Tuesday, June 7, 2016

Lima
Aku Tiba di Manderley
Kami tiba di Manderley awal Mei. Itu adalah waktu terbaik
tahun ini, sebelum kehangatan musim panas. Ketika kami
meninggalkan London. Itu sedang hujan lebat. Aku ingat kata-kata
Maxim.
“Ini adalah hujan London, matahari akan bersinar terang
untukmu ketika kita tiba di Manderley.”
Dia benar. Jauh sebelum kami mencapai Manderley, ada
langit biru di atas kepala kami. Aku senang melihat matahari.
Kusambut itu sebagai tanda bahagia.
“Merasa lebih baik?” kata Maxim, memandangku.
Aku tersenyum padanya dan mengambil tangannya. Itu begitu
ringan untuk Maxim, dia telah kembali ke rumahnya sendiri. Tapi
untukku, semua itu baru dan asing. Aku akan ke Manderley untuk
yang pertama kali. Dan aku akan di sana sebagai istri kedua Maxim
De Winter.
“Hanya dua mil lebih,” kata Maxim akhirnya. “Dapatkah kau
lihat pohon-pohon itu di atas bukit di depan kita? Manderley ada
di dalam lembah melewati pohon-pohon itu.”
Aku mencoba untuk senyum tapi tiba-tiba aku merasa sepi
dan takut. Aku seperti seorang murid pada hari pertama di sekolah.
Mengarah ke pojok, kami tiba di perempatan jalan dan awal
dari tembok yang tinggi.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
26
“Di sini kita,” kata Maxim. “Manderley akhirnya,” aku dapat
mendengar kegembiraan dalam suaranya.
Jalan belok lagi. Di sebelah kiri adalah dua gerbang besi yang
tinggi dan di sampingnya ada pondok kecil. Gerbang-gerbang itu
terbuka lebar untuk kami. Orang-orang melihat keluar dari jendelajendela
pondok. Mereka melihatku. Aku duduk di belakang. Aku
ingin sembunyi dari mata penasaran mereka.
“Kamu tidak seharusnya keberatan jika orang-orang
menatapmu,” kata Maxim. “Mereka semua sangat tertarik padamu.
Jangan khawatir. Jadilah dirimu sendiri dan setiap orang di
Manderley akan mencintaimu. Nyonya Danvers merawat rumah
itu. Dia sudah jadi penjaga rumah di sini bertahun-tahun. Serahkan
segala sesuatunya padanya. Dia mungkin rada aneh saat pertama,
tapi jangan khawatir tentang itu. Dia akan segera terbiasa
denganmu.”
Kami pergi menuju atas ke rumah itu. Jalan belok berliku
seperti ular. Pepohonan tinggi nampak di atas kepala kami. Hanya
sedikit sinar matahari menembus cabang-cabang tebalnya,
semuanya sangat tenang. Terus-menerus kami jalan, kemudian
mendadak pohon-pohon itu sampai di ujung. Matahari bersinar
kembali. Semak-semak yang tinggi tertutup bunga-bunga merah
cerah berdiri di atas sisi dari kami.
Kami tak jauh dari rumah itu sekarang. Jalan itu luas, kami
belok ke sudut terakhir dan di sana adalah Manderley. Rumah tua
itu sempurna. Itu dibangun dalam sebuah lubang kecil dan batubatu
hijaunya berkilau karena sinar matahari. Rumput-rumput
halaman yang hijau dan lembut mengitari rumah itu. Melewati
halaman rumput kebun-kebun dan laut.
Maxim naik di jalan batu yang luas dan menghentikan mobil
itu di depannya. Di puncak jalan itu, sebuah pintu besar berdiri
terbuka lebar. Aku lihat bahwa melewati gang itu adalah penuh
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
27
dengan orang-orang. Aku dapat melihat wajah mereka, semua
menoleh ke arah kami. Aku mendadak malu dan takut lagi.
“Ada apa?” kataku. “Siapa mereka itu?”
“Maaf,” kata Maxim. “Ini pasti idenya Nyonya Danvers.
Setiap orang yang bekerja di Manderley di sini. Jangan nampak
begitu ketakutan. Kamu tidak harus bicara apa pun. Aku akan
melakukan itu semua.”
Seorang pria tua dengan wajah baik hati turun ke jalan itu.
“Baiklah ini kami, Frith,” kata Maxim. “Kalian semua baik?”
“Ya, terima kasih, Tuan,” kata Frith. “Kami semua sangat
senang melihat anda di rumah lagi. Kami berharap anda baik. Dan
nyonya juga tentunya”
“Ya, kami berdua baik, terima kasih Frith. Tetapi kami lelah
dari berkendara dan kami ingin teh kita. Aku tidak mengharap
semua yang ada di sini.”
“Pesannya Nyonya Danvers, Tuan,” kata Frith.
“Kukira begitu,” kata Maxim. “Mari,” dia bilang padaku. “Itu
tidak akan lama, dan kemudian kamu dapat minum teh dengan
tenang.”
Kami pergi bersama menaiki jalan batu yang luas. Di bagian
dalam sebelah pintu terbuka, dua pelayan berdiri dalam dua baris,
seorang tinggi, wanita kurus berpakaian hitam datang menuju
kami, pucatnya, wajah kurus yang keras. Tidak ada sambutan
dalam mata hitamnya. Tangan itu diletakkan di tanganku dengan
dingin dan berat, seperti sesuatu yang mati.
“Ini Nyonya Danvers, penjaga rumah kita,” kata Maxim. Aku
tidak ingat apa-apa yang dia katakan. Aku kira ia menyambut
kedatanganku di Manderley. Ketika aku berterima kasih padanya,
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
28
Nyonya Danvers memandangku dengan tajamnya, mata yang
hitam. Aku jatuhkan sarung tanganku di atas lantai dan Nyonya
Danvers memungutnya dengan senyum sedikit ditekuk di bibirnya.
Dia dapat melihat bahwa aku canggung an malu, dan sedikit takut
dengan kehidupan baruku di Manderley.
Maxim tidak memperhatikan apa-apa. Dia berterima kasih
kepada Nyonya Danvers dengan cepat dan membuatku masuk ke
perpustakaan untuk minum teh. Kami sendiri akhirnya.
Seekor anjing melompat dari tempat duduk di muka perapian
untuk menyambut kami. Pertama ia menuju Maxim lalu duduk di
sampingku. Aku senang dengan sambutan bersahabat anjing itu.
Perpustakaan itu adalah ruangan luas yang nyaman. Temboktembok
ditutupi dengan buku-buku dari lantai hingga atap. Kursikursi
yang nyaman berdiri di salah satu tempat perapian yang besar
dan terbuka. Dari jendela-jendela panjangnya aku dapat melihat
rumput-rumput halaman dan melewati rumput-rumput halaman itu,
laut, ada sebuah ketenangan yang damai dalam ruangan itu. Itu
adalah tempat untuk istirahat, untuk membaca dan untuk berpikir
tenang.
Teh dibawa kepada kami oleh Frith dan seorang pelayan lebih
muda. Ada sebuah meja khusus dan kain putih salju menutupinya.
Ada cerek dan ceret teh dari perak dan sicina yang amat bagus.
Ada roti lapis, roti basah, dan roti kering dan beberapa macam kue.
Ada jauh terlalu banyak makanan untuk dua orang. Tetapi inilah
teh yang disajikan Manderley tiap hari.
Maxim duduk di sebuah kursi dekat perapian membaca suratsurat
yang telah ditunggunya. Sekarang dan lagi, dia mendongak
padaku dan tersenyum. Aku bersandar di kursiku. Minum teh dan
mencoba merasakan rumah ini. Ternyata benar. Manderley adalah
rumahku sekarang-rumahku dan Maxim. Tetapi bagaimanapun aku
tak dapat mempercayainya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
29
Pikiranku terhenti oleh terbukanya pintu itu, Frith.
“Maaf Nyonya,” dia bilang. “Nyonya Danvers bertanya jika
Anda ingin melihat kamar Anda.”
Maxim mendongak dari surat-suratnya. “Apa perlakuan
kamar-kamar di sayap timur seperti sekarang?” dia bilang.
“Sangat bagus memang, Tuan,” jawab Frith. “Aku kira Anda
akan sangat nyaman di sana.”
“Apakah Anda sudah membuat perubahan?” tanyaku.
“Oh, tidak banyak,” kata Maxim. “Mereka telah
mempersiapkan kamar di sayap timur untuk kita. Ada
pemandangan menyenangkan di kebun mawar dari sana. Kau pergi
saja dengan Nyonya Danvers. Kususul kemudian.”
Aku pergi keluar dengan Frith memasuki aula yang nampak
sangat besar dan langkah-langkah kakiku berbunyi sangat keras di
atas lantai batu. Nyonya Danvers berdiri di atas puncak tingkat
yang luas di atas tangga itu. Matanya yang hitam mengawasiku
ketika aku berjalan perlahan menaiki tangga menujunya.
“Aku harap aku tak membuatmu menunggu,” kataku.
“Itu adalah kwajiban aku untuk menunggu Anda, Nyonya,”
kata Nyonya Danvers. “Aku di sini untuk melaksanakan perintahperintah
Anda.”
Dia memimpinku sepanjang gang lebar. Kami melalui pintupintu
tembus naik turun tangga-tangga luas. Akhirnya Nyonya
Danvers membuka pintu membawa kepada sebuah kamar kecil.
Kamar tidur yang terang dengan jendela-jendela yang luas. Aku
pergi seketika ke sebuah jendela dan memandang keluar. Kebun
mawar terhampar di bawahku. Melewati kebun mawar itu, rumput
halus merentang ke hutan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
30
“Kau tak dapat melihat laut dari sini,” kataku, menoleh ke
Nyonya Danvers.
“Tidak, bukan dari sayap ini,” jawabnya. “Dan Anda tak dapat
mendengarnya, takkan pernah tahu laut itu begitu dekat.”
Nyonya Danvers bicara dengan cara yang aneh, seolah-olah
entah bagaimana ini adalah penting untuknya.
“Aku minta maaf soal itu, aku suka laut,” kataku. “Tapi ini
adalah kamar yang memesona. Aku yakin aku akan nyaman di
sini.”
“Tuan De Winter memberi perintah sangat hati-hati dalam
surat ini soal kamar ini. Kamar-kamar di sini telah diatur khusus
untuk Anda.”
“Ini bukan kamar dia sebelumnya?”
“Oh tidak, Nyonya. Dia tak pernah menggunakan kamar ini.”
Ada ketenangan, aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku
mau Nyonya Danvers menyingkir.
“Aku rasa kau sudah di Manderley bertahun-tahun,” kataku.
“Iya, Nyonya. Aku sudah datang di sini ketika Nyonya Winter
yang pertama adalah seorang memelai,” suaranya tiba-tiba kasar.
Ada beberapa warna di wajah pucatnya sekarang. Dan untuk
sementara aku melihat pandangan kebencian di matanya.
“Nyonya Danvers,” aku mendengar diriku berkata. “Aku
harap kita akan jadi teman. Kehidupan macam ini adalah baru
bagiku. Aku ingin membuat Tuan Winter bahagia. Aku tahu aku
dapat menyerahkan penjagaan rumah untukmu. Aku tak akan ingin
membuat perubahan.”
“Bagus,” katanya. “Aku harap Anda akan puas. Aku telah
merawat rumah ini dari tahun yang lalu. Ketika almarhum nyonya
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
31
Winter masih hidup, ada banyak pesta-pesta dan tamu-tamu,
tentunya. Dia suka mengurus sendiri segala sesuatunya.”
“Aku agaknya akan menyerahkan itu padamu, Nyonya
Danvers,” kataku. “Dan aku yakin kami akan sangat nyaman di
ruangan ini.”
“Tuan De Winter bilang kau akan lebih baik ada di atas sisi
rumah ini. Mereka menggunakan kamar-kamar di sayap barat
ketika Nyonya Winter masih hidup, jendela-jendela di sana
menghadap ke laut.”
Ada suara di sebelah luar pintu dan Nyonya Danvers berhenti
bicara. Maxim masuk ke kamar itu.
“Baik, bagaimana pendapatmu?” Maxim bicara padaku.
“Kuharap kau suka kamar ini, kukira kau sudah bekerja sangat baik
Nyonya Danvers.”
“Terima kasih, Tuan,” katanya, kemudian dia berbalik dan
pergi dengan tenang keluar dari ruangan.
Maxim berjalan ke jendela, “aku suka kebun mawar,”
katanya. “Ada sesuatu yang sangat tenang dan damai tentang
kamar ini. Bagaimana kau dapat bergaul dengan baik dengan
Nyonya Danvers? Dia adalah seorang wanita aneh dalam banyak
cara. Aku kira bahwa beberapa dari pelayan-pelayan muda takut
padanya.”
“Aku harap kami akan dapat bergaul dengan baik ketika dia
mengenalku lebih jauh,” kataku. “Dia mungkin tidak suka aku
pada mulanya, tentu saja.”
“Bukan seperti kamu? Mengapa harus dia tak menyukaimu?”
kata Maxim dan dia datang menyeberangi kamar itu dan
menciumku dengan jantan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
32
“Mari lupakan tentang Nyonya Danvers,” katanya. “Mari ikut,
dan aku akan menunjukkanmu Manderley.”
Aku merasa lebih bahagia ketika aku berjalan melalui rumah
itu dengan Maxim. Kami lihat lukisan-lukisan di balai panjang dan
pada kebanyakan ruang-ruang di lantai bawah. Maxim meletakkan
tangannya melingkar di bahuku. Aku mulai merasa bahwa
Manderley sungguh-sungguh rumahku.
Setelah makan malam, kami duduk di perpustakaan. Kordenkorden
dibuka dan lagi batang-batang kayu diletakkan di atas api.
Itu adalah baru bagi kami untuk duduk bersama dengan tenang
seperti ini. Di Italia kami telah berjalan di sekitar sore, atau pergi
berkendara. Maxim duduk di kursi ke sebelah kiri tempat perapian.
Dia memungut kertas. Dia meletakkan sebuah alas duduk di balik
kepalanya dan menyalakan rokok.
“Inilah apa yang selalu dia lakukan,” aku pikir. “Ini apa yang
dia lakukan sebelum mengenalku. Itulah apa yang dia lakukan
setiap sore bertahun-tahun.”
Maxim tidak melihatku. Dia terus membaca korannya. Dia
keenakan, penguasa rumah ini. Aku menuang kopi. Aku menunduk
kepada anjing dan membelai telinga lembutnya.
Tiba-tiba aku menggigil seolah-olah sebuah pintu terbuka.
Orang lain telah duduk di kursiku. Orang lain telah menuangkan
kopi dan membelai anjing. Aku duduk di kursi Rebecca. Anjing
itu, Jasper, mendatangiku karena di waktu lalu dia telah
mendatangi Rebecca.