Tuesday, June 21, 2016

Sembilan belas
Kolonel Julian
Maxim pergi ke kamar kecil dan menutup pintu. Aku duduk di
sana, mendengarkan bunyi suara Maxim. Aku tak lagi takut akan
Rebecca, aku tidak membencinya lagi. Maxim dan aku akan
berkelahi bersama ini. Rebecca belum menang dan telah kalah.
“Itu adalah Kolonel Julian,” kata Maxim, ketika dia kembali
masuk ruangan. “Dia adalah hakim lokal, dia sudah ada di sana
ketika mereka menaikkan perahu besok. Dia menanyaiku jika aku
telah membuat kekeliruan tentang tubuh yang satu lagi.”
Telepon mulai berdering lagi. Maxim menjawab itu dengan
cepat dan kembali masuk ke perpustakaan.
“Sudah mulai,” katanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Itu seorang wartawan. Semua hal akan di koran besok. Tidak
ada yang dapat kita lakukan.”
Setelah makan malam, kami kembali masuk perpustakaan
seperti biasa. Aku duduk di kaki Maxim, kepalaku pada lututnya.
Dengan cara yang aneh kami sama sekali bahagia.
Hujan turun di malam itu. Ketika aku bangun di pagi hari,
Maxim telah pergi keluar. Aku turun untuk sarapan seperti biasa.
Ada banyak surat terima kasih kita untuk pesta dansa itu. Betapa
jauh itu nampaknya! Aku merasa lebih tenang, lebih tahu banyak
sekarang. Aku membawa surat-surat itu ke ruang pagi. Terkejutku,
kamar itu kosong dan tidak rapi. Jendela-jendela tertutup rapat dan
bunga-bunga telah mati. Aku membunyikan bel untuk pelayan
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
109
wanita dan kemudian dia datang, aku bicara padanya dengan
marah. Aku heran mengapa aku telah menakutkan pelayan-pelayan
itu sebelumnya.
Menu untuk hari ini terletak di atas meja tulis. Itu adalah
makanan yang sama seperti hari sebelumnya. Aku mencoret
semuanya dan menelepon Robert.
“Bilang Nyonya Danvers untuk memesan sesuatu yang
berbeda,” aku bilang padanya. Kemudian aku pergi keluar menuju
kebun dan memotong beberapa mawar. Dengan segera Maxim
akan kembali, aku kira. Aku musti tenang dan diam. Aku
membawa mawar-mawar itu kembali menuju ruang pagi. Itu sudah
bersih dan rapi sekarang.
Ketika aku mulai mengatur kembang-kembang itu, ada
ketukan di pintu.
Itu Nyonya Danvers, memegang menu di tangannya. Dia
nampak pucat dan lelah.
“Aku tidak mengerti,” katanya. “Aku tidak bisa menyajikan
pesan yang dikirim Robert. Ketika Nyonya Winter ingin perubahan
menu, Nyonya bilang sendiri padaku.”
“Aku adalah Nyonya Winter sekarang, Nyonya Danvers,”
kataku. “Dan aku akan melakukan hal-hal dengan caraku sendiri.”
Nyonya Danvers menatapku.
“Itu benar,” katanya pelahan. “Bahwa perahu Nyonya Win
telah ditemukan dan ada sesosok tubuh di dalam kabin?” tanyanya
perlahan.
“Aku takut, aku tidak tahu apa-apa soal itu,” kataku.
“Tidak tahukah Anda?” kata Nyonya Danvers. Dia berdiri
memandangku, aku menolak.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
110
“Aku akan berpikir pesanan tentang makan siang,” katanya.
Dia menunggu tapi aku tak bicara apa pun. Dia pergi keluar dari
ruangan.
Nyonya Danvers tidak menakutkanku lagi. Dia adalah
musuhku dan aku tak peduli. Tapi jika ia belajar kebenaran tentang
kematian Rebecca, dia akan menjadi musuh Maxim juga. Aku
mendadak merasa muak dan sakit. Aku pergi keluar menuju teras
dan mulai berjalan naik turun.
Pada jam setengah dua belas, Maxim meneleponku dari kantor
Frank. Dia mengatakan padaku dia membawa Kolonel Julian dan
Frank kembali makan siang.
Waktu berlarut-larut dari jam lima sampai jam satu, aku
dengar bunyi mobil di jalan. Maxim datang menuju aula dengan
Frank dan Kolonel Julian.
Kolonel Julian, sang hakim itu, adalah seorang pria berumur
pertengahan dengan wajah baik hati dan rambut beruban.
“Ini hal paling tak menyenangkan untukmu dan suamimu,”
Kolonel Julian bilang padaku. “Aku merasa sangat menyesal untuk
kalian berdua.”
Maxim dan Frank melanjutkan ke ruang makan dan Kolonel
Julian melanjutkan bicara padaku dengan tenang.
“Kami menemukan sesosok tubuh dalam perahu pagi ini. Itu
adalah tubuh Nyonya Winter. Seperti Anda tahu, Tuan Winter
memperkenalkan tubuh orang lain yang ditemukan di laut sebagai
istrinya. Itu yang membuat hal-hal agak sulit untuk kita sekarang.”
Kolonel berhenti tiba-tiba ketika Maxim kembali masuk aula.
“Makan siang sudah siap, akankah kita masuk?” katanya.
Aku tidak melihat pada Maxim selama makan siang. Kami
bicara tentang cuaca dan Kolonel Julian menanyaiku tentang
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
111
kehidupanku di Prancis. Frith dan Robert ada di dalam ruangan itu
dan tak ada orang yang ingin membicarakan tentang perahu itu.
Akhirnya Frith menghidangkan kopi dan para pelayan
meninggalkan kami.
“Aku mau sebuah pemeriksaan yang tak perlu,” kata Kolonel
Julian, “Tapi aku takut itu – aku tidak berpikir itu akan lama. De
Winter harus mau bilang bahwa tubuh dalam perahu itu adalah
Nyonya De Winter. Kemudian pembangun perahu itu akan bilang
bahwa perahu itu ada dalam pesanan yang bagus ketika terakhir dia
melihatnya. Ini musti dilakukan.”
“Itu sungguh tidak apa-apa,” kata Maxim. “Kami mengerti.”
“Aku kira Nyonya Winter terpaksa turun ke kabin untuk
sesuatu. Kemudian pintu menutup, dan entah mengapa dia terjebak
di sana. Tidakkah kau pikir begitu, Crawley?” Kolonel menanyai
Frank.
“Oh ya, tentu,” kata Frank. Aku punya perasaan kaget bahwa
Frank tahu kebenaran itu.
“Pemeriksaan akan dilanjutkan selasa siang,” Kolonel Julian
bilang pada kami. “Kita akan membuat itu sesingkat mungkin,
tetapi aku khawatir para wartawan akan ada di sana.”
Ada kesunyian yang lain.
“Akankah kita pergi ke kabin?” kataku. Kita semua berdiri di
teras untuk sementara dan kemudian Kolonel Julian melihat
arlojinya.
“Terima kasih makan siangnya,” katanya padaku. “Aku kira
aku musti berangkat sekarang. Inginkah Anda sebuah tumpangan,
Crawley?”
Maxim berjalan dengan mereka menuju mobil. Kemudian
mereka telah pergi, dia kembali padaku ke teras.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
112
“Itu akan jadi baik-baik saja,” kata Maxim. “Di sana tidak
akan ada kesusahan pada pemeriksaan itu. Tidak ada hal untuk
menunjukkan apa yang telah aku lakukan. Kolonel Julian pikir dia
terjebak dalam kabin dan dewan juri akan berpikir itu pula.” Aku
tidak bilang apa-apa.
“Padamu aku minta maaf,” Maxim bilang padaku dengan
sedih. “Aku tidak peduli tentang apa pun yang lain. Aku senang
membunuh Rebecca. Tapi aku tidak dapat melupakan ini telah
terjadi padamu. Kamu kehilangan saat begitu muda, pandangan
baik hati. Dan itu tak akan pernah kembali. Dalam dua puluh
empat jam, kamu tumbuh lebih tua.”
****
Frith membawa masuk surat kabar waktu sarapan hari
berikutnya. Semua cerita ada di dalamnya. Ada gambar dari
Manderley dan sebuah gambar mengerikan dari Maxim. Semua
surat kabar mengatakan bahwa tubuh Rebecca telah ditemukan di
hari pesta dansa pakaian khayal. Mereka bilang bagaimana setiap
orang telah mencintai Rebecca. Mereka semua bilang bahwa
Maxim telah mengawini istri muda kedua dalam setahun kematian
Rebecca. Itu semua membuat sebuah cerita bagus. Wajah Maxim
menjadi lebih putih dan tambah putih.
“Apa yang akan koran katakan jika mereka tahu kebenaran
itu?” aku pikir, bahwa kata yang buruk –pembunuhan- akan ada di
setiap halaman depan.
Frank memiliki pertolongan hebat untuk kami. Kami tak
punya lagi panggilan telepon dari wartawan dan tak ada tamutamu.
Itu hanya sebuah pertanyaan sampai hari selasa. Maxim dan
aku tinggal dengan tenang dalam rumah atau dalam kebun. Kami
tidak jalan-jalan dalam hutan atau turun ke laut. Cuaca sangat
panas dan udaranya tebal. Di sana ada mendung, tapi hujan tidak
turun.