menjawab dari aula.
“Kapal menabrak batu di teluk,” Maxim memanggil keluar.
“Kabut sangat buruk diluar sana,” Kata Nyonya Danvers,
“Makanan dan minuman sudah siap untuk para pria. Aku akan
kembali ke teluk untuk melihat jika aku dapat melakukan sesuatu.”
Nyonya Danvers bergerak kembali dari jendela.
“Kita lebih baik pergi ke bawah,” dia bilang dalam suara
biasanya. “Frith akan mencariku. Hati-hati tanganmu. Aku akan
menutup jendela.”
Kemudian dia pergi ke pintu dan memegangnya terbuka untuk
saya.
“Ketika kamu melihat Tuan Winter, Nyonya, tolong katakan
padanya, di sana akan ada makanan panas untuk para pria beberapa
saat.”
Aku menatap padanya.
“Ya,” kataku “Ya, Nyonya Danvers.”
Dia membalikkan punggungnya padaku dan pergi melalui
koridor. Aku berjalan perlahan keluar ruangan. Aku merasa seolaholah
aku telah baru saja bangun dari tidur panjang. Ketika aku
mencapai aula, aku melihat Frith.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
97
“Apakah Anda dengar roket itu, Nyonya?” katanya. “Tuan De
Winter pergi turun ke teluk. Dai pergi menyebrang halaman
rumput hanya beberapa menit yang lalu.”
Aku pergi keluar di teras atas. Kabut mulai jernih dan aku
dapat melihat hutan lagi. Aku mendongak pada jendela di atas
kepalaku. Itu terlihat sangat tinggi. Aku tiba-tiba merasa sangat
panas. Kepalaku sakit dan tanganku basah. Aku berdiri sangat
tenang. Kemudian untuk pertama kali aku menyadari bahwa
Maxim berlalu. Aku telah mendengar suaranya dan dia di bawah
sana di teluk. Maxim selamat. Tidak ada masalah lagi jika Maxim
selamat. Aku mulai berjalan melalui jalan setapak nan sempit
menembus hutan. Kabut sudah hampir pergi sekarang. Ketika aku
sampai di teluk, aku dapat melihat kapal sekaligus. Dia di atas batu
itu sekitar dua mil dari pantai. Di sana ada beberapa perahu kecil di
dekatnya. Aku mendaki jalan ke tebing di atas teluk. Frank ada di
sana berbicara kepada penjaga pantai, tapi aku tak dapat melihat
Maxim.
“Mereka akan mengirim penyelam turun segera, Nyonya De
Winter,” kata penjaga pantai. “Mereka ingin tahu jika mereka
dapat membebaskan kapal itu dari batu.”
“Apakah kamu telah melihat Maxim?” aku tanya Frank.
“Dia membawa salah seorang pelaut ke rumah sakit,” Frank
mengatakan padaku. “Orang itu terluka, Maxim seorang penolong
yang baik di saat seperti ini. Apa yang akan kau lakukan?
Dapatkah aku kembali berjalan ke rumah denganmu?”
“Aku kira aku akan tinggal di sini. Aku ingin melihat
penyelam turun,” kataku.
“Bagus,” kata Frank. “Aku di kantor jika kamu menginginkan
saya.”
Penjaga pantai melihat jamnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
98
“Baik, aku musti maju juga,” katanya. “Selamat siang.”
Laut sudah tenang sekarang. Penyelam turun dan muncul lagi.
Tidak ada kejadian lain. Hari sangat panas. Aku duduk di atas
tebing untuk waktu yang lama dan tidak melakukan apa-apa. Tidak
memikirkan apa-apa.
Ketika kulihat jamku lagi, itu jam tiga. Aku bangkit dan
berjalan turun ke bukit ke teluk itu. Ketika aku sampai di bagian
lain, aku melihat Ben. Dia berdiri di sana tersenyum padaku.
“Sudah lihat kapal besar?” katanya.
“Ya,” kataku, “wanita itu di atas batu, bukan?”
“Dia kan menghentikan,” katanya. “Kapal besar itu tak akan
turun seperti yang sedikit. Dia tak akan kembali bukan?”
“Siapa?” tanyaku padanya.
“Dia,” katanya, “Orang lain itu.”
Aku tak tahu apa maksud Ben. Aku meninggalkannya dan
berjalan menuju jalan menembus hutan. Aku tidak melihat pondok
itu. Ketika aku naik ke jalan, katakutan aneh mulai mengisi hatiku.
Rumah itu terlihat sangat damai. Manderley adalah tempat
yang aman dan terlihat lebih indah dari pada yang pernah aku lihat.
Aku merasa untuk yang pertama kali, bahwa itu rumahku. Aku
memiliki Manderley dan Manderley memilikiku.
Aku pergi menuju rumah itu dan masuk perpustakaan. Jasper
tak ada di sana, dia musti telah pergi keluar bersama Maxim. Aku
tiba-tiba merasa lapar, dan begitu aku minta Robert membawa
masuk teh, aku masih punya rasa aneh dan takut di dalam hati. Aku
merasa bahwa aku menunggu sesuatu, seuatu yang buruk.
Ketika aku duduk dan minum teh, Robert kembali masuk
ruangan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
99
“Kapten Searle, Tuan pelabuhan itu, ada di telepon, Nyonya,”
dia bilang padaku. “Dia ingin datang ke sini dan bicara pada Tuan
Winter sekaligus. Dia bilang ini sangat penting.”
“Tuan Winter belum kembali, Robert,” aku bilang padanya,
“Minta Kapten Searle datang dan menunggu.”
Robert pergi keluar ruangan dengan pesan. Aku berpikir apa
yang ingin kapten katakan. Itu pasti sesuatu yang harus dilakukan
dengan kapal itu keluar dari teluk. Tapi mengapa dia ingin ketemu
Maxim?
Kapten Searle masuk perpustakaan lima belas menit
kemudian. Dia melihatku dengan mata birunya yang cerah.
“Aku khawatir mendapat kabar buruk untuk Tuan Winter.
Aku tak tahu bagaimana mengatakannya.”
“Berita macam apa, Kapten Searle?” aku menanyainya.
“Baiklah, Nyonya Winter, ini sangat tak menyenangkan.
Ketika kami mengirim penyelam turun melihat kapal itu, dia
menemukan sesuatu yang lain. Itu adalah perahu layar kecil.
Perahu itu milik almarhum Nyonya Winter.”
“Maaf,” kataku. “Haruskah Anda bilang Tuan Winter, tak
dapatkah perahu itu ditinggal di sana?”
“Pria itu menemukan sesuatu yang lain,” Kapten Searle
menjawab dengan pelan. “Pintu ruang itu tertutup, begitu dia
masuk jendela dan melihat ke dalam. Kemudian dia mendapat
ketakutan yang sangat. Ada sesosok tubuh di sana di lantai kabin.
Aku musti bilang ke suami Anda, polisi harus tahu juga.”
Ini adalah alasan untuk ketakutan aneh di dalam hatiku.
Seseorang di dalam perahu itu bersama Rebecca malam itu.
“Apakah kami harus mengatakan padanya?” tanyaku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
100
“Aku harus melakukan kewajibanku,” kata Kapten Searle, dia
berhenti. Pintu telah terbuka, itu adalah Maxim.
“Hallo,” katanya. “Adakah sesuatu masalah, Kapten Searle?”
Aku merasa sangat takut. Aku pergi keluar dari ruangan
dengan cepat dan menutup pintu di belakang saya. Jasper ada di
dalam aula dan dia berjalan keluar menuju teras denganku. Aku
duduk, aku tak harus meninggalkan Maxim sekarang.
Aku duduk di teras sampai aku dengar Kapten Searle
menyalakan mobilnya. Kemudian aku berdiri tegak dan berjalan
perlahan kembali ke perpustakaan.
Maxim berdiri di samping jendela. Aku pergi dan berdiri di
sampingnya. Aku mengambil tangannya dan menariknya ke
wajahku.
“Aku ingin menolongmu, Maxim,” kataku. “Aku sudah
dewasa, kamu tahu. Aku bukan anak kecil lagi.”
Maxim menarik tangannya melingkar dan menarikku
mendekat.
“Aku marah denganmu malam lalu, bukan?” katanya.
“Maxim,” kataku padanya, “Tak dapatkah kita mulai lagi?”
“Itu terlambat, sayangku, terlambat,” katanya, “Kita telah
kehilangan kesempatan kita akan kebahagiaan. Sesuatu telah
terjadi. Sesuatu yang telah aku impikan, malam demi malam, aku
tahu kita tak pernah dapat jadi bahagia.”
Maxim menarik kedua tanganku dan memandang wajahku.
“Rebecca telah menang,” katanya.
Aku menatapnya. Jantungku mulai berdetak cepat. Apa yang
Maxim coba ceritakan padaku?
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
101
“Aku selalu tahu ini akan terjadi,” kata Maxim. “Rebecca
telah membuat kita berpisah selama ini. Aku ingat bagaimana dia
melihatku sebelum ia mati. Aku ingat senyumnya. Dia tahu ini
akan terjadi. Dia tahu dia akan menang di ujung.”
“Maxim,” bisikku. “Apa yang kau coba katakan padaku?
Kapten Searle bicara tentang perahu itu padaku. Ada seseorang
yang berlayar dengan Rebecca. Kamu harus mencari tahu siapa itu.
Bukankah itu, Maxim?”
“Tidak,” katanya. “Kamu tak mengerti. Tidak ada orang
bersama Rebecca, dia sendiri.”
Aku berdiri di sana mengamati wajahnya, memperhatikan
wajahnya, memperhatikan matanya.
“Itu tubuh Rebecca, berbaring di sana di atas lantai kabin.”
“Tidak,” kataku, “Tidak.”
“Wanita yang terkubur di dalam gereja itu bukan Rebecca.
Aku selalu tahu itu,” kata Maxim. “Rebecca tidak tenggelam. Aku
membunuhnya. Aku menembak Rebecca di dalam pondok. Aku
membawa tubuhnya ke kabin membawa perahu keluar malam itu
dan menenggelamkannya, itu adalah Rebecca yang terbaring di
sana di atas lantai kabin itu. Maukah kau melihat ke dalam mataku
dan mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku sekarang?”