Friday, June 24, 2016

Dua Puluh Empat
Kembali ke Manderley
Kami pergi dan berdiri di samping mobil. Tidak ada orang
yang mengatakan sesuatu untuk beberapa menit. Wajah Favell
kelabu. Selamanya seperti dia menyalakan rokok.
“Dia menyimpan rahasia itu dari setiap orang, bahkan Denny.
Itu adalah sebuah guncangan mengerikan bagiku,” kata favel.
“Kamu semua baik-baik saja, tentunya, Max, kamu sudah
beruntung, bukan? Kamu dan istri mudamu dapat pergi balik ke
Manderley sekarang. Kamu kira kamu telah menang. Tapi jangan
terlalu yakin, aku belum selesai denganmu.”
“Akankah kita masuk mobil dan pergi?” Kolonel tanya pada
Maxim. Favell tersenyum tidak menyenangkan. Ketika kami pergi
dia masih berdiri di sana, memperhatikan kami.
“Favell tak dapat melakukan apa-apa,” Kolonel berkata pada
kami. “Aku akan segera berhubungan dengannya jika dia datang
mendekati Manderley lagi. Aku tidak berpikir surat kabar akan
merepotkanmu lagi. Di sana mungkin ada beberapa pembicaraan,
tapi akan membuat yakin orang-orang itu mendengar tentang dr
Baker.”
“Terima kasih banyak,” kata Maxim.
“Apa penyakit yang mengerikan itu,” Kolonel melanjutkan,
“Kukira dia tidak dapat menghadapi rasa sakit, dia wanita muda
yang menyenangkan juga.”
Tidak ada dari kami yang menjawabnya.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
136
Saudara perempuan Kolonel tinggal di London dan dia minta
Maxim membawa dirinya ke rumah saudaranya itu.
“Kami semua berterima kasih padamu untuk semua
pertolonganmu,” kata Maxim ketika hakim itu keluar dari mobil,
“Aku sudah senang menolong. Kamu musti lupakan itu semua
sekarang. Mengapa kamu tidak berlibur, ke luar negeri mungkin ke
Indonesia misalnya. Selamat jalan, kalian berdua. Itu adalah hari
yang panjang.”
Ketika Maxim menghidupkan mobil, aku menyandarkan
punggung di tempat duduk dan menutup mataku, kami berkendara
menembus lalu lintas dan aku merasa damai. Tidak ada yang dapat
menyakiti kami lagi.
Kami makan malam di sebuah restoran dan Maxim menelpon
Frank.
“Kau kira Kolonel tahu kebenaran tentang kematian
Rebecca?” aku tanya Maxim ketika kami sedang minum kopi.
“Tentu dia tahu,” kata Maxim. Tapi dia tak akan pernah
mengatakan apa-apa. Aku percaya bahwa Rebecca berniat
membohongiku. Dia ingin aku membunuhnya. Oleh karena itu, dia
tertawa. Dia tertawa ketika dia mati.”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Semua sudah berakhir. Tidak
perlu Maxim berwajah pucat dan tampak bermasalah.
“Aku tidak yakin bahwa Rebecca belum menang, bahkan
sekarang,” Maxim melanjutkan. “Frank bilang padaku sesuatu
agak aneh di atas telepon, Nyonya Danvers telah meninggalkan
Manderley. Ada sebuah telepon jarak jauh untuknya pada pukul
enam. Pada tujuh kurang seperempat, dia telah pergi.”
“Apakah itu hal yang bagus?” kataku, “Favell meneleponnya,
tentu, tapi mereka tak dapat melakukan apa-apa terhadap kita.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
137
Aku senang bahwa Nyonya Danvers telah pergi. Manderley
dapat menjadi milik kami. Kami akan punya orang-orang untuk
tinggal. Dan segera, sangat segera Maxim dan aku akan punya
anak.
“Sudahkah kau selesaikan kopimu?” Maxim bilang padaku
tiba-tiba. “Aku merasa bahwa musti kembali ke Manderley
sesegera mungkin. Sesuatu yang salah, aku tahu itu.”
“Tapi, kamu akan menjadi begitu lelah,” kataku.
“Tidak, aku akan baik-baik saja. Kita akan ada di Manderley
pada jam dua.”
Kami keluar dari mobil dan Maxim menutupiku dengan
permadani. Hari gelap sekarang dan aku tertidur seketika. Aku
mulai bermimpi. Aku melihat rumah tangga di Manderley dan
Nyonya Danvers berdiri di sana dengan pakaian hitamnya yang
panjang. Kemudian dalam mimpiku, aku sendirian di hutan dekat
Manderley. Aku ingin mulai ke lembah bahagia, tapi aku tak dapat
menemukannya. Semua pohon-pohon gelap ada di sekelilingku.
Kemudian aku berdiri di atas teras, terang bulan berkilau di
jendela- jendela, kebun-kebun itu telah pergi dan hutan-hutan yang
gelap muncul pada dinding-dinding rumah itu.
“Kamu telah tidur dua jam,” Maxim bicara padaku. “Ini jam
dua lebih seperempat. Kita akan sampai di rumah jam tiga.”
Awal pagi itu sangat dingin, langit itu gelap sekarang dan
tidak ada bintang-bintang,
“Jam berapa kau bilang tadi?” kataku tiba-tiba.
“Sekarang dua lebih dua puluh,” jawab Maxim.
“Itu aneh,” kataku. “Fajar itu nampak muncul di sana, di balik
bukit-bukit itu. Tapi itu tak bisa, itu terlalu pagi.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
138
“Itu arah yang salah juga,” kata Maxim, “Kamu sedang
melihat ke barat.”
Aku terus memandang langit. Itu masih menjadi lebih terang,
sebuah sinar merah darah sedang menyebar di seberang langit.
Maxim mulai mengendarai lebih cepat, semakin cepat.
“Itu bukan fajar,” katanya, “Itu adalah Manderley.”
Kami mencapai puncak bukit. Jalan ke Manderley terhampar
sebelum kami, tidak ada bulan dan langit, di atas kepala kami
adalah hitam. Tapi langit di depan kami penuh dengan sinar yang
mengerikan. Dan cahaya itu merah semerah darah, angin berembus
ke arah kami dari laut, angin bau asap dan abu-abu oleh abu.
Mereka abu dari Manderley.
SELESAI