Friday, June 3, 2016

Empat
Aku Meninggalkan Monte Carlo
Dua hari kemudian, semuanya telah berubah. Aku dan
Nyonya Hopper siap meninggalkan Monte Carlo. Semua koper
dan tas telah dikemas. Semua laci dan lemari telah kosong.
Nyonya Hopper sudah membaca surat dari anak
perempuannya pada waktu sarapan.
“Helen berlayar ke New York Sabtu, anaknya sakit. Kami
berangkat juga. Aku lelah tinggal di sini. Kau ingin melihat New
York?”
Berpikir meninggalkan Monte Carlo dan Maxim adalah satu
hal yang buruk. Ketidak bahagiaanku terpancar di wajahku.
“Betapa anak aneh kau ini,” Nyonya Hopper bilang. “Aku tak
bisa mengerti kamu, aku pikir kamu tidak suka Monte Carlo.”
“Aku sudah terbiasa,” aku bilang.
“Baik, kau akan terbiasa di New York, cukup. Kami naik
kapal yang sama karena Helen. Kamu sudah mau mengatur segala
sesuatunya sekaligus. Turunlah ke kantor hotel sekarang. Kau akan
terlalu sibuk untuk merasa tidak bahagia.”
Dia tertawa tidak menyenangkan terhadap wajah sedihku. Dia
berjalan menuju telepon. Dia ingin berbicara pada setiap orang
bahwa dia berangkat.
Aku pergi ke kamar mandi dan mengunci pintu. Aku ingin
sendiri untuk beberapa menit. Kebahagiaanku telah berakhir.
Sampai besok sore, aku harus ada di atas kereta api. Kereta api
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
19
akan membawaku jauh dari Maxim. Kilo per kilo meter. Dia akan
duduk di restoran, membaca dan tidak berpikir tentangku. Di mana
aku akan mengucapkan selamat tinggal padanya? Di ruang duduk,
dengan berdiri di dekat Nyonya Hopper? Aku pergi dan segalanya
berakhir. Kami akan mengucapkan selamat tinggal seperti dua
orang asing.
Nyonya Hopper mengetuk pintu kamar mandi.
“Apa yang kau lakukan di situ?” tanyanya, “tidak ada waktu
untuk mimpi pagi ini. Masih banyak yang harus dikerjakan.”
Kubasuh wajahku dengan air dingin dan keluar dari kamar
mandi sekaligus. Aku buat sisa-sisa hariku berkemas dan mengatur
perjalanan. Sore itu teman Nyonya Hopper datang untuk
mengucapkan selamat jalan. Kami telah makan malam di lantai
atas dan Nyonya Hopper ke tempat tidur lebih awal. Aku tidak
melihat Maxim seharian. Aku turun ke ruang duduk pukul sepuluh.
Seorang pelayan melihatku, dia tahu apa yang aku cari tentu saja.
“Tuan De Winter keluar sore ini,” dia berkata padaku. “Dia
tak akan kembali sebelum tengah malam.”
Aku berjalan perlahan kembali ke atas. Besok akan terlambat.
Aku tidak harus dapat bicara padanya sama sekali. Malam itu aku
menangis. Bantalku basah air mata. Paginya, mataku merah dan
bengkak.
“Kau tidak terkena demam, kan?” kata Nyonya Hopper ketika
dia melihat wajahku.
“Tidak,” aku bilang. “Kukira tidak,” aku mencoba melihat dia.
“Aku benci menunggu ketika segala sesuatu dikemas,”
Nyonya Hopper bicara dengan tempramen jelek. “Kita seharusnya
sudah pergi dengan kereta lebih awal,” dia melihat arlojinya. “Aku
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
20
kira kita masih dapat mengejarnya. Turun ke meja penyambutan
dan tanya, cepat.”
Begitu pagi terakhir aku berlalu, aku tidak akan melihat
Maxim. Tiba-tiba, aku menyusun pikiranku. Bukannya turun ke
meja penyambutan. Aku lari ke atas tangga. Aku tahu nomor
kamarnya, aku mengetuk pintunya.
“Masuk,” Maxim berteriak. Aku buka pintu itu. Dia sedang
sarapan di sebuah meja kecil dalam kamar duduknya. Aku berdiri
di samping pintu, merasa bodoh dan canggung.
“Apa yang kau inginkan?” dia bilang. “Adakah sesuatu yang
salah?”
“Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal,” aku
bilang. “Kami pergi pagi ini. Sekitar satu jam. Aku pikir aku tidak
akan melihatmu lagi.”
Maxim menatapku, “mengapa tidak kau katakan sebelum
ini?” dia bilang.
“Nyonya Hopper hanya memutuskan berangkat kemarin.
Putrinya berlayar ke New York Sabtu dan kami pergi dengannya,
aku tidak ingin pergi. Aku akan benci New York.”
“Lalu mengapa pergi ke sana?”
“Aku harus bekerja untuknya, kau tahu itu, aku tak boleh
untuk meninggalkannya.”
“Duduklah,” dia bilang. “Minumlah kopi.”
“Aku tidak punya waktu,” kukatakan padanya. “Aku harusnya
ada di lantai bawah sekarang.”
“Sudahlah tentang itu, aku harus bicara denganmu.”
Aku duduk di meja itu.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
21
“Jadi Nyonya Hopper ingin pulang,” kata Maxim. “Begitu
juga aku, dia pergi ke New York dan aku ke Manderley. Yang
mana yang kamu suka? Kamu dapat mengambil pilihanmu.”
“Jangan bercanda,” aku bilang. “Aku harus mengucapkan
selamat tinggal sekarang.”
“Aku tidak bercanda,” kata Maxim. “Kamu pergi ke Amerika
dengan Nyonya Hopper atau pulang ke Manderley denganku.”
“Apakah kamu ingin seorang sekretaris?” tanyaku tidak
mengerti.
“Tidak, aku minta kamu menikah denganku, kau sedikit
bodoh.”
Aku duduk dua tangan di pangkuanku, melihat dia minum
kopinya.
“Kamu tidak dapat menikahiku,” aku bilang akhirnya. “Aku
berbeda darimu, aku tidak memiliki dunia sepertimu. Aku tak
punya tempat seperti Manderley.”
“Apa yang kau ketahui tentang Manderley?” kata Maxim.
“Aku ingin menikahimu. Maukah kau?”
Aku masih duduk di sana, memandangnya. Aku tak dapat
berpikir jernih.
“Ide itu tampaknya tidak menyenangkanmu,” kata Maxim.
“Sorry, aku kira kamu mencintaiku.”
“Aku mencintaimu,” aku bilang. “Sungguh, aku menangis
semalaman. Aku kira tak akan bisa melihatmu lagi.” Ketika aku
bicara begini, Maxim tertawa dan meletakkan tangannya di
tanganku.
“Suatu hari aku akan mengingatkanmu tentang kata-kata itu.
Sayang kamu sudah tumbuh dewasa,” kata dia.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
22
Apakah Maxim menertawakanku? Apakah semua itu sebuah
canda?
Dia menyaksikan pandangannya di wajahku. “Aku tak pernah
melakukan ini dengan bagus, bukan?” kata Maxim. “Pria-pria tidak
biasanya melamar ketika sarapan. Tetapi aku minta kamu ke
Venice untuk bulan madu kita. Kita akan berjalan-jalan keliling
Italia untuk sementara. Kemudian di musim semi kita akan kembali
ke Manderley. Aku ingin menunjukkan begitu banyak tentang
Manderley padamu.”
Maxim ingin menunjukkan Manderley. Mendadak aku
percaya semua. Aku akan jadi istri Maxim. Kami akan jalan-jalan
di kebun Manderley sama-sama. Kami akan berjalan melalui
lembah tersembunyi menuju laut. Tuan De Winter, aku akan
menjadi Nyonya De Winter.
“Aku akan mengatakan pada Nyonya Hopper atau kamu?”
kata Maxim dengan senyum.
Aku telah lupa semua tentang Nyonya Hopper. “Kau katakan
padanya,” aku bilang. “Dia akan begitu marah.”
Kami bangkit dari kursi meja dan berjalan keluar ruangan
bersama-sama. Maxim mengambil tanganku. “Aku empat puluh
dua tahun,” dia bilang. “Itu pasti nampak terlalu tua untukmu.”
“Oh, tidak,” aku bilang. “Aku tidak suka pria muda,” aku
masih takut bahwa Maxim akan berubah pikiran.
Kami mendatangi pintu kamar Nyonya Hopper.
“Aku kira kau akan bicara padanya sendiri,” kata Maxim.
“Aku akan katakan padanya bahwa kita akan segera menikah. Kita
akan punya pernikahan yang tenang. Segalanya akan diatur dalam
beberapa hari.”
“Tentu. Aku tak ingin banyak cingcong.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
23
Kubuka pintu. “Itukah kau?” panggil Nyonya Hopper. “Ke
mana saja kamu? Apa yang telah kau lakukan selama ini?”
Aku tidak tahu apakah tertawa atau menangis. Maxim berjalan
menuju kursi ruangan.
“Aku kira itu semua kesalahanku,” katanya kemudian
menutup pintu. Aku masuk kamar tidur dan menunggu.
Aku heran Maxim bilang ke Nyonya Hopper. Apa yang dia
katakan. “Aku mencintainya, aku ingin menikahinya seketika?”
Cinta. Maxim tak pernah bilang padaku tentang cinta. Dia
bilang kita akan menikah. Tapi dia tidak bilang bahwa dia
mencintaiku. Dia telah mencintai Rebecca, tentunya. Bagaimana
dapat dia mencintaiku setelahnya? Aku akan jadi seorang teman
untuknya. Seseorang yang membuatnya tertawa, mungkin.
Buku puisi itu di sampingku, di atas tempat tidur. Kubuka itu,
kubaca lagi, “Max, dari Rebecca.” Dia telah mati. Tetapi tulisan itu
masih tampak segar dan hidup.
Aku mengambil gunting dan memotong halaman itu dari
buku. Aku sobek halaman itu. Kunyalakan korek api dan
membakar lembaran itu. Kertas itu membelit, menghitam, dan
menjadi abu. Huruf ‘R’ besar terakhir terbakar. Kemudian nyala
menghancurkannya. Kucuci tanganku. Aku merasa lebih baik
sekarang.
Ketika aku berdiri di situ, pintu terbuka dan Maxim masuk.
“Semua sudah beres,” ucapnya. “Nyonya tak dapat bicara,
pertama. Dia terlalu terkejut. Masuk dan bicara padanya, aku ke
bawah mengatur mengenai keretanya. Aku tidak ingin dia datang
di perkawinan kita.”
Maxim tersenyum, tetapi dia tidak bilang apa-apa tentang
keadaan bahagia. Dia tak bicara apa pun tentang cinta. Aku
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
24
berjalan perlahan menuju kamar tidur Nyonya Hopper. Dia berdiri
di samping jendela. Merokok cerutu. Dia membalik dan melihatku
dengan hati-hati.
“Baiklah,” dia bilang. “Kamu lebih pandai dari yang kukira.
Bagaimana kamu bisa melakukan itu?”
Aku tak tahu harus bilang apa. Nyonya Hopper tersenyum.
Tetapi tidak ada kebaikan dalam senyumnya.
“Itu keberuntunganmu ketika aku sakit,” katanya. “Kamu
tentu telah berbuat banyak dengan waktumu. Dia mengatakan
padaku bahwa dia ingin menikah denganmu dalam beberapa hari.
Kau tahu, dia lebih tua banyak darimu.”
“Dia hanya empat puluh dua tahun,” kataku.
“Aku tahu yang kau lakukan,” Nyonya Hopper memandangku
lagi dengan senyuman yang sama tidak menyenangkan.
“Aku harap kau melakukan itu, kamu tidak akan menemukan
kemudahan merawat Manderley. Kamu tidak mempunyai
pengalaman dan kamu terlalu pemalu. Max De Winter sangat
menarik, tentunya. Tetapi aku pikir kamu melakukan kesalahan
besar.”
Aku tidak berkata apa pun, aku masih muda dan pemalu, aku
tahu itu. Tetapi aku akan jadi Nyonya De Winter. Aku akan tinggal
di Manderley. Dan aku akan membuat Maxim bahagia.
Nyonya Hopper memadamkan rokoknya. Dia berjalan
perlahan mendekatiku.
“Tentu,” dia bilang. “Kau tahu mengapa dia menikah
denganmu, bukan? Dia bukan cinta denganmu. Sebenarnya dia
kesepian di Manderley. Dia tak dapat hidup dalam rumah kosong
itu tanpa Rebecca. Dia menikahimu karena dia tak dapat hidup
sendiri di sana.