Wednesday, June 15, 2016

Tiga Belas
Lebih Jauh tentang Jack Favell
Maxim menelepon pagi berikutnya. Aku mendengar telepon
berdering ketika aku sarapan pagi dan Frith menjawabnya. Aku
harap bahwa Maxim akan bertanya tentang aku tapi dia tidak
melakukan itu.
“Tuan De Winter akan kembali sekitar jam enam sore ini,”
Frith bilang padaku.
“Baiklah, Frith, terima kasih,” kataku.
Aku melanjutkan makan sarapan pagi sepelan yang aku bisa.
Jasper duduk di kakiku. Aku berpikir apa yang harus aku lakukan
sepanjang hari. Aku sudah sangat ngantuk. Aku tak dapat
melupakan kunjungan aku ke sayap barat. Aku tahu sekarang
betapa besar kebencian Nyonya Danvers padaku.
Sekitar jam sepuluh, telepon berbunyi lagi. kKli ini adalah
Beatrice.
“Baik, sayangku, bagaimana keadaanmu?” katanya. “Akankah
aku datang dan makan siang bersama hari ini?”
“Aku sangat ingin kamu datang. Beatrice,” kataku.
“Baiklah, sayangku. Sampai ketemu.”
Kuletakkan telepon itu, aku senang bahwa Beatrice datang. Itu
memberiku sesuatu untuk berpandangan ke depan, aku ngeluyur ke
halaman rumput. Aku merasa berbeda dari kemarin. Aku ingin
Maxim pulang.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
71
Aku mencoba untuk tidak mengingat kunjungan aku ke sayap
barat. Tapi aku tak dapat berhenti berpikir tentang Favell dan
temannya Nyonya Danvers. Aku mulai merasa bahwa Nyonya
Danvers mengawasiku. Ada begitu banyak kamar yang Maxim dan
aku telah gunakan. Itu adalah mudah bagi Nyonya Danvers untuk
mengawasiku dari salah satu jendela mereka.
Beatrice datang dengan mobil sekitar setengah satu. Kali ini
aku pergi keluar ke jalan untuk menemuinya.
“Baik, sayangku, ini aku,” katanya. “Ini adalah hari yang
menyenangkan, bukan?”
Dia memberiku ciuman dan kemudian memandangku dengan
hati-hati.
“Kau tidak nampak sehat,” kata Beatrice. “Kamu terlalu
kurus. Wajahmu pucat juga, apa yang salah denganmu?”
“Tidak ada apa-apa,” kataku. “Wajahku selalu pucat.”
“Kamu kelihatan sungguh berbeda ketika aku melihatmu
sebelumnya,” Beatrice bilang padaku. “Kau tidak akan punya bayi,
bukan?”
“Tidak, aku pikir tidak begitu,” kataku.
“Baik, aku harap kamu hamil kapan-kapan, Maxim akan jadi
sangat bahagia punya seorang putra, apa yang telah kau lakukan
dengan dirimu? Apakah kamu telah banyak mengerjakan sket?
Apakah kau suka buku-buku yang aku kirim? Apakah kamu punya
seseorang untuk tinggal?”
Aku telah lupa bahwa Beatrice bertanya begitu banyak
pertanyaan.
“Tidak, aku belum punya seseorang untuk tinggal, orangorang
datang untuk teh, kadang-kadang tentunya.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
72
Aku berpikir apakah harus bercerita ke Beatrice tentang
Nyonya Danvers dan temannya, Favell. Aku tak ingin Beatrice
cerita ke Maxim tentang kunjungan itu. Tapi aku sangat ingin
mencari tahu lebih banyak tentang pria itu.
“Pernahkah kau dengar tentang pria yang bernama Jack
Favell, Beatrice?” tanyaku padanya.
“Jack Favell?” kata Beatrice dengan pelan, “Ya, aku sangat
tahu nama itu. Tunggu sebentar, Jack Favell. Ya, tentu saja, aku
ingat dia sekarang. Dia adalah seseoarng yang menakutkan. Aku
bertemu dia sekali, tahun lalu.”
“Dia ke sini kemarin,” kataku padanya. “Dia datang untuk
ketemu Nyonya Danvers.”
Beatrice tidak melihatku.
“Oh ya,” katanya. “Aku kira dia kenal Nyonya Danvers sangat
baik.”
“Tapi mengapa?” tanyaku.
“Jack Favell adalah sepupunya Rebecca,” kata Beatrice. “Aku
kira dia datang ke Manderley, sungguh sering ketika Rebecca
masih hidup. Aku tidak yakin.”
“Aku tidak suka dia,” kataku.
“Tidak, aku tidak mengira bahwa kamu tidak menyukainya,”
jawab Beatrice.
Aku harap bahwa dia akan bicara banyak padaku tentang
Favell, tetapi dia tidak. Ketika waktu istirahat kami berbincang
tentang hal-hal lain.
Beatrice tinggal untuk teh dan segera berangkat setelah itu.
Dia telah minta izin untuk bertemu suaminya, Giles, di stasiun.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
73
“Aku harap kamu tidak akan begitu kurus di waktu lain aku
melihatmu,” kata Beatrice ketika dia masuk mobilnya.
“Sampaikan salamku ke Maxim. Rawat dia, dan rawat dirimu
juga.”
Aku mengawasi mobil Beatrice menuruni jalan. Maxim tidak
akan kembali untuk jam yang lain. Aku tidak merasa seperti duduk
di rumahku sendiri. Aku memanggil Jasper dan kami pergi jalanjalan
menembus hutan. Tapi aku tidak pergi dekat laut. Aku rindu
Maxim sekarang dan aku merasa kesepian tanpa dia. Pertanyaanpertanyaan
Beatrice telah membuatku merasa lelah juga.
Ketika aku kembali dari perjalanan, aku lihat mobil Maxim di
depan rumah. Seketika, aku merasa lebih bahagia. Aku lari dengan
cepat dan masuk aula. Ketika aku berjalan menuju perpustakaan,
aku dengar bunyi suara itu. Salah satunya adalah Maxim, sangat
keras dan marah. Pintu ditutup tetapi aku dapat mendengar apa
yang dia katakan.
“Kamu dapat katakan ke Favell untuk menjauhi Manderley.
Katakan padanya aku bilang begitu,” Maxim berkata.
“Aku tahu dia ke sini. Sudahlah siapa yang bicara padaku.
Mobilnya terlihat di sini kemarin. Jika kamu ingin menemuinya,
temui dia di lain tempat. Aku tak ingin orang itu di Manderley.
Aku bahkan tak akan mengizinkannya di dalam kebun. Aku
mengatakan padamu untuk yang terakhir kali.”
Aku dengar langkah kaki. Aku lari dengan cepat naik tangga
dan menyembunyikan diri.
Nyonya Danvers keluar dari perpustakaan. Dia menutup pintu
dan berjalan ke atas tangga. Wajahnya hijau marah dan pandangan
di matanya menakutkanku. Untunglah dia tak tahu aku
mengawasinya. Nyonya Danvers pergi melalui pintu ke sayap
barat.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
74
Aku menunggu sebentar dan kemudian pergi ke lantai bawah
dan masuk ke perpustakaan. Maxim berdiri di samping jendela.
Ketika aku mendengar pintu terbuka, dia berpaling dengan cepat.
Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku padanya.
“Oh, itu kamu,” kata Maxim.
Aku dapat mengatakan bahwa dia sangat marah. Wajahnya
putih dan mulutnya keras. Aku mengambil tangannya.
“Aku sangat merindukanmu,” kataku. “Aku benci di sini tanpa
kamu,”
“Benarkah?” kata Maxim. Dia tak bicara apa-apa tentang
Nyonya Danvers dan Favell.
“Apakah kau mencemaskan sesuatu?” tanyaku.
“Aku telah punya hari yang panjang,” jawab Maxim. “Dan
London sangat panas dan bising. Aku selalu benci pergi ke sana.”
Maxim lalu menyalakan rokok dan menjauh dariku. Aku tahu
kemudian bahwa dia tidak akan berkata padaku tentang
kemarahannya dengan Nyonya Danvers. Maxim masih berpikir
tentang aku sebagai seorang anak, seseorang yang tidak harus
mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi dia salah. Aku
merasa telah tumbuh sedikit demi sedikit setiap hari. Hidupku di
Manderley mengubahku menjadi seorang perempuan.