Tuesday, June 14, 2016

Dua Belas
Di Sayap Barat
Maxim terpaksa terbang ke London di akhir Juni. Itu adalah
pertama kali aku ditinggal sendiri di Manderley. Aku yakin bahwa
Maxim akan dapat kecelakaan terburuk atau bahkan terbunuh. Aku
juga khawatir untuk makan siang. Pada sekitar dua jam, Robert
membawakanku sebuah pesan. Maxim telah datang dengan selamat
di London setelah perjalanan yang bagus. Aku merasa bahagia lagi
dan agak lapar. Aku pergi masuk ruang makan dan mengambil
sebuah apel dan beberapa roti. Kemudian aku memanggil Jasper
dan kemudian kami pergi bersama ke dalam hutan.
Ketika aku duduk di sana, aku merasa lebih bahagia dari pada
yang pernah terjadi di Manderley. Aku tak dapat mengerti itu. Aku
tak ingin Maxim pergi ke London, tetapi sekarang aku senang
sendiri.
Aku berjalan melalui lembah bahagia ke teluk. Laut itu sangat
tenang. Jasper berlari naik ke bebatuan membimbingku ke teluk
sebelah.
“Bukan jalan itu, Jasper,” aku panggil. Anjing itu tak
menghiraukan.
“Oh, baiklah, itu tak masalah,” pikir saya. “Maxim tidak di
sini,” dan aku mendaki pada bebatuan itu setelah Jasper.
Pasang telah surut dan di sana sedikit air di dalam teluk.
Pelampung hijau dan putih masih di sana. Aku dapat membaca
namanya sekarang, ‘je reviens’. Nama asing dari sebuah perahu –
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
63
“Aku akan kembali,” dan perahu itu tak akan pernah kembali
sekarang.
Aku berjalan perlahan menyeberangi pantai itu ke pondok.
Matahari bersinar hari ini dan pondok itu tidak nampak
menakutkan lagi. Aku mendorong pintu terbuka. Segala sesuatu
tepat seperti sebelumnya. Ada suara dalam rumah perahu itu dan
Jasper berlari mendaki pintu keluar masuk, menggonggong dengan
marah.
“Apakah ada orang di sana?” kataku.
Aku memandang melalui pintu dan melihat Ben duduk di sisi
tembok. Dia memandang sangat ketakutan.
“Aku kira kamu harus keluar,” kataku. “Tuan Winter tidak
suka orang masuk di sini.”
Ben mengikutiku keluar menuju sinar matahari.
“Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa,” katanya. “Kamu
tidak akan membenciku, bukan?”
Seluruh tubuhnya menggigil dengan ketakutan dan air
matanya menggelinding di wajah bundar gemuknya.
“Aku tidak melakukan apa pun. Aku tidak bicara apa pun,”
katanya.
“Itu bagus, Ben. Tidak ada orang yang akan menyakitimu.
Tapi jangan masuk pondok lagi.”
Ben tersenyum.
“Kamu tidak seperti orang lain,” katanya. “Dia tinggi dan
gelap. Dia punya mata seperti ular. Dia datang ke sini di malam
hari. Dia melihatku sekali, untuk melihatnya. ‘kamu akan dikunci.
Orang-orang akan menyakitimu,’ kata perempuan itu. Tapi kamu
tidak akan mengunciku, kan?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
64
“Tentu tidak, Ben,” kataku.
Ben tersenyum lagi dan berangkat turun ke pantai laut itu.
Aku pergi ke atas menuju hutan. Jasper mengikutiku. Ketika aku
melihat ke belakang, Ben telah pergi. Tapi aku punya perasaan
aneh bahwa seseorang mengawasiku. Seseorang tinggi dan gelap.
Orang yang memperhatikan dan mendengar.
***
Aku mulai lari mendaki jalan gang itu dan tidak merasa aman
sampai aku mencapai halaman rumput. Rumah itu berdiri di sana.
Selamat dan aman. Matahari bersinar di atas suatu logam di jalan.
Sebuah mobil sport hijau terparkir di sana. Aku belum pernah
melihat itu sebelumnya dan aku harap tamu itu tidak akan tinggal
untuk teh.
Ketika aku berjalan menyebrangi halaman rumput, aku
mendongak pada sayap barat. Salah satu dari daun jendela terbuka
dan seorang pria berdiri di jendela itu. Kemudian sosok yang lain,
berpakaian hitam, menutup jendela. Aku yakin itu Nyonya
Danvers. Tapi siapa lelaki itu? Dan mengapa dia telah datang
ketika Maxim berada jauh di London?
Aku berjalan naik tangga, melalui aula dan masuk ke ruang
pagi. Aku dapat mencium bau asap rokok, lalu aku dengar suara
dan tanpa berpikir, aku sembunyi di balik pintu. Aku dengar
Nyonya Danvers berkata, “Aku harap dia masuk ke perpustakaan.
Tunggu di sini, sementara aku pergi dan melihat.”
Dia bicara tentang aku tentunya. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Jasper telah bergerak menuju ruang lukisan, mengibaskibasnya
ekornya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
65
“Hallo Jasper, jejaka tua,” kata suara seorang pria dan Jasper
lari kembali. Masuk ke ruang pagi. Pria itu mengikuti. Dia
melihatku berdiri di balik pintu. Aku belum pernah melihat
seseorang lebih terkejut.
“Aku minta maaf,” katanya. “Aku bertamu untuk melihat
Danny. Dia adalah teman lamaku.”
Dia menyalakan rokok dan melihat-lihat ruangan.
“Bagaimana Max tua?” tanya dia.
“Max baik, dia ada di London,” kataku.
“Apa? Dia membiarkan kalian sendirian? Itu tak adil,
bukan?”Orang itu memberikan tawa yang tidak menyenangkan.
Aku tidak menyukainya sama sekali.
Pada saat itu, Nyonya Danvers kembali. Dia memandangiku
dengan marah.
“Baiklah, Danny,” kata pria itu, “Apakah kau akan
mengenalkanku pada mempelai wanita yang baru?”
“Ini adalah Tuan Favell, Nyonya,” kata Nyonya Danvers.
“Apa kabar?” aku berkata dengan sopan. “Maukah kau tinggal
untuk teh?”
Pria itu tertawa lagi.
“Sekarang bukan macam itu, Danny,” katanya, tapi aku lebih
baik pergi. “Ayo dan lihat mobilku,” katanya padaku. “Itu adalah
mobil bagus. Lebih cepat dari pada yang Max punya.”
Aku tak suka cara yang Favell ucapkan dengan Maxim. Aku
tak ingin melihat mobilnya. Tetapi aku mengikutinya keluar
menuju aula.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
66
“Selamat tinggal Danny, pedulikan dirimu sendiri. Kau tahu
nomor teleponku.”
“Sayang Manderley tua,” Favell bilang ketika kami berjalan
keluar rumah. “Bagaimana pendapatmu tentang itu, apakah kau
kesepian tinggal di sini?”
“Aku sangat menyayangi Manderley,” Kataku.
“Aku senang jumpa kamu,” kata Favell. Berdiri di samping
mobilnya. “Tapi aku lebih baik kamu tidak menceritakan pada
Maxim tentang kunjungan saya. Aku khawatir suamimu tidak suka
aku amat banyak. Mungkin dia jadi jengkel dengan danny tua yang
miskin,”
“Baiklah, tidak,” kataku dengan canggung. “Aku tidak bilang
apa-apa ke Maxim.”
Dia masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin.
“Itu amat baik hati,” katanya. “Mungkin aku akan kembali
dan jumpa kamu suatu hari, selamat tinggal.”
Favell berkendara menjauh dengan gaduh dan sangat terlalu
cepat. Aku berjalan perlahan balik ke rumah. Nyonya Danvers
telah pergi. Aku heran siapa Favell itu. Dia tentunya sudah ada di
Manderley sebelumnya. Dan, seperti Rebecca, dia memanggil
Maxim ‘Max’. Sudahkah Favell kenal Rebecca? Apa yang telah
dia lakukan di sayap barat? Ada beberapa barang yang sangat
berharga dalam rumah itu. Mungkin pria itu seorang pencuri.
Aku memutuskan untuk pergi ke atas ke sayap barat. Aku
perlu tahu bahwa segala sesuatunya baik. Rumah itu nampak
sangat tenang seperti ketika aku mulai berjalan ke atas tangga.
Jantungku berdegup dengan hal kegembiraan yang asing.
***
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
67
Aku mulai dalam koridor di mana aku telah berdiri di atas
pagi pertamaku di Manderley. Aku memutar gagang pintu terdekat
dan masuk ke dalam. Semaunya gelap. Aku menemukan lampu
dan menekan tombol nyalanya. Aku terkejut melihat bahwa kamar
itu dilengkapi perabotan. Tidak ada debu dan semuanya bersih dan
rapi. Kamar itu, sebuah kamar tidur paling indah yang pernah aku
lihat. Ada kembang-kembang di atas meja pakaian dan di atas meja
di samping ranjang. Sebuah gaun satin tergeletak di atas sebuah
kursi.
Aku berjalan perlahan masuk ke tengah ruangan. Tidak, ini
tidak digunakan. Ini tidak ditinggali lagi. Udaranya tidak segar.
Rebecca tidak akan pernah kembali ke ruangan ini lagi. Aku dapat
mendengar suara laut dengan jernih. Aku pergi ke jendela dan
membukanya. Ya, aku berdiri di jendela di mana aku telah melihat
Nyonya Danvers dan Favell.
Aku merasa takut dan kakiku mulai bergetar. Aku duduk di
atas bangku di samping meja pakaian. Aku melihat-lihat ruangan
itu. Itu paling indah di Manderley. Sebuah ruangan yang tidak
pernah digunakan sekarang.
Aku bangkit dan pergi ke kursi. Aku menyentuh gaun satin
itu. Aku memungut sandal itu dan memegangnya di tangan.
Di atas tempat tidur tergeletak pakaian malam Rebecca. Aku
pergi ke ranjang itu dan memegang gaun malam itu ke wajah saya.
Dingin dan bau bunga-bunga dalam lembah bahagia.
Ketika aku berdiri melihat ranjang itu. Aku dengar langkah di
balik saya. Aku berbalik dengan cepat. Itu adalah Nyonya Danvers.
Aku tak akan pernah lupa pandangan di wajahnya. Itu pandangan
yang aneh, kegembiraan yang buruk.
Dia datang mendekat dan aku dapat merasakan napasnya pada
wajahku.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
68
“Adakah suatu masalah, Nyonya? Apakah Anda merasa tidak
baik?” Nyonya Danvers bicara dengan tenang.
“Aku tidak mengharap jumpa kamu di sini, Nyonya Danvers.
Aku naik untuk mengikatkan salah satu dari daun jendela.”
“Aku akan mengikatkan itu,” kata Nyonya Danvers. Nyonya
Danvers kembali dari jendela dan berdiri di sampingku.
“Kau yang membuka jendela itu sendiri, kan?” katanya.
“Anda ingin melihat ruangan ini, bukan? Sekarang Nyonya di sini,
biar aku tunjukkan sesuatu padamu.”
Suaranya sekarang selembut dan semanis madu.
“Ini ruang yang menyenangkan, bukan? Itulah kamarnya,
itulah ranjangnya. Aku menjaganya seperti itu. Ini adalah pakaian
malamnya, ia memakainya semalam sebelum ia meninggal. Ini
adalah sandal-sandalnya.”
Nyonya Danvers menaruh kembali sandal-sandal itu di bawah
kursi dan berjalan menyeberangi kamar menuju lemari besar.
“Semua pakaian-pakaian sorenya ada di sini. Pakaian bulu
binatangnya, juga. Tuan Winter selalu membelikan pakaianpakaian
untuknya. Pakaian-pakaian yang indah.”
Nyonya Danvers memegang tanganku dengan erat dengan
jari-jari kurus panjangnya. Matanya menatap dalam-dalam ke
mataku.
“Aku menyalahkan diriku untuk kecelakaan itu,” katanya.
“Aku keluar sore itu, ketika aku tiba, aku dengar dia sudah pergi
turun ke teluk. Aku khawatir. Angin bertiup kencang. Tuan Winter
datang sekitar pukul sebelas. Angin bertiup lebih keras, dan
Rebecca belum juga kembali.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
69
“Aku duduk di atas ranjangku sampai jam lima lebih.
Kemudian aku meletakkan jas aku di gantungan dan pergi turun ke
teluk. Aku melihat langsung bahwa perahu itu telah pergi.”
Tangan Nyonya Danvers surut kembali ke pinggangnya.
“Itulah mengapa Tuan De Winter tidak menggunakan ruangan
ini lagi. Dengarkan laut itu.”
Bahkan dengan jendela tertutup, aku dapat mendengar bunyi
kasar bodoh laut di teluk itu.
“Aku masuk ruangan ini dan memebersihkannya setiap hari,”
Nyonya Danvers berkata. “Jika Anda ingin datang lagi, mintalah
aku. Tidak ada orang yang datang ke sini selain aku.”
“Kadang-kadang aku merasa dia berdiri di sini, di belakang
saya. Aku merasa dia di mana-mana. Dalam ruangan pagi, dan di
aula. Kau merasakannya juga, kan?”
Aku coba tersenyum tapi aku merasa sakit dan muak.
“Kau pikir dia dapat melihat kita sekarang?” Nyonya Danvers
tanya padaku. “Apa kau pikir orang mati melihat orang hidup?”
“Aku tidak tahu,” kataku. “Aku tidak tahu.”
“Kadang-kadang aku berpikir dia melihatku dan Tuan Winter
bersama-sama,” Nyonya Danvers berbisik.
Kami berdiri di sana di samping pintu, memandang satu sama
lain. Aku tak dapat memalingkan mataku dari matanya. Kemudian
aku membalik dan berjalan menuju jalan beratap. Aku pergi
menuruni tangga dan melalui pintu ke sayap timur. Aku membuka
pintu kamar tidurku sendiri. Aku menutup pintu kamar dan
menguncinya.
Kemudian aku berbaring di atas ranjangku dan menutup
mataku. Aku merasa sangat muak.