Tuesday, May 31, 2016

Pendahuluan
Mimpi Di Manderley
Malam lalu aku mimpi pergi ke Manderley lagi. Aku berdiri
di depan pintu gerbang besi di permulaan jalan. Ketika pertama
kali aku melihat gerbang itu, mereka membuka lebar-lebar
untukku. Sekarang dalam mimpiku mereka telah menutup. Di
belakang mereka jalan menuju Manderley.
Dalam mimpiku itu, aku telah melampaui pintu gerbang
tertutup. Aku berjalan menaiki jalan panjang yang berliku. Pohonpohon
dan bunga-bunga tumbuh dekat jalan dan rumput hampir
menutupinya. Ketika aku tiba di tikungan terakhir jalan itu, aku
merasakan keasyikan lama aku sudah mendekati Manderley lagi.
Akhirnya aku dapat melihat Manderley. Sebuah rumah tua secantik
dulu.
Hari itu bulan terang dalam mimpiku. Lampu pucat bersinar di
atas jendela-jendela dan tembok-tembok batu hijau pada rumah tua
itu. Dan dalam mimpiku aku melihat laut, yang lembut dan tenang
seperti kaca. Sekilas rumah itu nampak penuh dengan lampu. Aku
kira bahwa kita tinggal di sana akan bahagia dan aman.
Cahaya bulan bersinar makin terang. Sekarang kulihat bahwa
Manderley adalah sebuah rumah kosong. Hanya tembok-tembok
batu hijau yang tetap berdiri. Tak seorang pun akan pernah tinggal
di sana lagi, kami tak akan pernah bahagia tinggal di sana, aku dan
Maxim. Kami tak akan pernah tinggal di sana, terbebas dari
Rebecca, bebas dari pikiran-pikiran masa lalu.
Aku terbangun, Manderley sudah menjauh. Dengan tajam,
cemerlang sinar mentari memancar masuk ke ruang hotel telanjang
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
2
kami. Lama, hari hampa membentang di depan kami. Tidak banyak
yang akan terjadi. Tidak ada yang telah dilakukan. Tetapi kami
punya kedamaian yang menenangkan, Maxim dan aku, yang kami
tidak pernah kenal sebelumnya. Kami tidak membicarakan tentang
Manderley. Aku tak akan pernah menceritakan mimpiku pada
Maxim. Manderley bukan lagi milik kami. Sebab telah dirusak
oleh kejahatan dan kebencian masa lalu.
Kami tidak akan balik lagi ke England. Bahkan setelah hampir
dua puluh tahun, masa lalu itu terlalu dekat untuk kami. Kami
mencoba untuk melupakan ketakutan dan teror itu, tetapi kadangkadang
kami ingat.
Kami sering bosan dalam hotel kecil bodoh ini. Tetapi orangorang
tidak takut bosan. Kami membaca koran inggris, tetapi kami
tidak pernah bertemu orang inggris, Alhamdulillah.
Pulau Mediterranean yang sedikit panas ini adalah rumah
kami sekarang. Kami tidak akan pernah lagi merasakan kehangatan
yang lebih lembut dari matahari inggris. Kami tak akan pernah lagi
berdiri di lembah bahagia dan mencium bau wangi bungabunganya.
Di sini sinar tajam dari kilau mentari di atas temboktembok
putih. Pohon-pohon berdebu. Lautan adalah sesuatu yang
biru dan jernih.
Kami telah kehilangan banyak, tetapi akhirnya aku telah
tumbuh. Aku sangat berbeda dari seorang pemalu, gadis penakut
yang pada saat pertama pergi ke Manderley. Ketakutan dan teror
itu menjadikan aku seorang wanita, seorang perempuan bodoh
mungkin. Tetapi adalah dengan suamiku dan dia adalah semua
yang aku butuhkan.
Kadang-kadang aku melihat seorang aneh, pandangan kosong
di mata Maxim. Aku tahu bahwa pikiran-pikirannya melayang
jauh. Lalu dia duduk diam dan tenang di kursinya. Setelah
beberapa saat dia mulai bicara. Kami berbicara segala sesuatu
---Devkinandan Nurul Huda---
---Cinta Sejati dan Takdirnya---
3
supaya lupa masa lalu. Kami berdua telah mengenal ketakutan.
Kami berdua telah mengenal siksa dan kesepian. Itu semua
berakhir sekarang, Manderley telah musnah. Tetapi kami masih
hidup dan kami berdua bebas.