Friday, June 24, 2016

Dua puluh dua
Buku Harian Rebecca
Terima kasih Tuhan untuk tertawanya Favell. Aku melihat
pemandangan jijik mewarisi wajah Kolonel Julian.
“Pria itu mabuk,” katanya dengan cepat. “Dia tidak tahu apa
yang dikatakan.”
“Mabuk, saya?” teriak Favell, “Oh tidak, aku tidak mabuk.
Max De Winter membunuh Rebecca, dan aku akan
membuktikannya.”
“Tunggu sebentar,” kata Koloner Julian, “Aku ingin
mendengar buktimu.”
“Bukti?” kata Favell. “Apakah lubang-lubang dalam perahu
itu tidak cukup membuktikan untukmu?”
“Tentu, tidak,” kata Kolonel Julian. “Jika kamu tidak dapat
menemukan seseorang yang melihat dia melakukan itu.”
“Aku akan mendapatkan bukti untukmu,” teriak Favell, “De
Winter membunuh Rebecca karena saya. Dia cemburu karena
Rebecca mencintaiku. Dia pergi turun ke pondok dan
membunuhnya di sana. Tunggu sebentar... aku kira aku dapat
menemukan seseorang yang melihatnya.”
Aku tiba-tiba tahu maksud Favell. Seseorang telah melihat
semua itu terjadi –seseorang yang sering turun di sana, di teluk –
Ben.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
124
“Ada seorang idiot yag selalu di sekitar pondok itu,” kata
Favell. “Dia sering tidur di atas pantai. Aku yakin dia melihat
segalanya.”
“Dapatkah kita mendapatkan pria itu? Dan menanyainya?”
tanya Kolonel Julian.
“Tentu,” kata Maxim. “Namanya adalah Ben. Dapatkah kau
pergi dan membawanya Frank? Ambil mobilmu,” Frank pergi
keluar dengan cepat.
Favell tertawa dengan marah. Wajahnya sangat merah. “Kamu
semula saling tolong-menolong satu sama lain di bawah sini,
bukan?” katanya. “Crawley tahu kebenaran itu, aku yakin. Dia
akan ada di sana untuk memegang tangan pengantin wanita muda
itu ketika Max dijatuhi hukuman mati.”
Tanpa peringatan, Maxim naik ke atas menuju Favell dan
memukulnya dengan keras. Favell jatuh dengan berat ke lantai.
Aku mau Maxim tidak telah memukulnya. Favell bangkit perlahan
pada kakinya. Berjalan mengelilingi meja kecil dan menuangkan
dirinya wisky. Aku melihat Kolonel Julian memandang dengan
bijaksana pada Maxim. Apakah dia mulai percaya cerita Favell?
Pintu terbuka dan Frank masuk.
“Baiklah, Ben,” katanya dengan cepat, “Jangan ketakutan.”
Ben melangkah masuk ruangan dan menatap setiap orang
dengan mata kecilnya. Favel berjalan mendekatinya.
“Kau tahu siapa aku, bukan?” katanya, Ben tidak menjawab.
“Ayo,” kata Favell. “Kamu telah melihat aku di pondok itu,
bukan?”
Ben memegang tangan Frank, “Aku tak pernah melihatnya,”
katanya. “Akankah dia membawaku pergi?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
125
“Tidak, tentu tidak,” kata Kolonel Julian. “Sekarang
dengarkan aku, Ben. Kamu ingat gadis itu dengan perahu. Adakah
kamu di pantai ketika dia membawa perahunya keluar untuk
terakhir kali?”
“Kamu ada di sana, bukan?” kata Favell berdiri di samping
Ben, “Kamu melihat Tuan Winter masuk pondok dan Nyonya juga.
Apa yang terjadi kemudian?”
Ben menggeleng kepalanya dan beregerak balik terhadap
dinding. “Aku tidak melihat apa-apa,” katanya. Dia mulai
menangis.
“Kamu idiot kecil sialan,” Favell berkata pelan.
“Aku kira Ben dapat pulang sekarang, bukan? Kolonel
Julian?” kata Maxim. Frank membawa Ben keluar dari ruangan itu
ketika Kolonel Julian menganggukkan kepalanya.
“Teman miskin itu mengerikan,” katanya. “Dia tidak berguna
untukmu, Favell. Aku kira kamu tidak dapat membuktikan
kisahmu.”
Favell tidak menjawab, malah membunyikan bel, dan ketika
Frith masuk, dia bilang, “Minta Nyonya Danvers ke sini, Frith.”
“Bukankah Nyonya Danvers penjaga rumah?” tanya Kolonel
Julian ketika Frith meninggalkan ruangan.
“Dia juga teman Rebecca, dia mengenalnya bertahun-tahun,”
Favell berkata dengan senyum yang tidak mengenakkan.
Kami semua menunggu, mengawasi pintu. Kemudian Nyonya
Danvers masuk dan menutup pintu di baliknya.
“Selamat malam, Nyonya Danvers,” kata Kolonel Julian.
“Aku akan tanya padamu satu pertanyaan. Kamu kenal baik
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
126
dengan almarhum Nyonya Winter? Tuan Favell telah mengatakan
pada kami bahwa Nyonya Winter cinta dengannya. Benarkah itu?”
“Tidak,” jawab Nyonya Danvers.
“Sekarang dengar, Denny,” Favell mulai berteriak tapi
Nyonya Danvers tidak ambil perhatian.
“Dia tak cinta denganmu, Tuan Jack. Atau dengan Tuan De
Winter. Dia tak cinta dengan seseorang. Dia pikir pria-pria semua
bodoh. Dia menghibur dirinya denganmu.”
Maxim menjadi sangat pucat. Favell menatap Nyonya
Danvers seperti seolah-olah ia tak mengerti dia.
“Nyonya Danvers,” Kolonel Julian bicara dengan tenang.
“Dapatkah kau berpikir tentang alasan mengapa Nyonya Winter
membunuh dirinya?”
Nyonya Danvers menggelengkan kepalanya. “Tidak, tentu
tidak,” katanya.
“Ada kamu, apa yang telah kukatakan padamu?” teriak Favell.
“Tenanglah, maukah kau. Biar Nyonya Danvers membaca
catatan itu. Dia mungkin mengerti itu,” kata Kolonel Julian.
Nyonya Danvers mengambil catatan itu, membacanya dan
kemudian menggelengkan kepalanya lagi.
“Aku tidak tahu apa maksud dia. Jika itu adalah sesuatu yang
penting, dia telah akan mengatakannya padaku.”
“Dapatkah kau katakan pada kami bagaimana Nyonya Winter
menghabiskan hari terakhirnya itu di London? Apakah dia
menyimpan sebuah buku harian?” tanya Kolonel Julian.
“Aku telah mendapatkan diare bukunya di kamarku,” jawab
Nyonya Danvers. “Aku menyimpan semua barang-barangnya. Aku
akan pergi dan mengambilnya.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
127
“Baiklah De Winter,” kata Kolonel Julian, “Apakah Anda
keberatan kami melihat buku diary ini?”
“Tentu tidak,” kata Maxim. Sekali lagi, aku lihat Kolonel
Julian memberi Maxim sebuah pandangan yang tajam. Kali ini
Frank melihatnya juga. Entah mengapa aku merasa yakin bahwa
kebenaran itu ada di dalam diary itu.
Nyonya Danvers kembali dengan sebuah buku kecil di
tangannya.
“Inilah halaman untuk hari itu ketika nyonya meninggal,”
katanya. Kolonel Julian melihatnya dengan hati-hati.
“Ya, katanya,” di sinilah. Penata rambut pada pukul dua belas.
Kemudian makan siang. Dan kemudian Baker –jam dua. Siapa itu
Baker?” dia melihat pada Maxim. Maxim menggeleng kepalanya.
“Baker?” ulang Nyonya Danvers. “Dia tak kenal orang yang
bernama Baker.”
“Kita musti mengetahui siapa orang ini,” kata Kolonel Julian.
“Jika dia bukan seorang teman, mungkin itu adalah seseorang yang
dia takuti.”
“Nyonya De Winter takut?” kata Nyonya Danvers. “Dia tak
takut apa-apa dan siapa-siapa. Hanya satu hal yang
menakutkannya. Itu adalah pikiran tentang penyakit, tentang
kematian perlahan di ranjangnya.”
“Kejadian apa semua ini?” kata Favell. “Jika Baker penting,
aku akan tahu tentang dia,” Nyonya Danvers membalik halamanhalaman
buku diary itu.
“Ada sebuah nomor telepon di belakang sini,” katanya. “Dan
nama Baker lagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
128
“Baiklah,” kata Maxim, menyalakan rokok. “Mungkin
seseorang harus menelepon nomor itu. Akankah kau keberatan,
Frank?”
Frank mengambil diary itu tanpa sepatah kata pun dan masuk
ke ruang sebelah. Dia menutup pintu di baliknya. Kemudian
kembali, katanya, “Itu nomor seorang dokter, dr. Baker biasa
tinggal di sana. Tetapi ia meninggalkannya enam bulan yang lalu.
Mereka memberiku alamat barunya. Aku telah menulisnya di sini,”
dan Frank mengeluarkan selembar kertas.
Maxim melihatku, dia melihatku seperti seorang pria yang
bilang selamat tinggal untuk yang terakhir kali. Lembaran kertas
itu cukup untuk menggantung Maxim. Aku tahu mengapa Rebecca
telah pergi ke seorang dokter. Aku tahu apa yang ingin dia katakan
pada Favell. Rebecca telah mengandung ketika dia mati. Dia akan
punya seorang anak. Itu bukti yang jelas bahwa Rebecca tidak
membunuh dirinya. Aku yakin bahwa ini adalah kebenaran. Aku
tahu Maxim berpikir begitu juga.
“Kerja yang bagus, Frank,” kata Maxim dengan tenang. “Di
mana dokter itu tinggal sekarang?”
“Di utara London,” jawab Frank, “Tapi dia tak ada di telepon.
Dia adalah seorang dokter khusus wanita yang sangat terkenal.”
“Baik,” kata Kolonel Julian, “Di sana pasti telah ada sesuatu
yang salah dengannya akhirnya.”
“Aku akan menulis padanya sebuah surat,” kata Frank.
“Aku tidak mengira dia akan mengatakan padamu beberapa
hal,” jawab Kolonel, “Aku kira De Winter harus menemuinya dan
menjelaskan.”
“Aku siap untuk pergi,” kata Maxim dengan tenang.
“Akankah aku pergi di pagi hari?”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
129
“Dia tidak pergi sendiri,” kata Favell dengan tawa. “Kau pergi
dengannya, Julian. Dan aku kira aku lebih baik pergi juga. Jam
berapa kita mulai?”
Kolonel Julian melihat pada Maxim.
“Jam sembilan,” katanya, “Mungkin kamu akan membawaku
dalam mobilmu.”
“Kita akan bertemu di perempatan jalan segera setelah jam
sembilan,” kata Favell. Dia berjalan ke pintu.
“Aku kira kamu tidak akan memintaku untuk makan siang,
begitu aku akan bilang selamat jalan. Mari, Denny. Aku akan
ketemu kamu di pagi hari, Max.”
Kolonel menghampiriku dan mengambil tanganku.
“Selamat malam,” katanya, “Bawa suamimu ke ranjang lebih
awal. Besok akan ada hari yang panjang,” dia memegang tanganku
untuk sesaat, tapi dia tidak melihat mataku. Dia dan Frank keluar
bersama. Maxim dan aku akhirnya sendiri.
“Aku akan datang denganmu, besok,” kataku.
“Ya,” jawab Maxim. “Kita musti bersama sepanjang kita
bisa.”
Aku meletakkan tanganku melingkar padanya dan
memegangnya. Kami tak bilang apa-apa. Kemudian Maxim
memegangku dengan erat. Kami mulai mencium satu sama lain,
seperti kekasih bersalah yang belum pernah berciuman
sebelumnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
130