Saturday, June 11, 2016

Sembilan
Pondok di Teluk
Kami sampai di ujung gang, semak belukar itu membuat
lengkungan di atas kepala kami sehingga kami terpaksa menunduk.
Aku berdiri tegak lagi, menyeka hujan dari kepalaku. Aku lihat
lembah itu di belakang kami. Kami berdiri dalam teluk kecil yang
sempit. Di sana, hampir di kaki kami adalah laut.
Maxim menoleh padaku, tersenyum akan kejutan di wajahku.
“Itu sebuah kejutan, bukan?” katanya. “Tak seorang pun
pernah mengharapkannya.”
Maxim memungut sebuah batu dan melemparkannya
menyebrang ke pantai untuk Jasper.
“Ambilkan itu, anak baik,” katanya. Jasper mengejar batu itu
menyalak dengan gembira.
Kami berdua turun ke tepi air dan melemparkan batu-batu
lagi. Air pasang datang naik ke teluk dan air mulai menutupi
bebatuan. Maxim berbalik padaku, tertawa dan mengusap rambut
keluar dari matanya. Aku menggulung lengan panjang jas hujanku.
Itu adalah saat yang bahagia.
Kemudian kami melihat bahwa Jasper telah pergi. Kami
memanggil dan bersiul tetapi dia tidak datang.
“Apakah dia telah pergi balik ke lembah bahagia?” kata
Maxim.
Kami berjalan ke atas pantai menuju lembah itu lagi.
“Jasper, Jaasper,” panggil Maxim.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
46
Di kejauhan, di balik batas bebatuan ke kanan pantai, aku
dengar gonggongan tajam.
“Apa kau dengar itu?” kataku. “Dia pergi melewati jalan ini,”
aku mulai mendekati batuan-batuan basah.
“Kembali,” Maxim berkata dengan keras, “Kami tak ingin
pergi ke jalan itu.”
“Aku musti mendapatkannya,” kataku. “Mungkin dia terluka.”
“Dia baik-baik saja,” kata Maxim. “Tinggalkan dia, dia tahu
jalan pulang.”
Aku mulai mendaki melalui bebatuan menuju Jasper. Aku
pikir Maxim dalam keadaan yang tak enak. Aku mencapai puncak
dari batu yang paling besar. Dan memandang di bawahnya. Ada
teluk yang lain, sebuah tembok batu kecil menyeberang ke teluk.
Sebuah tembok batu kecil di seberang teluk. Membuatnya menjadi
sebuah pelabuhan kecil. Dalam teluk itu ada sebuah pelampung
putih dan hijau, tatapi bukan perahu.
Aku berjalan naik ke pantai menuju pondok itu. Mungkin di
sana ada beberapa tali. Rumput-rumput mengelilingi rumah kecil
itu telah tumbuh sangat panjang. Jendelanya dari potonganpotongan
kayu. Aku mendorong pintu itu. Dengan keterjutanku itu
terbuka dan aku pergi ke dalam.
Ruangan itu dilengkapi dengan perabot rumah dan di sana ada
buku-buku di atas rak. Tetapi segalanya tertutup oleh debu tebal.
Udaranya lembab dan tenang. Pintu yang lain di ujung ruang itu
membawa rumah perahu kecil. Aku melihat beberapa tali di rak
dan sebuah pisau tua. Aku memotong sebuah potongan tali untuk
Jasper, dan pergi keluar dari pondok. Di sana ada sesuatu yang
menakutkan tentang ruangan kecil yang gelap. Aku puas dan
kembali keluar.
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
47
Orang itu masih mengawasiku, menatap seperti anak kecil.
Jasper sudah tenang sekarang dan membiarkanku mengikatkan
talinya.
“Aku melihatmu pergi ke sana,” kata orang itu. “Dia tak
masuk ke sana sekarang, dia masuk ke dalam laut. Dia tak akan
kembali, bukan?”
“Tidak,” kataku. “Dia tak akan kembali,”
“Aku tidak mengatakan apa pun, bukan?” mata orang itu
pernah ketakutan. Dia menolak dan berjalan balik ke laut.
Maxim menungguku di samping bebatuan itu. Dia nampak
marah.
“Maafkan,” kataku. “Aku terpaksa mengambil tali untuk
Jasper, siapa orang itu?”
“Itulah Ben, dia kurang waras, tapi dia tak akan menyakitimu.
Di mana kau dapatkan tali itu?”
“Aku menemukannya di dalam pondok. Pintunya terbuka.
Debunya di mana-mana. Tempat itu seharusnya dibersihkan.”
“Pintu itu seharusnya dikunci,” kata Maxim. Dia berjalan
sangat cepat sekarang. Dia pergi ke atas melewati pondok dan ke
atas gang menuju hutan. Itu sangat berbeda di sini dari lembah
bahagia. Gang itu curam dan pohon-pohonnya berkabut, dan gelap.
Sekarang dingin dan kakiku sakit. Jasper lelah juga, dan berjalan
sangat lamban.
“Ayo Jasper, demi Tuhan,” kata Maxim dengan marah, “Tarik
tali itu, tak bisakah kau,” katanya padaku.
“Itu salahmu,” kataku. “Kau berjalan terlalu cepat.”
“Jika kamu telah mendengarkanku, kita sudah akan di rumah
sekarang. Tidak ada perlunya kau mencari Jasper.”
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
48
“Aku kira kau akan datang denganku,” jawabku.
“Mengapa aku harus mengejar anjing sial itu?” kata Maxim,
tidak memandangku.
“Itu alasan, kamu tidak ingin melewati batuan itu,” jawabku.
“Baiklah, aku tidak ingin pergi ke teluk yang lain. Aku tak
pernah pergi dekat tempat itu. Itu pondok sial. Jika kau memiliki
kenanganku, kau tidak akan pergi ke sana pula. Kau tak akan
bicara tentang itu atau bahkan berpikir tentang itu.”
Wajah Maxim memutih. Matanya sudah gelap. Hilang
pandangan. Aku mengambil tangannya dan memegangnya erat.
“Tolonglah Maxim, tolong,” kataku. “Aku tidak ingin kamu
nampak seperti itu. Maaf sayang, tolong jangan biarkan kita
bertengkar.”
“Kita seharusnya sudah tinggal di Italia,” kata Maxim, “Aku
orang bodoh telah membawamu kembali ke Manderley.”
Aku terpaksa lari mengikutinya sekarang. Akhirnya kami
sampai di puncak gang itu keluar dari halaman rumput. Wajah
Maxim susah. Dia berjalan langsung ke dalam rumah dan bicara
pada Frith.
“Kami ingin teh sekaligus,” kata Maxim. Kemudian dia pergi
dengan cepat masuk ke perpustakaan dan menutup pintu.
Aku mencoba untuk menahan air mataku. Frith seharusnya
tidak tahu itu. Aku menolak ketika dia menolongku menanggalkan
jas hujan. Dia mengambil sebuah sapu tangan.
“Apakah ini milik nyonya?” katanya.
Aku meletakkan sapu tangan itu di sakuku dan berjalan
perlahan menyeberang aula menuju perpustakaan. Maxim duduk di
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
49
kursi biasanya, dengan Jasper di kakinya. Aku berjalan
menyebrangi ruangan itu dan berlutut di kursi Maxim.
“Jangan marah denganku lagi,” kataku.
Maxim menunduk melihatku.
“Aku tidak marah denganmu,” katanya.
“Tetapi aku telah membuatmu tidak bahagia,” jawabku. “Aku
ingin membuatmu bahagia selalu, aku cinta padamu.”
“Kau lakukan,” katanya. Matanya penuh rasa sedih dan takut.
“Apa itu sayang?” kataku. “Mengapa kamu melihat seperti
itu?”
Pintu terbuka sebelum Maxim dapat menjawab. Itu adalah
Frith dan Robert dengan teh. Meja kecil itu ditaruh dekat perapian
dan ditutup dengan kain putih. Frith membawa masuk jambangan
dan ceret perak. Kemudian datang cangkir, roti lapis dan kue.
Segalanya sama seperti kemarin. Ketika pelayan-pelayan telah
pergi, aku melihat wajah Maxim. Warna itu telah datang kembali
padanya. Dia mengambil sebuah roti lapis.
“Tuangkan aku secangkir teh, Sayang,” katanya padaku. “Dan
maafkan aku untuk kejadian yang tak enak.”
Tidak ada apa-apa lagi untuk dikatakan. Maxim tersenyum
padaku dan mengambil korannya. Senyuman Maxim seperti olesan
di kepala diberikan untuk Jasper.
Aku tidak lapar dan merasa sangat lelah. Aku memberi Jasper
selembar kue dan mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap
tanganku. Sapu tangan itu bukan milikku. Itu pasti telah datang
dari saku jas hujan itu. Ada beberapa surat di dalamnya huruf ‘R’
yang tinggi dan ‘de w’. Itu punya Rebecca. Jas hujan itu terlalu
longgar, terlalu panjang untukku. Pasti miliknya juga. Rebecca
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
50
telah memakai jas hujan itu. Dia telah meninggalkan sapu tangan
itu di dalam saku. Aku dapat mencium wangi, wangi yang kukenal,
kututup mataku dan mencoba mengingat apa itu.
Tiba-tiba aku tahu. Bau wangi di sapu tangan itu adalah bau
wangi bunga-bunga di lembah bahagia. Adakah di sini aku dapat
melepaskan diri dari Rebecca sekarang?