Thursday, June 23, 2016

Dua puluh satu
Sebuah Kunjungan Jack Favell
Itu setelah jam enam ketika aku dengar bunyi mobil Maxim.
Aku mencoba untuk berdiri tegak tapi kakiku begitu lemah,
terpaksa aku bersandar pada kursi. Maxim masuk ruangan dan
berdiri di samping pintu. Dia nampak lelah dan tua.
“Semua itu telah usai,” katanya. Aku menunggu, aku tak dapat
bicara atau berjalan ke arah Maxim.
“Bunuh diri,” kata Maxim, “Itu adalah putusan. Mereka bilang
bahwa Rebecca membunuh dirinya sendiri.”
Aku duduk. “Bunuh diri,” aku mengulang. “Mengapa mereka
berpikir Rebecca melakukan itu?”
“Tuhan yang tahu,” kata Maxim. Dia pergi dan berdiri di
samping jendela. “Ada lebih dari satu hal yang harus dilakukan.
Tubuh Rebecca telah dikubur. Aku harus turun ke gereja sekarang.
Kita akan bicara tentang segala sesuatu ketika aku kembali. Kita
harus memulai seluruh hidup kita lagi. Masa lalu tak dapat melukai
kita jika kita bersama. Kita akan punya anak juga, aku
menjanjikanmu. Aku musti pergi sekarang. Aku bertemu Frank dan
Kolonel Julian di gereja,” dia meninggalkan ruangan dengan cepat
dan kemudian aku dengar bunyi mobilnya pergi.
Suasana tenang dalam perpustakaan. Aku berpikir tentang
gereja di mana Rebecca dikuburkan akhirnya.
Baru saja sebelum pukul tujuh, hujan mulai turun dengan
lebat. Aku membuka jendela-jendela untuk membiarkan masuk
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
119
udara bersih yang dingin. Hujan turun begitu lebat bahwa aku tidak
mendengar Frith masuk.
“Maaf, Nyonya,” katanya, “Ada orang laki-laki harus ketemu
Tuan Winter, itu Tuan Favell.”
Aku sangat terkejut.
“Aku kira aku lebih baik ketemu Tuan Favell,” kataku. “Bawa
dia masuk di sini, tolong Frith,” aku harap bahwa Favell akan pergi
sebelum Maxim kembali. Aku tak dapat berpikir mengapa Favell
telah datang.
“Aku khawatir Maxim tidak ke sini,” kataku ketika Favell
berjalan masuk ruangan. Matanya merah, aku pikir dia telah
mabuk.
“Aku tidak keberatan menunggu,” jawab Favell. “Max akan
kembali untuk makan malam, aku yakin.”
“Tuan Favell,” kataku. “Aku tak ingin ada kekerasan, tapi aku
sangat lelah. Itu akan lebih baik jika kau kembali di pagi hari.”
“Tidak, tidak,” katanya, datang dan ke arahku, “Aku harus
bicara sesuatu pada Max. Ini telah menjadi guncangan untukku,
kamu tahu. Aku amat sayang Rebecca.”
“Ya, tentu” kataku. “Aku sangat menyesal untukmu.”
“Aku lebih sayang Rebecca dari pada siapa pun di dunia,”
Favell melanjutkan, “dan dia menyayangiku. Oleh karena itu, aku
telah datang ke sini untuk mengetahui kebenaran. Bunuh diri...
Tuhanku. Kamu dan aku tahu itu bukan bunuh diri, bukan?”
Ketika Favell sedang bicara. Pintu terbuka dan Maxim serta
Frank masuk.
“Persetan, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Maxim
bicara pada Favell.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
120
“Mengapa? Hallo Max, pria tua,” kata Favell. “Kamu pasti
merasa sangat senang dengan dirimu.”
“Apakah kamu keberatan meninggalkan rumah ini?” kata
Maxim dengan dingin. “Aku tidak ingin kamu di sini.”
“Sekarang, tunggu sebentar, Max,” jawab Favell. “Kamu telah
sangat beruntung. Tapi aku masih dapat membuat hidupmu tak
senang. Dan berbahaya juga, mungkin,” Maxim menatap tajam
pada Favell.
“Oh ya?” katanya. “Dengan cara apa kamu dapat membuat
hal-hal yang berbahaya?”
“Aku akan katakan padamu, Max,” kata Favell dengan
senyum tidak menyenangkan, “Kamu tahu semua tentang Rebecca
dan aku. Kematiannya adalah sebuah goncangan yang besar.
Kemudian aku membaca tentang perahu Rebecca dan tubuh dalam
kabin. Jadi aku pergi ke pemeriksaan. Aku dengar keterangan
pembangun perahu itu. Tentang lubang-lubang dalam perahu itu,
Max?”
“Kamu mendengar putusan itu,” kata Maxim padanya. Aku
tak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Favell tertawa.
“Kamu tahu Rebecca tidak membunuh dirinya. Aku punya
sebuah catatan di sini yang mungkin menarikmu. Aku
menyimpannya karena itu adalah hal yang terakhir yang Rebecca
pernah tulis untukku, dengar.”
Favell mengambil selembar kertas dari sakunya. Aku
mengenal tulisan hitam tajam milik Rebecca.
“Aku mencoba meneleponmu,” Favell membaca, “Tapi kamu
keluar. Aku meninggalkan London sekarang dan kembali ke
Manderley. Aku akan menunggumu di pondok. Turun segera yang
kau bisa. Aku harus mengatakan sesuatu padamu.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
121
Favell meletakkan kembali catatan itu di saku.
“Aku menemukan itu dalam flat Londonku. Itu terlambat
untuk mengemudi turun ke Manderley. Ketika aku menelepon hari
berikutnya, Rebecca telah meninggal. Apakah kau benar-benar
berpikir Rebecca membunuh dirinya setelah menulis catatan itu?”
Maxim tidak bicara apa-apa.
“Sekarang, Max, pria tua,” Favell bicara akhirnya, “Kau tahu
aku bukan orang kaya. Jika aku punya dua atau tiga ribu pound,
aku dapat hidup tenang sudah. Aku tak akan pernah kembali, aku
menjanjikanmu.”
“Aku sudah memintamu untuk meninggalkan rumah ini,” kata
Maxim. “Pintu itu di belakangmu.”
Favell tertawa lagi.
“Pikir lagi, Max,” kata Favell. Aku tak mengira pengantin
wanita barumu ingin terkenal sebagai istri seorang pembunuh.”
“Kau tak bisa menakutiku, Favell,” jawab Maxim. “Akankah
aku telepon Kolonel Julian? Kau dapat menceritakan kisahmu itu
padanya.”
“Kamu tidak akan berani, Max,” kata Favell. “Aku punya
cukup keterangan untuk menggantungkanmu, Max.”
Maxim berjalan perlahan ke arah telepon di ruang sebelah.
“Hentikan dia,” aku bilang pada Frank, “Hentikan dia demi
Tuhan,” tapi itu terlambat. Maxim sudah berbicara.
“Apakah itu Kolonel Julian? De Winter di sini. Dapatkah kau
datang ke Manderley seketika? Tidak –aku tak dapat mengatakan
apa-apa di balik telepon. Terima kasih banyak. Selamat jalan,”
Maxim kembali lagi masuk ruangan.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
122
“Kolonel Julian akan di sini dalam sepuluh menit,” katanya.
Kami menunggu dalam kesunyian. Hujan itu begitu lebat
sehingga kita tak dapat mendengar bunyi mobil. Kami mengantar
dengan terkejut ketika Frith membawa hakim masuk perpustakaan.
“Selamat malam, Kolonel Julian,” Maxim bicara seketika. “Ini
adalah Jack Favell, sepupu almarhum istriku. Dia punya sesuatu
yang harus dikatakan padamu.”
Favell naik untuk Kolonel Julian. “Aku tak senang tentang
keputusan itu. Aku ingin kau membaca tulisan ini. Katakan padaku
apakah kamu pikir penulis itu telah memutuskan untuk membunuh
dirinya.”
Kolonel Julian membawa catatan dan membacanya dengan
pelan.
“Aku tahu maksudmu,” katanya. “Tapi catatan itu tak jelas,
apa kamu pikir benar-benar terjadi pada Nyonya Winter?”
Favell melihat pada Maxim.
“Aku akan katakan padamu apa yang kupikir,” katanya
perlahan. “Rebecca tak dapat membuka kran-kran laut itu. Dia tak
membuat lubang-lubang itu dalam perahu. Rebecca tidak
membunuh dirinya. Aku bilang dia terbunuh. Apakah kau ingin
tahu siapa pembunuhnya? Dia di sana, berdiri di samping jendela.
Tuan Max milian De Winter –dialah pembunuhnya. Perhatikan
baik-baik padanya.”
Favell mulai tertawa, sebuah ketawa bodoh yang tinggi.
Ketika dia memilin catatan itu dan memutar-mutarkan di jarinya.